Article Image

SAGA

Asa Tak Lekang Muharyati, Politisi Difabel dari Partai "Gurem"

"Hampir tak ada caleg difabel masuk parlemen. Banyak kebijakan yang belum inklusif. Muharyati ingin mengubah kondisi ini dengan menjadi politisi. "

Muharyati tidak melakukan kampanye secara khusus, ia mengandalkan kerja-kerja advokasinya untuk memperkenalkan diri ke calon pemilih. (Foto: KBR/Nafisa)

KBR, Jakarta - Muharyati dengan saksama mengikuti proses penghitungan suara di TPS 041, Duren Sawit, Jakarta Timur. Cekatan ia merekap, meski gesturnya agak berbeda dibanding orang kebanyakan.

Buku catatan bukan ia pegang, tetapi disandarkan di lengan kiri. Tangan kirinya memang tak sempurna, ia tunadaksa sejak lahir.

“Sebagai saksi di TPS, biar suara kita jangan hilang. Karena apa? Memang kalau nggak dikawal, suara ini akan hilang, terutama di kecamatan. Itu sudah ada transaksi yang para caleg tuh untuk beli suara,” kata Muharyati.

Pada hari pencoblosan, 14 Februari 2024 lalu, Muharyati menjadi saksi di TPS. Ia juga caleg DPRD DKI Jakarta dari Partai Buruh.

Namun, berdasarkan hasil hitung cepat, partai bernomor urut 6 itu tak lolos ambang batas parlemen. Otomatis Muharyati juga gagal.

“Jika tidak terpilih ya nggak ini (kecewa) banget. Saya nggak patah semangat. Saya jadi semangat, tambah semangat,” ungkapnya.

Ini pertama kali Muharyati maju nyaleg, meski sempat lama berkecimpung di dunia politik. Ia pernah menjadi kader PDI Perjuangan selama 20 tahun.

“Saya (dulu) untuk maju menjadi caleg diminta mahar, ada nominalnya. Sedangkan di Partai Buruh, tidak, free. Aku diminta Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (nyaleg) karena kita memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan PKH, bansos, dan sebagainya,” tutur perempuan kelahiran 1969 ini.

Muharyati akhirnya berlabuh di Partai Buruh karena kesamaan visi. Modalnya berkampanye bukanlah uang, melainkan mulut dan pengalaman.

“Kalau untuk pendanaan kebetulan Partai Buruh yang membuat APK (alat peraga kampanye), seperti banner, stiker. Tapi kalau untuk kampanye ke teman-teman, aku sih cuma modal mulut, karena saya tahu lapangan, bagaimana kondisi disabilitas. Saya nggak mengeluarkan uang, ngasih sembako, saya nggak punya,” ujar dia perempuan kelahiran Jakarta ini.

Baca juga: Pemilu 2024, "Musim Dingin" bagi Perempuan Politik?

Muharyati mencatat hasil penghitungan suara di TPS 041, Duren Sawit, Jakarta Timur. Ia terdaftar sebagai pemilih di TPS itu sekaligus sebagai saksi dari Partai Buruh. (Foto: KBR/Nafisa)

Kerja advokasi

Dunia advokasi memang sudah digelutinya sedari lama. Sebagai paralegal di LBH Jakarta dan LBH Apik, Muharyati banyak mendampingi difabel yang didiskriminasi. Misalnya urusan upah murah, PHK, hingga akses pendidikan yang sulit.

Ketidaksetaraan pun kentara di bilik TPS, saat difabel menyalurkan hak pilih. Hal itu berdasarkan pantauan Muharyati di sejumlah TPS.

“Kayak form pendamping harusnya kan minimal 10 lah, karena kan kita nggak tahu seseorang yang akan jadi disabilitas. Stroke, tidak bisa berjalan, kan masuk disabilitas, masak form pendamping satu, sedangkan di sini kan 266. Nah, template alat coblos mestinya ada, siapa tahu nanti pemilihnya tiba-tiba dia mengalami diabetes, glaukoma, kan nggak bisa lihat,” Muharyati menekankan.

“Makanya saya suka ngomong, libatkan disabilitas. Karena yang paham itu orang disabilitas,” imbuhnya.

Isu diskriminasi sangat personal bagi Muharyati. Sulung dari enam bersaudara ini kenyang dengan perundungan sejak kecil, karena terlahir difabel.

