OPINI

Pulau Buru

Adegan dalam FIlm Buru. (KBR/Citra)

Pulau di Maluku itu, sekarang jadi lumbung padi.  Produksi beras dari sana melimpah, dan dikirim memenuhi kebutuhan warga Maluku di kota-kota lain, termasuk Ambon.

Padahal Pulau Buru, yang luasnya dua kali Pulau Bali itu, dulu sama sekali bukan penghasil beras. Para tahanan politik yang dibuang ke sana antara Tahun 1969-1979 lah,  yang mengubah hutan-hutan Pulau Buru menjadi sawah-sawah subur.

Ada kerja keras, pengorbanan besar dari para tahanan itu, yang patut dikenang dengan hormat. Tak sedikit yang mati karena sakit, atau disiksa aparat Orde Baru. Mereka, para tahanan itulah yang menyulap Pulau Buru dari hutan sagu dan kayu putih, jadi kawasan sawah beririgasi.  Ada masa, ketika pulau itu juga menghasilkan banyak cengkeh dan ternak.  Keringat para tapol itu menjelma kemakmuran, yang sampai sekarang masih dinikmati warga Maluku.

Tetapi bukan karena itu saja, Pulau Buru penting.  Bekas tahanan terbesar dari masa Orde Baru itu, dapat menjadi pintu yang efektif membongkar kejahatan 1965. Dan memulai rekonsiliasi.

Presiden Jokowi telah memerintahkan jajarannya mencari bukti kuburan massal dari para korban Peristiwa 65. Meski sebetulnya sudah banyak penelitian, film, bahkan penggalian dilakukan warga untuk itu, perintah presiden tetap layak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.  Agar fakta-fakta kejahatan kemanusiaan, yang sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan korban dan pegiat kemanusiaan itu, dapat diungkap dan meyakinkan mereka yang masih skeptis.

Tetapi, memfokuskan perhatian pada Pulau Buru, mungkin dapat membuka jalan yang lebih segera untuk solusi tragedi bangsa kita. Sebab, penetapan Pulau Buru sebagai penjara, tempat pembuangan orang-orang yang disangka komunis itu, adalah kejahatan kemanusiaan yang rancangannya dibuat terdokumentasi oleh Orde Baru.  Karenanya, mudah ditelusuri siapa yang bertanggung-jawab, meski sebagian diantara mereka sudah meninggal.

Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan ketertiban (Pangkopkamtib)  Jenderal Soeharto, tahun 1969 mengeluarkan surat ketetapan, untuk penangkapan massal dan penahanan mereka yang disangka komunis.   Berdasarkan Kep Kopkamtib No KEP 107/Kopkam/2/1969 itu, orang-orang ditangkapi, tanpa perlu bukti yang cukup. Sebagian besar diantaranya, tak diproses lewat pengadilan.  Lalu, Jenderal Panggabean atas nama Soeharto, menandatangani Surat Pangkopkamtib No KEP 009/Kopkam/2/1969, tentang penetapan Pulau Buru sebagai tempat tahanan sementara.  Untuk Pelaksana pengelola tahanan itu, ditunjuk Kejaksaan Agung, yang kemudian membentuk Badan  Perencana Resetlement Buru.  Badan ini bertanggung-jawab kepada Pangkopkamtib.

Sejak itu, diperkirakan 17.000 orang dikirim ke Pulau Buru. Sebagian besar diantaranya menghabiskan waktu terbaik mereka, sembilan-sepuluh tahun yang berat di pulau buangan itu.

Soeharto, dalam sebuah kunjungan ke Wellington, Selandia Baru, 11 Februari 1972 mengakui perannya dalam memutuskan soal tahanan Pulau Buru.  Ia menjelaskan saat itu ada 10.000 tahanan di sana, yang termasuk dalam golongan B.   Klasifikasi yang dibuatnya untuk menggolongkan orang-orang yang diduga terlibat Peristiwa 65, tetapi sulit dibuktikan. Para tahanan itu tidak akan dihadapkan ke sidang pengadilan, karena sulitnya membuktikan kesalahan mereka.

Pulau Buru adalah bukti kejahatan kemanusiaan, yang rancangannya dibuat tertulis oleh petinggi Orde baru. Organisasinya diatur rapi, dari Pangkopkamtib sampai daerah.  Dari Kejaksaan Agung sampai jaksa lokal.  Bahkan ada film yang mereka buat untuk dokumentasi penjara raksasa ini.  Mereka tak menutup-nutupi fakta bahwa yang ditangkapi adalah orang-orang yang bukti kesalahannya sulit dicari.  Karena itu, tak ada yang dibawa ke pengadilan.

Kalau dengan fakta yang ada, Presiden Jokowi bersedia mengambil keputusan politik : bahwa penjara raksasa di Pulau Buru itu adalah kesalahan, ia telah membuat terobosan sejarah.

Soeharto memang sudah meninggal. Tetapi, tidak berarti Presiden Jokowi sekarang tak dapat mengoreksi kesalahan masa lalu Presiden Soeharto.   Ia dapat membatalkan semua keputusan buruk terkait dengan penetapan Pulau Buru sebagai tahanan sementara.  Seperti ia dengan sigap mencabut semua keputusan presiden terdahulu, yang dianggapnya menghalangi masuknya investasi. Jokowi dapat merehabilitasi semua tahanan politik di Pulau Buru, dan mengakui dulu ada kesalahan. Sebab, memang belasan ribu orang itu telah dipenjara semena-mena, tanpa pengadilan.

Walaupun dulu itu bukan kesalahannya,  Jokowi punya kesempatan merehabilitasi nama baik, dan memulihkan hak-hak mereka yang pernah ditahan di Pulau Buru.

  • pulau buru
  • Soeharto
  • korban peristiwa 65

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!