HEADLINE

[Wawancara] Agus Widjojo: Simposium Nasional Ini Berbeda dengan Pembahasan Tragedi 65 Sebe

"Sejumlah pihak menyebut simposium tragedi 65/66 bentukan pemerintah tak ada bedanya dengan kegiatan yang digagas masyarakat sipil. Pengarah simposium membantah itu, sebab setidaknya ada 3 pembeda."

KBR

[Wawancara] Agus Widjojo: Simposium Nasional Ini Berbeda dengan Pembahasan Tragedi 65 Sebe
Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Tragedi 1965/1966. (Foto: kemlu.go.id)

KBR, Jakarta - Sebagian korban 65/66 pesimistis simposium nasional tragedi 1965/1966 mampu menghasilkan tawaran penyelesaian yang adil bagi korban. Bekas tahanan politik Pulau Buru, Tedjabayu Sudjojono misalnya. Ia mengaku enggan untuk hadir. Sebab gelaran serupa sudah sering diadakan dan tak menghasilkan solusi.

"Saya sudah capek juga dengan simposium, karena sudah sering digelar tapi hasilnya tidak ada. Janji-janji manis saja," kata dia kepada KBR.

Baca juga: Kenapa Harus Simposium?

Namun betulkah demikian?

Jurnalis KBR Damar Fery Ardiyan, Ika Manan dan Quinawaty Pasaribu menemui Ketua panitia pengarah simposium, Agus Widjojo di kantornya, di Jakarta Pusat untuk mendapat penjelasan soal ini. Dia mengatakan, acara yang disokong Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan ini berbeda dengan simposium pembahasan tragedi pembantaian massal 1965/1966 lainnya. Agus memerinci, setidaknya ada tiga pembeda.

Baca juga: Siapa Penggagas Simposium?

Simposium yang bakal digelar Senin (18/4) dan Selasa (19/4) pekan depan ini, kata dia, akan menggunakan metode sejarah dan memasukkan pertimbangan psikologi. Gubernur Lemhanas tersebut mengklaim, metode itu mampu mengungkap kejahatan HAM 1965-1966 secarah menyeluruh. Berikut wawancara Tim KBR dengan Agus Widjojo.


Apa yang membedakan simposium ini dengan upaya serupa lainnya? Beberapa organisasi non-pemerintah juga kerap menggelar seminar membahas tragedi 65/66

Simposium ini, ada tiga hal yang membedakan dengan pertemuan-pertemuan pembahasan atau seminar tragedi 65 sebelumnya.

Pertama, ini kerjasama antara kelompok masyarakat dengan pemerintah. Karena kami lihat usaha yang murni dari masyarakat sipil (civil society) itu kandas. Yang murni dari pemerintah, itu tak bisa membangun kredibilitas di kalangan masyarakat. Nah simposium ini adalah pertama kali bisa bekerjasama.

Kedua, kami mencoba menghubungkan antara prolog sebelum 65 dengan epilog setelah 65. Kebanyakan yang diungkap sekarang adalah epilog pasca 65, 1965-1968. Yang sebelumnya ke mana? 1963-1948? Ini pasti ada sebuah proses, yang tak ujug-ujug turun dari langit tiba-tiba langsung tragedi 65. Ini diperlukan untuk bisa memahami apa hakekat tragedi 65 itu sebetulnya.

Ketiga, kami berharap bisa mempertemukan dua belah pihak yang terkait langsung. Baik yang dulu punya peran di instansi pemerintah dan, yang menjadi korban dari keluarga eks anggota PKI. Tapi dengan penolakan yang banyak, dinamika ini sangat tinggi. Maka kami akan mutakhirkan terus-menerus bentuk finalnya.

Simposium ini akan menghasilkan rekomendasi pemerintah. Bakal membahas tragedi 65/66 dengan pendekatan kesejarahan.


Mengapa memakai pendekatan ini?

Karena pendekatan kesejarahan adalah yang paling realistis, faktual dan objektif. Oleh karena itu perlu ada runutan proses, tidak dipotong-potong berdasarkan kurun waktu. Dari pendekatan sejarah itu kita juga bisa melihat ciri masyarakat Indonesia itu bagaimana, kok dia bisa dengan mudah disulut dalam jumlah besar, dalam waktu yang berkesinambungan. Ini yang ingin kami gali. Sehingga punya pemahaman yang menyeluruh tentang kedalaman tragedi 65/66.

Ini didasarkan pada sebuah asumsi, bahwa dalam sebuah tragedi atau tindakan kekerasan, sampai tingkat tertentu setiap pihak yang terlibat itu punya tanggung jawab. Tak mungkin ini hanya tanggung jawab satu pihak. Pasti ada alasan kenapa satu pihak ingin berkelahi dengan pihak lain. Jadi ada proses sebab akibat, ada kesinambungan.

