Article Image

SAGA

Ainun Murwani dan Cerita Perjuangan dari Bantaran Kalijawi

"Warga bantaran Sungai Gajahwong dan Winongo Yogyakarta rentan digusur. Paguyuban Kalijawi dibangun sebagai upaya mendapatkan hak atas hunian layak."

Para anggota Paguyuban Kalijawi tengah memetakan kondisi permukiman, sekitar 2012. Ini adalah inisiasi awal renovasi hunian kumuh. (Foto: Dok Kalijawi).

KBR, Yogyakarta - Rapi, tertata, dan asri, begitulah kesan pertama ketika menyusuri bantaran Sungai Gajah Wong dan Winongo, Yogyakarta. 

Rumah-rumah di kawasan itu dibangun menghadap sungai. Jalan inspeksi selebar 3 meter memudahkan mobilitas warga. Di bibir kali, dibangun dinding penahan tanah atau talud untuk mencegah banjir.

Sekitar satu dekade lalu, kondisi ini berbeda 180 derajat. Selama puluhan tahun, bantaran Sungai Gajahwong dan Winongo disesaki permukiman padat dan kumuh.

Di sanalah, Ainun Murwani (47), lahir, besar, hingga berkeluarga. Tepatnya di Kampung Notoyudan, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta.

"Rumah semua masuk ke sungai. Tidak ada pengelolaan limbah. Akses pemadam kebakaran tidak ada. Rentan banjir. Sanitasinya buruk, memperparah kualitas air. Sirkulasi udara, pencahayaan enggak ada, itu mengakibatkan penggunaan energi sangat berlebih,” kisah Ainun. 

Dulu, mulanya, rumah-rumah di bantaran kali dibangun oleh para pendatang. Lambat laun, terbentuklah perkampungan miskin kota. 

“Pendatang mungkin dari Gunung Kidul dan Kulon Progo yang bekerja di sini (kota). Mereka enggak bisa membeli rumah. Terus mereka matok-matok di bantaran. Itu pembiaran. Dicor semen, kok dibiarkan lagi. Akhirnya dikasih dinding jadi rumah, terbentuknya kampung-kampung,” kata Ainun. 

Selama bertahun-tahun, Ainun menjalani hidup tenang seperti warga lain di bantaran sungai. 

Hingga suatu hari di 2012, batinnya terusik kala menghadiri pertemuan warga dengan LSM Arsitek Komunitas (Arkom) Indonesia. Ainun sadar, ia dan keluarga rentan digusur, karena tinggal di lahan sengketa.

“Ketika permasalahan rumah tidak terselesaikan, kita enggak aman. Bagaimana kita dengan enak mencari nafkah, ketika yang dipikir double-double? Tapi ketika keamanan bermukim sudah tercapai, kita tinggal berpikir yang lain,” ujar dia. 

Ainun pun sadar, masalah serupa juga dialami warga yang tinggal di pinggiran sungai. Mereka senasib sepenanggungan. Tanpa ragu ia menyambut ajakan Arkom untuk bergabung dalam Paguyuban Kalijawi. Nama "Kalijawi" diambil dari "Gajahwong" dan "Winongo".

Baca juga: Dedikasi "Suster Kargo" Bantu Korban TPPO

Kondisi permukiman di Kampung Mrican, salah satu kampung informal di bantaran Kalijawi, sebelum direnovasi . (Foto: Dok Paguyuban Kalijawi)

Penggerak

Ainun merupakan penggerak paguyuban yang mayoritas anggotanya perempuan. Kegiatan pertamanya adalah pemetaan kondisi 14 kampung informal di bantaran sungai.

“Itu permasalahannya sama, rumah tidak layak huni, status tanah, sampah, sanitasi, dan air bersih,” ujar Ainun. 

Masalah hunian layak disepakati sebagai prioritas utama untuk dibenahi. Namun, status legalitas tanah membuat warga sulit mengakses bantuan pemerintah.

Akhirnya perbaikan diupayakan secara swadaya dengan cara menabung Rp2 ribu per orang per hari. Iuran dikumpulkan per kelompok yang terdiri 10-15 anggota. Total ada 16 kelompok dari 14 kampung.

