HEADLINE

Vaksin Palsu, DPR: Pemerintah Lalai

""Obat-obatan dan vaksin ini kewenangan tanggungjawab pemerintah dalam hal distribusi, pengadaan, pengawasan, ini adalah tanggungjawab pemerintah""

Ria Apriyani

Vaksin Palsu, DPR: Pemerintah Lalai
Ilustrasi (sumber: Antara)

KBR, Jakarta- DPR meminta pertanggungjawaban pemerintah terkait distribusi vaksin palsu. Ketua Komisi Kesehatan Dede Yusuf mengatakan pemerintah harus menjelaskan kepada masyarakat bahaya vaksin ini bagi anak-anak dan pengawasan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.

"Dalam konteks ini pemerintah lalai karena di dalam Undang-Undang Nomor 36 tentang kesehatan sudah dijelaskan masalah kesehatan, obat-obatan dan vaksin ini kewenangan tanggungjawab pemerintah dalam hal distribusi, pengadaan, pengawasan, ini adalah tanggungjawab pemerintah. Apalagi ini adalah vaksin yang disebar kepada jutaan masyarakat kita," ujar Ketua Komisi Kesehatan DPR Dede Yusuf, Senin(27/6/2016).


Menurut Dede, pemerintah harus mendalami kemungkinan adanya skala industri vaksin palsu yang lebih besar. Termasuk, menurut Dede, adanya keterlibatan orang di dalam Kemenkes. Untuk menenangkan masyarakat, Kemenkes juga diminta membuka daftar jenis vaksin yang palsu dan rumah sakit serta klinik yang diketahui menggunakan vaksin ini.


Anggota Komisi Kesehatan DPR, Ketut Sustiyawan, menyayangkan pemerintah yang dinilainya belum serius  menanggapi masalah ini.


"Ada pernyataan hanya 1%. Ini terkesan menyepelekan. Pemerintah harus lebih waspada, bukan masyarakat. Kita masyarakat awam ga tahu mana vaksin palsu. Kita tahunya bawa anak kita vaksin, selesai."


Sore ini, Komisi Kesehatan rapat dengan Kementerian Kesehatan, BPOM, Biofarma, serta Ikatan Dokter Anak Indonesia khusus membahas kasus vaksin palsu.

Sebelumnya, dari hasil penggeledahan polisi disebutkan pelaku, khususnya kelompok produsen, kebanyakan merupakan lulusan sekolah apoteker. Namun, mereka tidak menerapkan standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dalam memproduksi vaksin itu. Misalnya, cairan yang mereka gunakan sama sekali bukanlah cairan yang seharusnya menjadi bahan baku vaksin.

Para pelaku menggunakan cairan antitetanus dicampur dengan cairan infus sebagai bahan dasar vaksin palsu tersebut. Campuran itu akhirnya dimasukan ke dalam botol bekas. Setelah itu dikemas, dan diberikan label palsu. Pembuatan vaksin juga tidak dilakukan di laboratorium, tetapi dilakukan di sebuah gudang yang dipakai untuk tempat peracikan vaksin.



Hingga saat ini, Bareskrim Polri telah menetapkan 15 tersangka dalam kasus pembuatan dan penyebaran vaksin palsu ini. Para tersangka dikenakan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar. Selain itu, semua tersangka juga dikenakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).



Editor: Rony Sitanggang 

  • vaksin palsu
  • Ketua Komisi Kesehatan DPR Dede Yusuf
  • Anggota Komisi Kesehatan DPR
  • Ketut Sustiyawan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!