BERITA

Anak Eks Gafatar Didiskriminasi, Kemensos Janji Bantu

""Jadi kalau laporan begitu, kami komunikasikan dengan daerahnya, dan langsung mengurusi ke daerah yang melakukan hal itu.""

Eli Kamilah

Anak Eks Gafatar Didiskriminasi, Kemensos Janji Bantu
Aksi Gafatar menolak tuduhan sesat. (Sumber: Kesbang Kalteng)



KBR, Jakarta- Koalisi Advokasi Hak Anak Indonesia KAHAI meminta Kementerian Sosial segera bertindak untuk merehabilitasi anak-anak eks Gafatar. Menurut Ilma Sovri Yantri dari KAHAI, saat ini masih ada ribuan anak-anak ex Gafatar yang tidak bersekolah dan mendapatkan diskriminasi.

Kata Ilma itu terjadi  akibat stigma dari masyarakat yang menilai Gafatar adalah kriminal dan aliran sesat. Salah satunya, kata dia anak-anak ex Gafatar yang berasal dari Jawa Barat.

Mereka meminta pemerintah  menjamin hak-hak sebagai warga negara. Yakni mendapatkan pendidikan, kesehatan maupun pelayanan umum lainnya.


"Teman-teman ini tidak muluk-muluk. Tidak ada tuntutan mengada-ngada. Tetapi berangkat dari pengusiran, relokasi, hidup di pengungsian, dan pulang ke daerah masing-masing, mereka terlantar. Kemudian dari stigma dan label di lingkungan sosial. Mereka tidak mendapatkan layanan dan fasilitas dengan baik dan sewajarnya. Juga tidak mendapat program sosial pemerintah," kata Ilma kepada KBR di Gedung Kementerian Sosial, Kamis (6/10/2016).


Ilma menambahkan, dari data yang dihimpun KAHAI, ada 2.610 anak-anak eks Gafatar usia 0-11 tahun dan 973 anak usia 12-18 tahun yang terlantar setelah mereka dipulangkan dari Kalimantan ke wilayah mereka masing-masing. Namun kebanyakan mereka berpindah-pindah. Ujar Ilma, mereka saat ini tersebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia, terbanyak ada di pulau Jawa.


"Mereka hidup berpindah-pindah, karena hidup terancam sulit bersosialisasi, dan terhambat karena isu makar dan aliran sesat yang beredar di masyarakat. Ini kondisi anak berada dalam kondisi darurat dan membutuhkan perlindungan khusus dan power negara," ungkapnya.


Stigma dan diskriminasi terhadap eks Gafatar diutarakan Ida Zubaidah, bekas pengikut Gafatar. Kata dia, saat ditampung di Dinas Sosial Jawa Barat, di daerah Cimahi, anak-anak mereka di data. Kemudian di foto layaknya seorang tahanan.


"Lebih menyedihkan di Cimahi kita difoto dan dikasih ke keluarga, ditulisnya tahanan, terus pake bajunya orange semua. Itu ada di Majalengka, Sukabumi. Polisinya datang lengkap, beserta kepala kecamatan dinas,  itu sengaja mengumumkan, masyarakat luar datang ke keluarganya. Itu tulisannya kriminal. Ini anak ibu anaknya teroris. Fotonya diedit, dicrop, pdahal kita pake baju biasa." Ujarnya lagi,

Ida melanjutkan, "bujang dan gadis, kalau mau bekerja di haruskan membuat SKCK, itu ditulis pernah terlibat kriminal. Terus anak-anak didata semua, di foto seperti itu."

Ida mengaku kehilangan komunikasi dengan para sahabatnya sesama eks Gafatar. Sebabnya, terlalu banyak stigma dan diskriminasi, membuat mereka diusir di sana sini. Bahkan untuk menyewa rumah pun sulit.

" Saya kehilangan kontak sejak dari Dinas Cimahi. Kontaknya sudah ngga aktif. Infonya dia sekarang ada di Sukabumi atau Majalengka." Katanya lagi, sahabatnya yang lain di daerah Bogor juga mengalami pengusiran oleh warga kampung di sana. "(Tempatnya di mana? di Bogor, belakang Kopassus, yang mengalami pengusiran seluruh kampung tidak terima,"cerita Ida.