Kita tidak semata-mata mengejar siapa yang salah, walaupun nanti juga akan terkuak dari proses rekonsiliasi yang diawali dengan pengungkapan kebenaran. Pasti akan tergali, oh ada yang berbuat, maka dituntut akuntabilitas. Oh ada yang dirugikan akibat kekerasan, berarti ada korban. Semua ini akan menjadi porsi pemerintah untuk memberikan treatmentnya. Dan ini akan keluar apabila kita bisa mengungkap kebenaran. Bukan seperti di pengadilan, dua alat bukti dan sebagainya, bukan. Tetapi kebenaran dari sisi pengalaman yang bersangkutan untuk dibagi dengan semuanya.

Kami beranggapan rekonsiliasi ini juga akan mencari, apa sih yang salah dengan bangsa ini, bahwa kita bisa saling bunuh dalam jumlah besar, untuk waktu berkesinambungan. Ada yang salah dengan bangsa ini? Meski kesalahan itu dalam konteks waktu itu, kita harus temukan untuk kita perbaiki. Sehingga bisa tuntas tanggung jawab ke generasi saat ini. Sekarang kita mulai halaman baru tanpa harus membebani generasi penerus dengan beban masa lalu sejarah.


Kenapa pakar psikologi juga dilibatkan dalam simposium ini?

Untuk mendalami ini, tidak bisa ideologis. HAM terus, pelanggaran HAM berat, HAM terus itu tidak bisa. Yang satu lagi, kami atas nama negara kalian pemberontak. Tidak bisa. Sejarahlah yang paling objektif dan faktual. Dalam sejarah kita mencoba membedah ciri masyarakat ini bagaimana sih? Amok, banyak buku tentang ini, gampang sekali bangsa INdonesia disulut dengan sebuah isu. Apa itu karakter bangsa ini? Itu yang ingin kita dalami, karena itu juga mempunyai faktor yang berpengaruh terhadap apa yang diperbuat kita sebagai bangsa dengan mudah. Mungkin kalau masyarakat ini rasional, masyarakat di tempat lain, mungkin tidak akan semudah itu.

Konteks pada waktu itu indonesia belum demokratis. Saya percaya ini terjadi untuk Indonesia 2016, ini tidak akan terjadi karena sudah ada check and balances dan kontrol. Kalau dulu, kita bangsa yang penuh perasaan bukan rasionalitas. Itu yang ingin kami dalami. Banyak bangsa lain yang sudah berusaha untuk memulai atau berdamai dengan masa lalu. kok kita tutup mata sih? Kita kalah dengan timor Leste, Kamboja.

Jadi ini adalah multi aspek, agar mendapat gambaran secara menyeluruh.


Rekonsiliasi kan tetap saja harus diawali dengan mengungkap kebenaran, nanti akan ada tim panelis atau bagaimana?

Kami pakai metodologi sederhana. Simposium ini akan memutar kembali film sejarah. Oke kita putar, 65, 64, 63 dan seterusnya, apa sih yang terjadi.


Dalam dua hari?

Ya, dua hari. Setelah dua hari, kami akan bentuk tim perumus untuk merumuskan hasil temuan yang kita dapatkan dalam simposium. Yang tadinya tim pengarah, setelah simposium otomatis akan menjadi tim perumus. Dari kajian, merumuskan temuan hingga rekomendasi ke pemerintah. Masalahnya waktu yang diberikan ke kami tak banyak.


Dengan waktu sesingkat itu, bagaimana panitia menyeleksi potongan sejarah terkait tragedi 65/66 yang banyak itu? Kita tahu banyak versi sejarah, termasuk dari TNI.

Kami ambil, kami pertimbangkan, buka semua. Kami ambil narasumber yang paling kredibel. Simposium ini tidak eksklusif, dan tidak diisolasi. Kami akan mempertimbangkan semua referensi yang ada, termasuk memasukkan sumber dari berbagai buku. Berbagai sumber yang akan diproses, untuk pengayaan data dan informasi.


Sejarawan siapa yang akan datang?

Salah satunya Asvi Warman. Saya tidak bisa bilang satu-satu.


Kalau dari NU atau Muhamadiyah, siapa yang diundang?

Yang kami undang, waktu sempit ya, tidak semuanya gampang menjangkau. Dalam tragedi 65 kalangan agama yang intens terlibat NU. Kami mengundang dua pejabat dari PBNU yang punya pengetahuan, ini juga bukan karena jabatannya ya, tapi bahwa pejabat tersebut punya keterkaitan dengan peristiwa ini. Apakah dulu orangtuanya? Apakah dia sendiri bisa memberikan testimoni, jadi seperti itu.

Siapa?

Saya tak hafal, Mashudi Husein.


Kalau dari TNI?