“Ya kalau dikatain anak-anak, aku lawan. Berantem, hayuk, (dengan) anak laki juga nggak masalah. Jadi sudah terbiasa, aku nggak merasa rendah diri, bahkan galak, kalau di-bully, aku lawan,” tutur dia.

Sebelum berkecimpung di dunia aktivis, ia bekerja sebagai penjahit.

“Tahun 2011 aku baru tahu ada organisasi disabilitas. Tadinya aku seorang ibu yang pokoknya penjahit, terus ngurus anak, pas 2019 aku mulai mengajar di panti, aku mulai rasa empati, ‘oh, ternyata yang cacat bukan hanya aku. Aku bahkan ringan, mereka yang nggak bisa jalan’,” ungkap Muharyati.

Lambat laun, tekadnya kian bulat untuk berbuat lebih banyak demi mengakhiri diskriminasi terhadap difabel. Salah satunya dengan mendaftar sebagai anggota Bawaslu. Namun, asa itu pupus.

“Ternyata masih ada diskriminasi juga. Ketika bikin surat kesehatan, pengadilan, SKCK, terutama kesehatan jasmani/rohani. ‘Bu, ini surat keterangan kesehatannya kurang, harusnya keluaran rumah sakit, kan mahal, Rp750 (ribu), sama keterangan rohani, jadi Rp350 (ribu), jadi Rp1,1 juta. Itu kurang satu syarat doang, aku ditelepon, di-WA, di-SMS, di-email,” kisahnya.

Muharyati tersisih karena tidak diberitahu jadwal tes tertulis.

“Ketika tes tertulis, aku nggak di-WA, siapa yang nggak ngamuk? Ngamuk aku di Bawaslu. ‘Kok nggak dikabarin?’, Ini saya disabilitas ringan, apalagi yang nggak dengar, yang nggak lihat, kalau ikut berkompetisi. Buang tuh inklusi-inklusi,” ujarnya kesal.

Baca juga: Ring the Bell, Pendidikan Inklusif untuk Anak-Anak Tunanetra!

Muharyati mendapati banyak TPS tidak inklusif karena minim fasilitas yang memudahkan difabel menyalurkan hak pilihnya. (Foto: KBR/Nafisa)

Tak lama berselang, Partai Buruh membuka pendaftaran caleg. Baginya, ini adalah jalan lain untuk memperjuangkan kebijakan ramah difabel.

“Disabilitas itu kelompok yang sangat rentan, berpuluh-puluh kali kerentanannya dari masyarakat nondisabilitas. Nah, jika saya hadir di parlemen atau DPRD, saya akan ikut mengatur perundang-undangan atau kebijakan itu harus bersifat inklusif. Anggota DPRD-nya harus yang disabilitas, karena yang mengetahui kebutuhan-kebutuhan empat ragam disabilitas itu ya disabilitasnya,” tutur dia.

Tetap di jalur politik

Meski gagal kali ini, Muharyati tak patah arang. Ia bakal mencoba lagi di pemilu berikutnya, 2029.

Hal pertama yang ingin dia benahi, jika terpilih, adalah soal data. Banyak difabel belum tercatat karena berbagai alasan. Padahal, data menentukan aksesibilitas, untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, hingga bantuan sosial.

“Disabilitas itu masih dianggap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Padahal kita bukan masalah, jika semua akses diberikan, seperti pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Nah, kadang harus masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), itu kadang disamakan dengan miskin. Disabilitas tidak hanya orang miskin. Disabilitas ada yang anak pejabat,” ucap ibu dua anak ini.

Bagi Muharyati, akses difabel terhadap pendidikan dan pekerjaan menjadi hal mendasar yang harus dipenuhi negara.

“Jika pendidikan terpenuhi, apalagi gratis, kita bisa mengakses pekerjaan, jika sistem outsourcing dihapus, bisa setaraf lebih maju, lebih sejahtera. Nah, jika keluarga sejahtera, otomatis bisa sejahtera juga disabilitasnya. Bisa jadi motivasi ke anak, keturunan berikutnya,” pungkas Muharyati.

Baca juga: Perjuangan Panjang Jumiyem demi Pengesahan RUU PRT

Penulis: Nafisa Deana

Editor: Ninik Yuniati