HEADLINE

Simposium Tragedi 1965, Sumini: 6,5 Tahun Dipenjara dan Nyaris Diperkosa

""Tiap hari saya ditanya, Kamu Gerwani? Kamu yang di Jakarta ya? Saya aja enggak tahu bahwa di Jakarta ada kejadian itu.""

Ria Apriyani

Simposium Tragedi 1965, Sumini: 6,5 Tahun Dipenjara dan Nyaris Diperkosa
Simposium Nasional Tragedi 1965 hari pertama, Senin (18/04). (Sumber: Youtube)

KBR, Jakarta- Tubuh mungilnya tidak lagi remaja. Kakinya tidak lagi kuat berdiri lama. Ketika ditemui KBR, dia mengeluh tidak enak badan sebelum ke Jakarta. Namun keinginannya untuk mengungkap kebenaran, membuat dia nekat.

Sumini ingin bercerita. Usia 18 tahun ia bergabung dengan Gerwani. Baginya kiprah Gerwani nyata membangun bangsa.  Sumini mengenang masa-masa ketika ia serta kawan-kawan di Gerwani membantu mengentaskan buta huruf dan membangun sebuah Taman Kanak-Kanak.

Terakhir sebelum peristiwa 1965, Sumini jadi Ketua Ranting Gerwani. Maka ia sungguh kecewa ketika Gerwani dituduh membunuh para jenderal.

"Nama kita ini loh yang selalu distigma. Bahwa Gerwani adalah bejat. Gerwani itu organisasi yang seperti itu. Padahal Gerwani sebelum peristiwa itu adalah suatu organisasi yang ikut serta membantu dalam pemerintahan. Misalnya pada buta huruf, itu Gerwani tampil pertama. Terus mendirikan TK Melati. Padahal waktu itu belum banyak TK. Kenapa setelah peristiwa 65 ini kami dijadikan bulan-bulanan?" Ujar Sumini sembari mengepalkan tangannya gemas, Senin (18/4/2016).


Gerwani disebut-sebut menjadi pelaku penyiksaan  7 jenderal di Lubang Buaya. Saat itu berita RRI dan surat kabar menyebutkan Gerwani dengan keji menyilet tubuh jenderal, mencongkel matanya, dan memotong kelaminnya. Berita memuat pengakuan dua perempuan yang diklaim anggota Gerwani bernama Jamilah dan Sakinah yang mengakui tuduhan tersebut. Sumini geram.


"Kami memang ada latihan. Tapi untuk menghadapi konfrontasi dengan Malaysia. Tidak ada untuk membunuh jenderal!"


Lima puluh tahun lalu ia ditangkap. Beberapa hari sebelumnya, Institut Pertanian Egom di Bogor tempatnya berkuliah didemo KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia)  dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Ia ingat melihat spanduk 'ganyang Aidit' dimana-mana.


Saat itu kondisi tidak aman sehingga  kampus memulangkan semua mahasiswanya. Sumini pulang dan melihat kondisi tidak aman. Kakaknya sudah dibawa oleh aparat terkena 'pembersihan'. Takut, ia kabur ke rumah teman. Namun malang, ia tertangkap di sana.


Selama 5 bulan ia diinterogasi di Kepolisian Pati. Ia mengaku mendapat kekerasan. Padahal pada sambutan Simposium Nasional Tragedi 1965, Senin (18/4) Komandan Pleton operasi di Jawa Tengah ketika itu, Sintong Panjaitan, mengklaim tidak pernah ada kekerasan terjadi saat pemeriksaan.


Sumini mementahkan pernyataan itu. Setiap malam lepas pukul 9, ia diinterogasi. Kakinya ditindih meja. Tubuhnya dipukuli seenaknya. Ia dipaksa mengaku bahwa Gerwani dalang penghabisan jenderal di Lubang Buaya. Setiap hari ia ditanyai pertanyaan yang sama.