Dari TNI juga ada beberapa nama, sampai sekarang belum dapat konfirmasi. Konfirmasi masih terus berlangsung. jadi dinamika sangat tinggi.


TNI purnawiran?

Iya purnawirawan.


Ada penolakan?

Bisa, karena ini jadi bukti masyarakat belum siap untuk ini semua.


Kalau tidak ada TNI atau ada pihak yang tak datang?

Kami isi yang penting dari lintas disiplinnya, mungkin ada orang lain yang bisa mengisi, meski tidak ada mewakili sepenuhnya, tapi bisa mewakili dengan pendekatan serupa. Itu maksimal yang kami gunakan.


Tapi hasilnya jangan-jangan prematur? Karena waktu mepet dan semua narsum belum terkonfirmasi.

Kalau kita menunggu semuanya ideal, kita tidak merdeka tahun ini. Ini kesempatan langka, siapa sih yang pernah mencoba?


Pernah mencoba memundurkan tenggat?

Ya karena, pak Luhut juga terikat pemerintah yang lebih luas. Dia bukan presiden.


Pak Jokowi memberi tenggat?

Ya ini tidak langsung, ini politik, ada beberapa menteri yang terlibat di dalamnya. Mereka sudah punya persiapan. Ini adalah sebuah political process, yang kita harus menyesuaikan di dalamnya. Ini bukan seperti di kampus, hitam adalah hitam dan putih adalah putih.


Panglima TNI akan datang?

Tidak akan diundang, tapi akan kita undang. 


Untuk simposium ini sudah berapa kali dibicarakan oleh tim gabungan--Kemenkopolhukam, Kejagung, Komnas HAM, Kemenkumham?

Itu tidak tahu, itu urusan pemerintah. Silakan tanya kepada pemerintah. Kami tidak terlibat dalam hal itu.


Pak Luhut punya konsep apa soal ini?

Saya tidak tahu, saya tidak diberikan delegasi wewenang untuk mengatasnamakan pak Luhut.


Kalau sudah ada rekomendasi, posisi pemerintah apakah akan mengikuti rekomendasi atau ada pilihan lain?

Terserah pemerintah, karena kami punya pengetahuan dengan menyelenggarakan simposium dan kami punya keterlibatan emosional, mungkin kami bisa lebih memberikan konten kepada rekomendasi. Tapi pada akhirnya rekomendasi hanyalah rekomendasi.

Kewenangan menerima atau menolak atau menerima sebagian sepenuhnya ada pada pemerintah.


Ada payung hukum di akhir simposium ini?

Itu (tugas--Red) pemerintah. Kami hanya memberikan rekomendasi. Nanti bayangan saya akan dituangkan dalam bentuk kebijakan. Opsi kami adalah non-yudisial dan rekonsiliasi, begitu. Hanya nanti bagaimana bentuknya tergantung penerimaan dari narasumber.


Dari pernyataan Anda, tragedi 65/66 ini sepertinya hanya bisa diselesaikan dengan rekonsiliasi, sudah tak ada celah untuk yudusial? Karena beberapa pihak masih menginginkan penyelesaian dengan yudisial.

Kita realistis saja, masih mungkin apa tidak? Peristiwa ini terjadi 50 tahun yang lalu.


Bila tak harus ada pelaku yang dihukum, tapi negara mengakui ada pembantaian massal terhadap masyarakat. Bagaimana kemungkinan itu?

Kalau pelakunya sudah tidak ada, nanti silakan pemerintah dengan masukan dari ahli hukum, kalau nanti kita perlihatkan sampai kepada temuan seperti ini apa instrumen yang ada di pemerintah untuk meminta akuntabilitas?

Mau menghukum siapa? lha wong sudah meninggal.


Tapi kembali rekonsiliasi ini, trustnya atau tusukannya adalah untuk kepentingan  bangsa. Pasti bangsa ini punya kelemahan besar pada dirinya pada lingkup bangsa sehingga mampu membunuh satu sama lain. Dan ini tidak kita address pada satu pihak saja. Ini sudah bercampur aduk sehingga memang kita trustnya pada kepentingan bangsa. Bangsa ini gimana sih? Kok bisa mampu berbunuh-bunuhan?


Kedua, konsep keadilan itu macam-macam. Ada keadilan retributif atau bukti konkertnya adalah pengadilan. Ada juga keadilan yang sifatnya transisional. Kita berada pada masa transisi. Dari sistem yang sifatnya otoritarian, yang kebanyakan ini adalah menyangkut para pelaku mausk kepada sistem demokrasi, ini belum tuntas. Kalau dipaksakan bisa saja memberikan hasil yang kontraproduktif. Maka kita lebih baik untuk mencari bentuk apa yangmungkin kita lakukan pada masa transisi daripada kita paksakan apa yang kita pikir ideal harus kita lakukan.