"Waktu itu ada hibah dari Arkom, tapi kami merasa itu enggak cukup kalau enggak ditambah dengan tabungan. Akhirnya tabungan Rp2 ribu itu setiap 2 bulan sekali dicairkan, kan Rp1,2 juta. Ditambah dari Arkom Rp1,8, kita dapat Rp3 juta (per orang) untuk renovasi rumah,” tutur lulusan SMK Pariwisata ini. 

Selama 20 bulan, sebanyak 165 rumah yang berhasil direnovasi. Fasilitas publik juga pelan-pelan dibangun atau diperbaiki dari iuran gotong royong itu.

“Rp2 ribu itu apa sih? Beli es teh aja kurang, tapi ternyata dari uang Rp2 ribu bisa menyelesaikan permasalahan dan juga meningkatkan kapasitas perempuan," ucap Ainun. 

Ainun dan segenap pengurus Paguyuban Kalijawi kian bersemangat. Anggotanya pun terus bertambah.

Pada 2014, mereka mengusulkan model penataan kampung informal layak huni ke pemerintah daerah, yang dikenal dengan munggah, mundur, madhep kali (M3K).

“Itu juga untuk membuktikan bahwa di kampung informal, masyarakatnya juga bisa berdaya, bisa menata kampungnya, bisa membuat sesuatu,” Ainun menekankan. 

Konsep munggah atau naik artinya rumah dibuat naik lebih tinggi dari bibir kali untuk mencegah banjir. 

Mundur berarti rumah harus rela dipangkas 3 meter untuk jalan inspeksi, agar kendaraan seperti pemadam kebakaran dan ambulans bisa masuk. 

Yang ketiga, madhep kali atau rumah harus menghadap sungai. Ini untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan warga yang memperlakukan sungai sebagai tempat pembuangan limbah, untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus (MCK).

“Itu kan untuk menjadikan sungai halaman, sungai bersih tidak dijadikan pembuangan,” tegas Ainun. 

Sejak 2015, sebanyak 76 RT mendapat Surat Keputusan (SK) Bupati Sleman sebagai kawasan kumuh.

“Jadi sekarang semua kampung-kampung informal sudah bisa mengakses bantuan atau program dari pemerintah untuk peningkatan kualitas hunian, maupun lingkungannya," jelasnya. 

Baca juga: Perjuangan Jumiyem demi Pengesahan RUU PRT

Penggerak Paguyuban Kalijawi Ainun Murwani, warga Notoyudan, Gedongtengen, Yogyakarta. (Foto: Dok pribadi)

Tak mudah

Keberhasilan ini dicapai setelah melewati onak dan duri. Saat paguyuban baru terbentuk, Ainun mesti mengetuk pintu warga di belasan kampung, meyakinkan mereka untuk sudi bergabung.

“Di 2012 kita bicara penggusuran, diketawain, ditutupin pintu, 'di sini enggak ada nih penggusuran'. Sampai ada yang bilang 'ah Kalijawi alergi'. Pokoknya aku masuk, ketuk pintu, terus lihat wajahku, ditutup pintunya. Ada juga yang 'itu kan cari project, cari uang'," Ainun bercerita. 

Beberapa bulan pertama, Ainun hanya berhasil membentuk 2 kelompok terdiri 20 anggota. PR berikutnya, bagaimana membangun kepercayaan diri para anggota yang mayoritas para ibu untuk terlibat aktif dalam rembuk bersama. 

“Kalau dulu, misal di kampung A, ngajak pemetaan, itu mereka bilang 'enggak bisa, enggak bisa'. Pikiran mereka peta itu globe, 'Enggak Bu, ini kita cuma kotak-kotak aja, bikin denah, ibu A di mana, ibu B di mana. 'Wah biasanya nyekel (megang) munthu, ulekan, kon nyekel potlot (disuruh megang pensil)," ujar Ainun menirukan. 

Bagian yang tak kalah rumit adalah mengajak mereka menabung rutin. Ainun sempat disangka menawarkan investasi bodong. 

Namun, begitu hasilnya terlihat, warga berbondong-bondong merapat ke paguyuban. Kini, anggotanya 300-an orang.

Aktivitas menabung itu kemudian menjadi cikal bakal koperasi simpan pinjam yang diberi nama “Koperasi Sesarengan Mangayu Bagya”, yang artinya bersama-sama meraih kebahagiaan. 