"Tiap hari saya ditanya, Kamu Gerwani? Kamu yang di Jakarta ya? Saya aja enggak tahu bahwa di Jakarta ada kejadian itu."


Saat pemeriksaan itu pulalah ia nyaris diperkosa. Pelakunya, menurut dia, anggota Corps Polisi Militer bernama Cipto. Suatu malam saat pemeriksaan, Sumini mengisahkan, Cipto memaksa Sumini. Namun Sumini berontak dan teriak. Hasilnya, dahi kirinya dihantam dengan pistol hingga berdarah dan meninggalkan bekas, kedua pipinya disundut rokok. Ia dipukuli hingga pendengaran telinga kanannya terganggu.


30 April 1966 ia dikirim ke penjara khusus wanita di Semarang. Di sana Sumini ditahan 6,5 tahun tanpa proses hukum, Di situlah ia bertemu kawan-kawan Gerwani dari berbagai daerah. Mereka menkonfirmasi bahwa Jamilah dan Sakinah yang bersaksi di berita bukan anggota Gerwani. Mereka adalah dua pekerja seks komersial yang ditangkap dan dipaksa mengaku.


Selama di penjara, ia tidak diizinkan bertemu keluarga. Ia hanya diizinkan melihat keluarga dari sebuah lubang kecil dengan keluarga yang berdiri nyaris 500 meter jaraknya. Setiap hari ia dan kawan-kawan di penjara hanya makan tiwus. Setelah ada kunjungan dari Australia, tiwus baru diganti jagung. Setiap malam, 50 orang tidur berdesakkan di ruang berkapasitas 30 orang.


"Seperti pindang. Kalau yang satu mau balik ke kiri, ya ramai-ramai balik. Begitu terus."


Tahun 1972, Sumini dilepaskan dari penjara. KTP-nya diberi cap ET. Ia menikah dengan sesama ET. Suaminya dulu ditangkap karena masalah pribadi. Padahal suaminya dulu adalah anggota GP Anshor.


Lepas dari penjara, diskriminasi yang mereka terima tidak selesai. Mereka sulit mencari pekerjaan hingga harus hidup seadanya. Anak pertamanya yang sakit-sakitan sulit mendapat pengobatan karena status sebagai anak bekas PKI. Anak bungsunya, Ragil, nilai sekolahnya cemerlang. Rapornya dihiasi angka 9. Namun sekalipun tidak pernah mendapat ranking.Gurunya berkata karena dia anak PKI. Ragil juga ditolak masuk Taruna Nusantara.


Hingga kini, ia masih diawasi. Beberapa tahun lalu ia ingin mengadakan arisan. Namun kegiatan dilarang. Anggotanya diintimidasi agar tidak ikut. Setiap kali ia pergi, bahkan untuk mengunjungi anaknya, ia ditanya-tanya oleh polisi maupun militer.


"Saya waktu itu ngunjungin anak saya. Terus ditelepon,  Ibu dimana? Pergi kemana? Mau apa? Berapa lama? Ada acara apa?  Selalu begitu." Keluhnya.


Bahkan sebelum berangkat menghadiri pertemua YPKP 65 di Bogor pekan lalu pun, ia dan beberapa kawannya diinterogasi.


Di usianya yang ke-70, Sumini ingin namanya dibersihkan. Ia juga mau nama Gerwani, organisasi tempatnya bernaung dulu dibebaskan dari cap pembunuh jenderal. Dia tidak mau mati dengan status pembunuh.


"Saat Nawacita, Pak Jokowi bilang mau melindungi kami. Mau menyelesaikan masalah ini. Saya tunggu. Saya harap Pak Jokowi memenuhinya."


Editor: Rony Sitanggang

  • Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965”
  • eks anggota gerwani
  • sumini
  • Sintong Pandjaitan
  • tragedi65
  • tragedi 65
  • simposium 65

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!