Saya kasih contoh, pengadilan ad hoc Timtim, semua perwiranya dibebaskan. Ya kan? Dan rekonsiliasi itu meng-address lebih komprehensif kepada korban. Nanti akan ada kebijakan pemerintah terhadap korban. Dalam pengadilan, dalam keadilan retributif dia hanya untuk bekerja membuktikan sesorang yang sudah didakwa ini terbukti tidak bahwa dia melanggar hukum?

Kalau terbukti hukum dia, kalau tidak bebas dia. Selesai sudah.

Nah, rekonsiliasi ini akan mengaddress secara komprehensif semuanya. Yang merasakan dirugikan karena tindakan kekerasan bagaimana untuk bisa menjadi tanggungjawab pemerintah? Yang dituntut akuntabilitas. Yang mana yang merupakan kelemahan kewenangan pada instansi negara. Mengapa kok pejabat dan aparat bisa untuk digunakan seperti yang lalu? Pasti ada kelemahan di dalam tataran kewenangan-kewenangan itu, kelemahan pada kontrol. Itulah yang akan direformasi untuk dikoreksi. Jadi lebih komprehensif. Itulah yang ingin dicapai oleh konsep rekonsiliasi.


Tapi misalnya mengadili negara, perumpamaannya hakim mengetuk palu bahwa memang ada pelanggaran HAM berat tapi tanpa ada hukuman ke pelaku. Mekanisme itu mungkin?

Ya itu masuk dalam jalur hukum, hanya pakar hukum yang bisa memberikan pandangan.


Apakah wacana itu akan dimasukkan ke simposium?

Bisa saja itu, nanti ada Pak Muladi pakar hukum di situ. Kita bisa tanyakan dan perdalam ke narasumber yang punya kepakaran hukum dan instrumen apa yang dimiliki pemerintah untuk menjadi opsi alternatif.

  • rekonsiliasi kasus pelanggran HAM
  • rekonsiliasi
  • simposium tragedi 1965
  • Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965”
  • Agus Widjojo
  • Panitia Pengarah Simposium Agus Widjojo
  • Pelanggaran HAM 1965

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Teddy Syamsuri8 years ago

    Saya pribadi adalah aktivis KAPPI Angkatan 1966, historisnya pernah menjadi Ketua Rayon KAPPI SMP Negeri Ciledug di Babakan, Cirebon, Jawa Barat. Markas kami ada di gedung sekolahan yang dekat sekali dengan Ranting CC PKI Babakan dan Pabrik Gula Tersana Baru yang didominasi kaum buruh dari SOBSI onderbouwed PKI. Telah mengalami teror dari Pemuda Rakyat (PR) sayap pemuda PKI. Bersyukur asal kelahiran saya di Desa Gebang, masyarakatnya banyak nahdhiyin (NU) dan Muhammadiyah, sehingga dalam berjuang memenuhi tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang dikumandangkan dari Halaman Depan Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta Pusat pada 10 Januari 1966 itu dan merembes semangatnya sampai ke tingkat kecamatan, membuat perjuangan kami tak pernah ada rasa takut. Tritura jelas tuntutan rakyat yang muncul saat itu. Salah satu tuntutan ialah "Bubarkan PKI", maka tidaklah salahnya jika untuk memperjuangkan tuntutan rakyat untuk membubarkan PKI dilakukan tanpa reserve berdasarkan semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen serta demi tegaknya keadilan dan kebenaran, termasuk demi amanat penderitaan rakyat (Ampera). Jadi, bubarkan PKI jelas tuntutan rakyat, sehingga setelah PKI dibubarkan pada 12 Maret 1966, semestinya tidak perlu lagi diributkan jika ingin sama-sama berbicara dari sisi sejarah yang harusnya dihormati. Tapi jika Pak Agus punya ide agar cepat masalah korban 65 selesai tuntas, bagus juga. Yang pasti jika ada yang mengarah ke Angkatan 1966, ditegaskan belum ada aktivisnya saat peristiwa terjadi membunuh orang PKI. Sebaliknya Angkatan 1966 ada korban seperti Arief Rachman Hakim dan Moh. Ichwan Ridwan Rais. Bahkan ketika para tokohnya bersama RPKAD turun ke desa di bagian Sumatera dan di Jawa Tengah, eskalasi bunuh membunuh mereda, tak ada lagi yang massif. Artinya, ada kontribusi Angkatan 1966 untuk menghentikan adanya pembunuhan pasca G.30.S/PKI itu. Tapi ini adalah pendapat pribadi saya, silahkan saja ikuti simposium yang berniat baik itu dengan seksama. Yang pasti pembubaran PKI adalah tuntutan rakyat saat itu. Terima kasih. Salam takzim, Teddy Syamsuri HS, Ketua Umum Lintasan '66 email : [email protected]