HEADLINE

Pembubaran Diskusi 65 di LBH Jakarta, Siapa Ingkari Kesepakatan?

Pembubaran Diskusi 65 di LBH Jakarta, Siapa Ingkari Kesepakatan?

KBR, Jakarta - Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) mengklaim tidak pernah membubarkan kegiatan diskusi sejarah peristiwa 1965 yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, pada Sabtu (16/9/2017).

Diskusi itu diadakan Forum 65 dengan tajuk "Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966" di Kantor LBH Jakarta. 

Bahkan, Juru bicara Polda Metro Jaya Argo Yuwono menyebut panitia penyelenggara dari LBH Jakarta justru melanggar ketentuan dan Undang-undang Nomor 9 tahun 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, karena tidak mengajukan izin kegiatan ke polisi.

Argo mengatakan polisi sudah bertemu panitia diskusi, sebelum kegiatan itu berlangsung. Argo mengatakan polisi sudah meminta agar panitia membuat izin terlebih dahulu, namun polisi menganggap panitia dari LBH Jakarta terkesan acuh.

"Sudah kami sampaikan kalau ada mengadakan kegiatan pengumpulan massa, apakah itu bentuknya diskusi, pidato atau dialog itu harus ada pemberitahuan. Kami sudah sampaikan itu. Tapi mereka cuma bilang 'iya iya' saja. Aturan Undang-undang itu kalau bukan kita sendiri yang menaati, lalu siapa lagi? Kami nggak bubarin kok, kami udah sampaikan baik-baik," kata Argo Yuwono kepada KBR, Minggu (17/9/2017).

Argo Yuwono mengatakan Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tersebut jelas menyebutkan bahwa kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum harus mendapat izin dari kepolisian untuk pengamanan kegiatan. 

Pasal 10 Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 memang mewajibkan kegiatan 'penyampaian pendapat di muka umum' untuk memberitahukan kepada Polri. 

Namun, pasal 10 itu hanya mengatur kegiatan 'penyampaian pendapat di muka umum' berupa unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum atau mimbar bebas sesuai pasal 9, yang diselenggarakan di tempat-tempat terbuka untuk umum. Sedangkan kegiatan yang diselenggarakan LBH Jakarta diadakan di dalam ruangan LBH.

Mengenai hal itu, Argo Yuwono berpendapat beda. 

"Kalau mereka bilang diskusi ini hanya diikuti anggota dan di lokasi pribadi, tetap saja harus sesuai undang-undang. Ini kan mengumpulkan orang, jadi harus izin. Undang-undangnya mengatur begitu. Polisi tidak mengharuskan, tapi undang-undang yang mengatakan," kata Argo. 

Dalam rilis yang diterima KBR, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan memang benar ada pertemuan antara panitia dengan perwakilan kepolisian sektor Menteng. 

Dalam pertemuan tersebut, kata Asfinawati, disepakati syarat agar acara bisa berlangsung, yakni memperbolehkan perwakilan kepolisian ikut dalam acara tersebut untuk mengawasi konten materi yang disampaikan.

Namun pada hari pelaksanaan, menurut Asfi, pihak kepolisian mengingkari kesepakatan tersebut dengan membuat barikade di Jalan Diponegoro ke arah Jl Mendut, untuk menghalangi akses terhadap para peserta diskusi. 

Bahkan, kata Asfinawati, LBH Jakarta juga sempat dihalangi masuk kantor mereka. Padahal, menurut Asfi, pihak LBH Jakarta sudah memberitahukan hasil pertemuan dengan pihak kepolisian sehari sebelumnya. Namun, kata Asfinawati, justru Kapolsek Menteng Ronald Purba tidak mau mematuhi kesepakatan tersebut.

"Satu jam kemudian panitia mengeluarkan beberapa kursi untuk para lansia agar bisa duduk di pinggir jalan. Namun itu juga baru bisa dilakukan setelah ada adu mulut dan perebutan bangku," kata Asfinawati dalam rilis yang diterima KBR.  

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/headline/09-2017/tengah_malam__ratusan_orang_kepung_lbh_jakarta/92441.html">Tengah Malam, Ratusan Orang Kepung LBH Jakarta</a> </b><br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/08-2017/bubarkan_acara_ipt_65__polisi_beralasan_terkait_komunisme_dan_pki/91456.html">Bubarkan Acara IPT 65, Polisi Beralasan Terkait Komunisme dan PKI</a> </b><br>
    

Kompolnas Verifikasi

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan siap menerima laporan pengaduan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, terkait pembubaran acara diskusi peristiwa 1965 oleh kepolisian pada Sabtu (16/9/2017). 

Anggota Kompolnas, Andrea Hynan Poeloengan meminta LBH Jakarta menyertakan bukti adanya dugaan kesalahan etika ataupun pelanggaran prosedur dalam pembubaran acara itu. Tujuannya, untuk mempermudah Kompolnas membuktikan adanya dugaan pelanggaran prosedur.

"Kalau ada yang merasa tidak pas dari kinerja kepolisian, tempat melapor yang tepat adalah di Kompolnas sebagai pengawas eksternal. Tapi Kompolnas juga akan mengkaji laporan itu seperti apa, sebab nanti kami juga akan mengkaji dan mengklarifikasi. Dasar hukumnya bisa dilihat dari UU Nomor 9 Tahun 1998 dan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012," kata Andrea.

Andrea mengatakan Kompolnas akan merujuk Undang-undang Nomor 9 taun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sesuai pasal 6, pasal 9, pasal 10 dan pasal 11. Sedangkan pembubaran acara diatur dalam Pasal 15 Undang-undang tersebut.

Kompolnas juga merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Aparat kepolisian kerap membubarkan atau menghentikan kegiatan diskusi atau seminar yang membicarakan mengenai peristiwa 1965 dengan alasan terkait komunisme atau PKI. 

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/08-2017/kerap_diintimidasi_aparat__ypkp_minta_polri_lindungi_korban_65/92086.html">Kerap Diintimidasi Aparat, YPKP Minta Polri Lindungi Korban 65</a> </b><br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/06-2017/sejarawan_lipi__isu_neo_komunisme_omong_kosong__cuma_untuk_komoditas_pemilu/90680.html">Sejarawan LIPI: Isu Neo-Komunisme Omong Kosong, Cuma untuk Komoditas Pemilu</a> </b><br>
    

Editor: Agus Luqman 

  • LBH Jakarta
  • pembubaran diskusi
  • pembubaran acara LBH
  • Peristiwa 1965
  • Peristiwa 65
  • tragedi 65
  • Pelanggaran HAM 1965
  • korban 1965
  • tragedi 1965
  • komunisme
  • kebangkitan komunisme
  • neo-komunisme

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!