BERITA
Pencalonan Terpidana, JPPR Desak KPU Tolak Hasil RDP
""Mengikat itu untuk sementara dikesampingkan dulu. Dan dikuatkan dengan pakar. Atas nama ketaatan hukum positif, yang nyata-nyata diajukan komisi II bisa dilawan,""
Eli Kamilah
KBR, Jakarta- Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggugat hasil rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi Pemerintahan DPR, soal terpidana percobaan yang dibolehkan ikut pilkada. Menurut Koordinator JPPR, Masykurudin Hafidz, KPU bisa menolak hasil RDP, dengan menghadirkan para pakar hukum soal aturan itu. Kata dia hasil RPD jelas-jelas bertentangan dengan UU Pilkada.
"Jadi tidak ada yang sangat clear. Yang ada tafsiran. KPU itu menggugat hasil RDP dengan menghadirkan alasan-alasan konstitusional yang disandingkan dengan KUHP. Jadi KPUnya bertahan. Mengikat itu untuk sementara dikesampingkan dulu. Dan dikuatkan dengan pakar. Atas nama ketaatan hukum positif, yang nyata-nyata diajukan komisi II bisa dilawan," ujarnya kepada KBR, Senin (12/9/2016).
Masykurudin menambahkan, selama ini, KPU dinilai kurang berani melawan. Padahal, kata dia keputusan RDP DPR hanya bersifat politis.
"Bisa atau tidak tergantung keberaniannya KPU. KPU kurang berani karena tidak mau gaduh. Karena memang semua baru, ketua baru, komposisinya baru, RDP lagi kuat-kuatnya, dan lain-lain. Kegaduhan harus segera diakhiri,"pungkasnya.
Dia menilai selama ini tidak ada aturan yang mengatur bahwa Peraturan KPU mengikat juga untuk partai politik. Sebab, DPR yang merupakan perwakilan parpol adalah unsur yang nantinya melaksanakan PKPU dalam pilkada.
"Kesalahannya sejak awal, tidak ada lembaga apapun, yang peraturannya itu tidak bersifat mengingat dengan pesertanya sendiri. DPR itu adalah perwakilan parpol yang jelas melaksanakan PKPU, yang dibahas bareng KPU, yang jelas sesuai kepentingannya," lanjutnya.
PKPU ini, akan membawa potensi lebih besar bagi parpol untuk mencalonan kepala daerah, ataupun DPRD yang berstatus terpidana percobaan. Apalagi melihat pengalaman pilkada 2015 lalu. Kata dia, ada sekitar 5 calon yang maju dalam pilkada merupakan bekas narapidana.
"Pilkada 2015, ada 5 mantan narapidana yang jelas. Parpol tidak punya saringan dalam mencalonkan. Yang paling fenomenal adalah kasus Jimly Rimbarogi yang di Manado. Dia punya masalah hukum, tetapi tetap dicalonkan," katanya.
"Sejarah membuktikan di pilkada 2015, parpol mengusung calon-calon pejabat publik yang bermasalah. Kalau ketentuan itu dibuka, itu akan terbuka lebar. Kita cek saja, apakah partai yang ngotot itu mencalonkan partai bermasalah. Tidak lebih dari satu bulan kan, parpol mana yang mencalonkan. Ada relevansinya dengan aturan PKPU-kah?" ungkapnya.
Rapat dengar pendapat (RDP) antara Kementerian Dalam Negeri, KPU, dan DPR pada Sabtu (10/9/2016) memutuskan bahwa terpidana yang menjalani hukuman percobaan atau terpidana boleh mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017.
Baca: PKPU Terpidana pecobaan Kelar Rabu ini
Rapat dengar pendapat (RDP) antara
Kementerian Dalam Negeri, penyelenggara pemilu, dan DPR Sabtu
(10/9/2016) memutuskan bahwa terpidana yang menjalani hukuman percobaan
atau terpidana yang tidak diputuskan hukuman penjara boleh mendaftarkan
diri menjadi calon kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Serentak 2017.
Dalam UU no 10 tahun 2006 pasal 7 g tentang syarat calon kepala daerah
dinyatakan; tidak pernah dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi
mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada
publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
KPU lantas mengeluarkan peraturan nomer 5
tahun 2016 tentang pencalonan kepala daerah. Pasal 4 aturan itu berisi
sejumlah syarat pencalonan.
Editor: Rony Sitanggang
- pencalonan terpidana
- Koordinator JPPR
- Masykurudin Hafidz
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!