Ketakutan akan stigma sebagai kriminal, aliran sesat maupun teroris dialami juga Ibu dua Anak, Parmi. Pascapemulangan dari Kalimantan, dia akhirnya tinggal di Tangerang, Banten. Hingga sekarang anaknya tidak pernah  bersekolah. Dia mengaku takut jika hal serupa terjadi pada kedua anaknya.


(Di Tanggerang belum masuk sekolah?) Belum. (Karena takut?) Iya. Kalau kita kan ngga risih, tapi kan anak. Dia juga pernah ditanya, Susan kenapa kamu ngga sekolah. Iya nanti. Sekarang saya juga kan ngurus-ngurus. Sudah ngurus di sana, tinggal di sini,"tegasnya.


Parmi menambahkan tak ingin si sulung yang seharusnya kini duduk di bangku kelas 6 SD tertinggal pelajaran, dia pun berbenah memberi pelajaran di rumah. Begitupun dengan anak keduanya yang berusia 6 tahun. Dia pun berusaha berbaur dengan masyarakat, meski seringkali ada selintingan 'aliran sesat atau kelompok makar'.


"Itu ada yang ngontrak, bisik-bisik. Jadi disangkut pautkan dengan keyakinan. Padahal kan keyakinan masalah itu hak masing-masing. Ibaratnya udah amaluna amalukum. Cuman kalau lingkungan ya berbeda-beda. Kalau teroris seh ngga,"ujarnya.



Tindaklanjut


Kementerian Sosial mengaku tak mengetahui jika masih ada ribuan anak eks Gafatar yang tidak mendapatkan hak mereka untuk sekolah, pascapemulangan mereka dari Kalimantan. Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, Nahar berjanji anak-anak eks Gafatar yang terlantar akan segera mendapatkan hak mereka.

Nahar menyatakan akan melakukan pemetaan terlebih dahulu. Ini dilakukannya untuk mencari solusi dan koordinasi dengan masing-masing pihak terkait. 

"Rumusnya bagi Kemensos ketika terjadi persoalan darurat di mana anak harus ditangani segera, maka mekanismenya sudah punya. Sepanjang sudah bisa di assesment kebutuhannya, maka dengan pola seperti itu, kita bisa memilah kebutuhannya seperti apa."


Pemetaan yang dimaksud Nahar, adalah mengklasifikasikan nama anak, lokasi, permasalahan dan kebutuhan anak. Dia pun meminta KAHAI memberikan data yang sudah dimiliki mereka terkait anak-anak Gafatar. Hal itu pun kata Nahar untuk memastikan tidak ada sekolah yang menolak anak-anak eks Gafatar.


"Education for All, jadi tidak boleh ada yang dilarang untuk sekolah. Jadi kalau laporan begitu, kami komunikasikan dengan daerahnya, dan langsung mengurusi ke daerah yang melakukan hal itu. Dan kami pun bisa berkoordinasi langsung dengan pihak terkait, misalnya kemendikbud," ujarnya.


Kemensos  mengkritik  Dinas Sosial yang dinilai mendiskriminasi  eks Gafatar  seperti   di Dinsos Cimahi Jawa Barat. Dinsos, kata dia tidak langsung melaporkan apa yang terjadi di daerahnya kepada Kemensos. Pemerintah Daerahlah yang bertanggungjawab penuh terhadap warganya, termasuk ex Gafatar.


"Sebetulnya itu menjadi protap, ketika ada persoalan anak. Otomatis harus jalan, ketika ada persoalan anak di daerah. Jangan ujung-ujungnya langsung lompat ke pusat, kapan mau otonomi daerah. Makanya kami kaget soal ini," pungkas Nahar.


Editor: Rony Sitanggang

  • eks gafatar
  • Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial
  • Nahar
  • eks Gafatar diutarakan Ida Zubaidah
  • Ilma Sovri Yantri dari KAHAI

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!