Article Image

SAGA

Kriminalisasi di Dolok Parmonangan dan Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat

"Ratusan kasus sengketa lahan masyarakat adat terjadi sejak 2017. Posisi mereka sangat rentan dikriminalisasi, sehingga butuh perlindungan hukum "

Aksi Desakan Pembebasan Sorbatua Siallagan dilakukan Masyarakat Adat Tano Batak di depan Polda Sumatra Utara. (Foto: AMAN)

KBR, Jakarta - Rusiman Siallagan bergegas pulang setelah menerima kabar Sorbatua Siallagan ditangkap orang tak dikenal 22 Maret 2024 lalu.

Berita penangkapan Ketua Komunitas Adat Dolok Parmonangan, Simalungun, Sumatera Utara ini bikin geger keluarga dan warga adat.

Sore itu juga, mereka mendatangi Polsek Tiga Dolok untuk mencari tahu. Namun, keterangan polisi malah membantah kabar penangkapan.

"Kami makin bingung katanya tidak ada penangkapan. Kami telepon kepala desa jawabannya juga tidak ada penangkapan," ujar Rusiman

Setelah berjam-jam mencari, terungkaplah kejelasan bahwa Sorbatua ditahan di Polda Sumatera Utara. Info ini didapat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak.

Sorbatua ditangkap 10 anggota polisi berpakaian preman saat berbelanja pupuk bersama istri di Tanjung Dolok.

Kakek berusia 65 tahun ini dilaporkan PT Toba Pulp Lestari atas tuduhan merusak, menebang, dan membakar hutan konsesi.

“Kami berikan kabar kepada pengurus dari AMAN, dari sinilah kami mengetahui bahwa ada jejak penangkapan ini dari kapolda,” katanya.

Baca juga: Mereka yang Menolak Ditelantarkan di Sangiang

Rusiman Siallagan menyebut masyarakat adat sudah melayangkan protes ke perusahaan soal tanah adat sejak 2018 namun tak membuahkan hasil. (Foto: Dok pribadi)

Penangkapan Sorbatua jadi puncak konflik komunitas adat di sekitar Danau Toba dengan PT TPL.

Masyarakat adat merasa berhak atas tanah mereka karena telah hidup di sana selama ratusan tahun. Sedangkan, PT TPL baru mendapat izin konsesi pada 1983.

Tak kurang dari 160-an hektare tanah adat yang tumpang tindih dengan lahan konsesi. Namun, perusahaan seakan tutup mata.

“Orang itu selalu berupaya mengusir. Mereka mengatakan 'kenapa enggak ada surat kalian pegang?' Tidak mungkinlah ada surat, kami terangkan dari sejarah nenek leluhur, bahwa kami di kampung ini sebelum jajahan Belanda sudah ada,” terang Rusiman.

Rusiman menyebut warga yang tinggal di sana pernah meminta pembuatan sertifikat tanah. Namun, pihak pemerintah kabupaten hanya mengeluarkan surat keterangan.

"Suratnya dibuat hanya sebatas dari kecamatan, tapi itulah sebagian kawan sekampung ini membuat sertifikat, tidak diberikan. Jadi kita kan tidak tahu, entah kayak mana itu aturannya," tuturnya.

Sejak 2018 Komunitas Adat Dolok Parmonangan memperjuangkan tanahnya. Sorbatua Siallagan termasuk yang paling lantang melancarkan protes.

Keberadaan makam leluhur di lahan konsesi PT TPL menjadi salah satu bukti kuat masyarakat adat. Namun, bukti itu terancam dihilangkan.

“Di sebelah makam leluhur juga ditanami bambu oleh orang dulu, masih ada bekasnya sampai sekarang. Tapi mencoba untuk menghapuskan bukti-bukti di lapangan itu," kata Rusiman.

Masyarakat adat sempat meminta dukungan dari Pemerintah Kabupaten Simalungun. Hasilnya, nihil.

“Kabupaten Simalungun ini kan dulunya kerajaan tapi Pemkab bilang bahwa di Simalungun tidak ada (kerajaan), ‘tidak ada di sini tanah adat’," Rusiman meniru percakapan saat ia meminta pengakuan dari Pemkab.

Baca juga: Tangis Warga Air Bangis Dibelit Konflik Agraria dan PSN

Peta Wilayah Adat berdasarkan Badan Registrasi Wilayah Adat pada 2019 mencatat wilayah Dolok Parmonangan mencapai 800-an hektare (Foto: Dok BRWA Pusat)

Kriminalisasi terhadap Komunitas Adat Dolok Parmonangan sudah berulang kali terjadi. Kasus ini hanya satu dari sekian banyak konflik antara masyarakat adat melawan perusahaan. AMAN mencatat ada 300-an konflik sejak 2017.

Komunitas adat selalu dalam posisi lemah karena tidak punya perlindungan hukum. Karenanya, Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat dinilai kian mendesak untuk segera disahkan.

“Ada kebutuhan yang mendesak untuk segera membentuk undang-undang, bukan surat edaran atau surat keputusan bupati/gubernur," kata Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, Syamsul Alam Agus.

Menurut Agus, RUU Masyarakat Adat mandeg di DPR. RUU ini diusulkan oleh AMAN pada 2009, kemudian masuk program legislasi nasional 2020 dan 2023. Namun, hingga mendekati akhir kepemimpinan Jokowi periode dua, tak ada kejelasan tentang nasib beleid tersebut.

Inilah yang mendorong AMAN dan sejumlah komunitas adat menggugat DPR dan Jokowi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, awal April 2024 lalu.

“Tindakan pengabaian yang dilakukan DPR dan presiden, tidak segera membentuk UU masyarakat adat, itu merupakan pelanggaran HAM. Pelaku diperintahkan melakukan pemulihan pada korban, dengan segera membentuk undang-undang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat,” jelas Agus.

Baca juga: Derita dan Luka Korban Kawin Tangkap

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, Syamsul Alam Agus (berdiri) menyebut RUU MA harus disahkan sebagai bentuk perlindungan dan pemajuan MA. (Foto: Valda/ KBR)

Sementara itu, anggota Badan Legislatif DPR RI Luluk Hamidah mengakui RUU Masyarakat Adat mangkrak karena DPR dan pemerintah tak mengganggapnya sebagai hal mendesak.

Luluk bahkan menilai negara tidak punya keinginan politik untuk memberikan pengakuan ke masyarakat adat.

“Absennya political will membuat masyarakat adat ini terpinggirkan, terdiskiriminasi, mengalami kekerasan, dan situasi-situasi yang sangat buruk lainnya,” kata Luluk

Politikus PKB ini menyebut RUU Masyarakat Adat didukung 7 fraksi. Namun, ada narasi dari fraksi yang kontra, jika RUU disahkan, maka bakal berdampak ke investasi.

“Karena kepentingan ekonomi dari negara tidak segan melanggar untuk istilahnya proyek strategis nasional (PSN). Jadi demi memuluskan PSN bahkan yang namanya masyarakat adat itu bisa dikesampingkan,” jelasnya.

Menurut Luluk, perlu desakan terus-menerus kepada DPR maupun pemerintah agar muncul kemauan politik untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

“Jadi DPRnya bisa jadi inisiatif, lalu pemerintahnya kita minta, kalau punya niat baik dan juga political will yang sangat kuat maka desaklah DPR agar bisa segera membawa RUU ini ke rapur di sisi lain pemerintah sudah menyiapkan DIM,” pungkasnya. 

Baca juga: Masyarakat Adat Terusik Pasal Living Law KUHP Baru

Penulis: Valda

Editor: Ninik Yuniati