NASIONAL

16 Guru Besar dan Pengajar Hukum Tata Negara Melaporkan Ketua MK

"Ada empat poin yang dilaporkan."

Ardhi Ridwansyah

16 Guru Besar dan Pengajar Hukum Tata Negara Melaporkan Ketua MK
Peneliti PSHK, Violla Reininda (dua dari kanan) menyerahkan berkas pelaporan ke Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Kamis, (26/10). Foto: KBR/Ardhi Ridwansyah

KBR, Jakarta– Belasan guru besar dan pengajar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) melaporkan Ketua MK, Anwar Usman ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Pelaporan yang diajukan enam belas akademisi tersebut diwakili kuasa hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan IM-57. Salah satu peneliti PSHK yang ikut mewakili pelaporan, Violla Reininda mengatakan, ada empat poin yang dilaporkan.

Pertama, soal pemutusan perkara terkait syarat batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Putusan tersebut dinilai memberikan privilese (hak istimewa, red) kepada keponakan Anwar Usman sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai bakal calon wakil presiden. Hal itu terkonfirmasi dengan Gibran yang mendampingi bakal calon presiden, Prabowo Subianto.

Kedua, para pelapor menilai tidak ada yudicial leadership (kepemimpinan peradilan, red) dalam diri Anwar Usman ketika memeriksa dan memutus perkara soal syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden. Salah satu bentuknya, Anwar dinilai tidak menaati hukum acara sebagaimana mestinya. Itu terlihat dari adanya proses yang tak sesuai prosedur, terutama berkenaan penarikan kembali permohonan yang tidak dilanjutkan dengan proses investigasi.

“Kemudian juga ketiadaan yudicial leadership ini berkaitan dengan kepemimpinan beliau ketika menghadapi adanya concurring opinion dari dua hakim konstitusi yang substansinya ternyata dissenting opinion sehingga menimbulkan keganjilan juga di dalam putusan MK,” kata Violla di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis, (26/10/2023).

Terakhir terkait dengan komentar Anwar Usman ketika perkara belum diputus, yakni pada saat mengisi kuliah umum di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang. Kala itu, Usman berkomentar tentang substansi pengujian undang-undang tentang syarat usia menjadi calon presiden dan wakil presiden.

“Harapan kami agar perkara ini bisa diperiksa secara objektif oleh MKMK. Kemudian kami mendorong adanya sikap kooperatif dari para hakim konstitusi yang potensial dihadirkan sebagai saksi di dalam laporan ini,” ucap Violla.

16 akademisi yang terlibat dalam pelaporan tersebut di antaranya Denny Indrayana, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Syarat Capres-Cawapres Berubah

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi gugatan syarat calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilihan Umum. Gugatan itu diajukan mahasiswa hukum Universitas Surakarta UNSA, Almas Tsaqib Birru. Almas mengeklaim dirinya sosok pengagum Gibran. 

Ketua MK Anwar Usman mengatakan, batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, kecuali pernah atau sedang menjabat kepala daerah yang dipilih lewat pemilu.

Keputusan itu memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Anwar Usman adalah paman Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo.

Putusan ini kemudian menuai protes dari berbagai pihak dan menimbulkan perdebatan. Sebagian di antaranya kemudian melaporkan beberapa hakim MK ke MKMK.

Dalam putusan itu, tiga hakim mengabulkan sebagian, dua hakim menyatakan concurring opinion atau perbedaan argumentasi namun tak berdampak pada perbedaan amar putusan, sedangkan empat hakim lain menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • MKMK
  • Mahkamah Konstitusi
  • Pemilu 2024
  • Pilpres 2024

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!