“Sekarang aset (koperasi) udah Rp1 miliar. Jadi simpan pinjam, misalnya untuk pendidikan, kalau ada yang 'aduh anakku harus bayar semester, tiba-tiba Rp15 juta', dia bisa pinjam di koperasi,” tutur Ainun. 

Baca juga: Asa Tak Lekang Muharyati, Politisi Difabel dari "Partai Gurem"

Mobil pemadam kebakaran kini bisa masuk ke permukiman di bantaran Sungai Gajahwong dan Sungai Winongo. Ini lantaran warga bersedia merelakan rumahnya dipangkas 3 meter untuk jalan inspeksi. (Foto: KBR/Muthia)

Kapasitas

Aktivitas Ainun di Kalijawi mendapat dukungan keluarga. Sejak paguyuban terbentuk, Ainun kerap mengajak dua anaknya yang kala itu masih balita, keluar masuk kampung, dengan sepeda motor.

“Satu (anak) kubonceng depan, satu di belakang pakai tali. Itu ke kampung-kampung 16 kelompok waktu itu. Jadi udah kayak anggota DPR, tiap hari ada kerjaan, dari pagi sampai malam,” Ainun bercerita. 

Ainun sempat diprotes mertuanya karena sibuk berkegiatan tetapi tidak menghasilkan uang.

“Aku berpikir keras, harus ngapain ya supaya bisa tetap di Kalijawi, tapi juga punya penghasilan? Aku jadi sopir Gojek sekitar 2-3 tahun. Kalau sopir Gojek bisa bebas ke mana saja, tapi aku juga nanti ikut rapat di Kalijawi, ikut pertemuan, ikut kegiatan,” kata dia. 

Rasa lelah memang kadang menyelinap. Namun, Ainun telanjur cinta dengan dunia aktivisme

“Aku sering curhat sama teman-teman, ‘Aduh aku ki kesel (capek) ra no duite (tidak dapat uang)’. Tapi aku kayak udah menyatu. Jadi aku di rumah juga mikir Kalijawi. Kalau orang udah cinta kan selalu ingin memberikan yang terbaik. Jadi kegiatan sosial itu nyandu, aktivisme itu candu” ujar Ainun tegas. 

Kini, Ainun memilih total berkegiatan di Kalijawi. Kapasitas dan pengetahuannya makin meningkat. Ia kerap diundang sebagai narasumber, pemateri, dan dosen tamu di berbagai kesempatan.

“Dari sekolah, aku aktif, suka berorganisasi OSIS, ikut macam-macam. Jadi ada aktualisasi diri dengan Paguyuban Kalijawi ini. Aku senang bertemu banyak orang, diskusi, sharing. Bahagia banget ketika bisa menghasilkan sesuatu untuk orang lain,” ungkap Ainun. 

Hal yang tak kalah membanggakan adalah Kalijawi bisa menjadi wadah pemberdayaan dan peningkatan kapasitas perempuan warga kampung informal.

“Ini tuh inisiasi kecil, tapi berdampak besar. Perempuan hanya dari pemetaan, hanya dari nabung Rp2 ribu tapi mempengaruhi kebijakan. Terus setiap bulan kita ada diskusi, mengundang narasumber dengan tema-tema pemberdayaan perempuan, kesehatan reproduksi. Jadi Kalijawi membuka ruang untuk perempuan bisa terlibat aktif dalam pembangunan yang selama ini kan maskulin ya,” tutur Ainun. 

Apresiasi

Pada awal Maret 2024, Paguyuban Kalijawi meraih penghargaan dalam kompetisi Gaharu Bumi Innovation Challenge kategori komunitas, yang digelar Ashoka.

Menurut Nani Zulminarni, Direktur Regional Ashoka Asia Tenggara, kompetisi ini adalah strategi membangun gerakan Everyone a Changemaker. Inisiatif seperti Paguyuban Kalijawi diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi yang lain.

"Ini adalah salah satu upaya kita untuk menjangkau lebih luas lagi di luar komunitas-komunitas yang ada, juga untuk memberikan ruang pada komunitas-komunitas menyiarkan inovasi-inovasi mereka. Setelah ikut ini, kita harapkan mereka semakin termotivasi untuk mengajak lebih banyak orang lagi dan bergabung dengan pathway yang sudah ada ini," ujar Nani.

Penulis: Muthia Kusuma Wardani

Editor: NInik Yuniati