BERITA
Menghalau Generasi Gemuk (Bagian 2)
"Kemenkes sebetulnya ingin mengatur komposisi gula, garam dan lemak dari makanan sebelum dijual di pasaran. Hal itu untuk mengurangi asupan garam. Sayangnya, gagal karena industri menolak. "
Rio Tuasikal
KBR, Jakarta - Michelle Minowatan dan temannya pindah ke restoran cepat saji---setelah sebelumnya menikmati caramel macchiato ukuran kecil dan sepotong sandwich.
“Jadi ini ada satu potong ayam fried chicken. Dua kentang goreng,
satu burger, sama satu coke,” ucapnya sembari menunjuk menu baru.
Michelle tidak tahu berapa tepatnya kalori yang dia makan. Dia hanya mengira-ngira.
“Soalnya saya belakangan mau diet, jadi setiap kali beli apa, lihat
kalorinya berapa. Tapi bahkan ada yang di kemasan bahkan nggak mencantumkan
kalorinya.”
Ketidaktahuan kalori yang dialami Michelle menjadi sumber masalah kegemukan.
Karena itu, untuk pertama kalinya Kementerian Kesehatan akan memaksa restoran
cepat saji mencantumkan label nutrisi.
Aturan ini tercantum dalam Permenkes No 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman
Informasi Kandungan Gula, Garam dan Lemak. Beleid itu pun berlaku per April
2016.
Kasubdit Pengendalian Penyakit Jantung Kemenkes, Lili Banonah, menjelaskan
label itu akan mencantumkan gula, garam, dan lemak pada setiap menu. Angkanya
didapat dari tes laboratorium BPOM.
“Minimal begini. Ini gambaran kasarnya saja. Ini ada menu segini. Ada harga
segini. Dia boleh menambahkan kandungan energi berapa, karbohidrat berapa, dan
protein berapa, yang penting kandungan GGL ada. Baru ada pesannya,” ucap Lili.
Label kadar gula, garam dan lemak (GGL) itu harus dicantumkan di buku menu atau dinding restoran. Atau di poster yang ditempel di seluruh toko.
“Jadi selain informasi nilai gizi harus kita beri pesan. Karena kalau dia cuma tahu berapa gula garam lemaknya sudah gitu saja. Tapi kalau kita kasih pesan, dia jadi ingat. Oh sehari itu natrium tidak boleh lebih dari 2000. Ini di makanan ini sudah ada misalnya 800 artinya dalam sehari ini, supaya tidak lebih, tinggal 1200. Nah dia harus hati-hati dengan makanan berikutnya,” tambahnya.
Lili mengatakan, Kemenkes sebetulnya ingin mengatur komposisi gula, garam dan
lemak dari resep makanan sebelum dijual di pasaran. Hal ini senada dengan usulan
profesor kesehatan dari Universitas Washington, Rachel Nugent, untuk mengurangi
30 persen garam dalam resep. Sayangnya, upaya gagal karena industri menolak.
“Kita waktu menyusun ini juga sudah dengan asosiasi pengusaha minuman dan makanan itu. Dan hasil yang kita sepakati dan ditandatangani ibu Menkes ini sudah dikompromikan,” jelasnya
“Awalnya industri bilang apa?” tanya saya.
“Seperti biasa awalnya mereka menolak. Akhirnya standar bahan-bahan itu
tidak jadi, tapi kita minta mereka menginformasikan berapa kadar GGL,”
tuturnya.
Hingga akhirnya pencantuman label nutrisi jadi jalan tengah. Meski tetap saja menuai protes.
“Mereka menganggap ini sama seperti rokok. Kalau rokok kan pesan bergambar
itu memang peringatan. Kalau ini kan bukan, hanya pesan. Itu sebetulnya yang
mereka harus paham.”
Tapi aturan ini hanya berlaku bagi restoran dengan minimal 250 cabang. Seperti
Mc Donald dan KFC. Itu artinya, kedai kopi tidak akan kena aturan ini karena
jumlahnya masih sedikit.
“Memang beberapa juga mempertanyakan itu. Tapi sebenarnya itu hanya salah satu upaya promosi kita. Jadi tidak hanya itu sebenarnya. Jadi dari kawan-kawan gizi dan akademisi tetap melakukan upaya mereka terkait itu. Mau dengan promosi selain GGL, penyuluhan, demo masak makanan sehat,” tutupnya.
Mengubah perilaku masyarakat memerlukan banyak waktu. Seperti
Michelle yang ogah berpindah dari restoran cepat saji.
“Kan sudah tahu banyak informasi, kenapa masih makan di tempat ini?” tanya saya.
“Karena.. Hahaha... karena malas cari yang lain. Apa ya? Namanya orang lapar. Nggak tahu mungkin karena nggak dibiasakan juga. Jadi ya sudah cari saja apa yang ada,” kata Michelle.
“Gua kalau sudah lapar itu gampang khilaf,” ucapnya sambil tertawa.
Editor: Quinawaty Pasaribu
- kesehatan
- gemuk
- rio tuasikal kbr
- kalori
- lemak
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!