CERITA

Hadiqa Bashir: Gadis 13 Tahun Penentang Pernikahan Anak

"Kini sepulang sekolah, dia mendatangi rumah-rumah warga untuk meminta para orangtua untuk tidak menikahkan anak-anak mereka yang masih kecil. "

Mudassar Shah

Hadiqa Bashir yang menentang pernikahan anak. (Foto: Mudassar Shah)
Hadiqa Bashir yang menentang pernikahan anak. (Foto: Mudassar Shah)

Hadiqa Bashir baru berusia 13 tahun. Tapi dia sudah menyelamatkan anak-anak perempuan dari pernikahan anak di daerah pedesaan Pakistan. Meski di Pakistan dianggap melanggar hukum, praktik pernikahan anak masih banyak terjadi di Lembah Swat.

 

Hari ini ada perempuan bernama Shabana yang mengunjungi Hadiqa Bashir.

 

Shabana datang bersama ibunya. Hidungnya ditutupi kain kassa putih. Dia bercerita pada saya penyebabnya.

 

“Ibu mertua saya meyuruh suami saya menyelesaikan tugasnya dan kemudian pergi. Saat itu saya sedang bersama putra saya. Suami saya kemudian meminta saudara ipar saya untuk membawa putra saya ke ruangan lain. Setelah itu dia memotong hidung saya. Besok paginya ibu mertua saya datang dan memeriksa hidung saya. Dia bilang harusnya hidung saya dipotong lebih banyak,” kisah Shabana.

 

Keluarga sang suami mengatakan mereka melakukannya karena Shabana tidak becus mengerjakan tugasnya.

 

Awalnya polisi lamban menindaklanjuti kasus ini. Tapi Hadiqa yang berusia 13 tahun bersama kelompok HAM lainnya kemudian mendesak polisi untuk mendaftarkan kasus itu. Suami Shabana kini mendekam di penjara menunggu sidang.

 

Suaminya berupaya menekan Shabana agar kasus ini berakhir damai.

 

Kini Shabana tinggal bersama orangtuanya dan kerap mengunjungi Hadiqa yang banyak memberikan bantuan keuangan dan moral kepadanya.

 

Hadiqa Bashir termotivasi membantu gadis lain karena saat dia berusia 10 tahun, dia hampir dinikahkan.

 

“Nenek saya mulai memikirkan secara serius pernikahan saya. Tapi saya menolak dan tetap mau melanjutkan sekolah. Saya memutuskan untuk menentang pernikahan anak untuk menghentikan penderitaan yang dialami gadis-gadis lain. Saya dengan terbuka bilang ke nenek kalau saya tidak mau menikah sekarang dan mau menyelesaikan sekolah,” kisah Hadiqa.

 

Neneknya sangat marah dengan keputusan Hadiqa dan sempat tidak mau bicara dengannya selama berbulan-bulan. Tapi kini sang ibu sudah mau menerima keputusannya.

 

Sepulang sekolah, tiga kali dalam sepekan, Hadiqa Bashir mengunjugi rumah-rumah di lingkunganya. Targetnya mengunjugi sekitar 1500 keluarga.

 

“Orangtua harus tahu kalau anak juga punya hak. Karena itu saya datang ke rumah-rumah. Saya ingin meyakinkan politisi untuk mengamandemen kebijakan soal pernikahan dan melaksanakan UU yang melarang penikahan anak. Selain itu saya ingin negara menghukum orangtua yang menikahkan anak-anakanya yang masih kecil,” kata Hadiqa lagi.

 

Hadiqa mengetuk pintu sebuah rumah dan seorang pria sepantaran ayahnya menemuniya.

 

Gadis itu dengan sopan bertanya pada pria itu apakah dia punya anak gadis dan dia menjawab punya. Dengan hati-hati Hadiqa bercerita padanya tentang dampak negatif pernikahan anak.

 

Sang pria berterima kasih atas informasi yang diberikan Hadiqa. Dia juga terlihat sedikit terkejut karena ada seorang gadis muda melakukan hal ini.

 

Hadiqa dengan dukungan ayahnya, membentuk sebuah kelompok bernama Girls United for Human Rights - atau 'Anak Perempuan Bersatu Demi HAM'. Mereka mengadakan berbagai kegiatan dengan bantuan ayahnya untuk mendidik anak-anak soal sisi gelap pernikahan anak.


Hari ini dia bercerita pada 15 anak di Mingora soal seorang gadis yang lebih memilih mati ketimbang menikah muda.


Nusrat Jan yang berusia 13 tahun berupaya mengigat kembali mimpi buruk itu. Dia lari dari rumah agar tidak dinikahkan dengan pria berusia 51 tahun. Kini dia tinggal di sebuah kamar sempit di rumah bibinya.

 

“Saya lebih baik minum racun ketimbang menikahi dia. Saya tidak tahu apa yang bakal terjadi pada saya sekarang. Tapi saya siap untuk mati,” tekad Nusrat.

 

Kampanye Hadiqa menentang penikahan anak sangat berat dan sangat sedikit yang mendukungnya.

 

Sebuah laporan UNICEF tahun 2014 menemukan tujuh persen gadis Pakistan dibawah 15 tahun sudah menikah. Dan 40 persen gadis di Pakistan menikah sebelum berusia 18 tahun.  

 

Tak jauh dari desa Hadiqa, Sajjid Khan, berencana menikahnya putranya yang berusia 9 tahun dengan bocah perempuan berumur 5 tahun.

 

“Saya tahu anak perempuan itu terlalu muda untuk menikah dengan putra saya. Putra saya juga masih kecil. Tapi saya ingin melihat mereka segera menikah. Mereka akan bersama satu malam dan anak perempuan itu pulang ke keluarganya sampai dia mencapai usia akil balik,” ungkap Sajjid Khan.

 

Ayah dari pengantin perempuan, Wasim Jan, ingin pernikahan ditunda hingga lima tahun lagi. Tapi setelah berdiskusi, akhirnya dia setuju melakukannya sekarang.   

 

“Ayah anak laki-laki itu tidak mau menunggu selama itu. Dia khawatir setelah lima tahun, kami akan berubah pikiran. Pada akhirnya saya menerima lamarannya.”

 

Hadiqa berharap generasinya yang terakhir.

 

“Menurut saya kaum pria tidak akan membawa perubahan dalam masalah pernikahan anak. Ini saatnya bagi perempuan untuk menyuarakan haknya. Dan saya yakin generasi kami dan kelompok saya akan berperan membawa perubahan posistif dan akan menghentikan praktik pernikahan anak di daerah ini,” tutup Hadiqa.

 

  • Mudassar Shah
  • Hadiqa Basir
  • Pernikahan anak Pakistan
  • hak anak pakistan
  • penentang pernikahan anak Pakistan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!