Article Image

NASIONAL

Derita dan Luka Korban Kawin Tangkap (Bagian 2)

"Kawin tangkap bagi aktivis perempuan Sumba bukan lagi budaya yang perlu dilestarikan karena sudah tidak relevan dan justru jadi aksi kejahatan kemanusiaan."

Solidaritas Perempuan dan Anak berkoordinasi dengan KPAI menanggapi kasus kawin tangkap di Sumba Barat Daya (Dok: Sopan Sumb

KBR, Jakarta - Efek jera, itu yang Yustina Dama Dia inginkan dari tiap pelaku kawin tangkap yang dilaporkan ke polisi. 

Direktur Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan) NTT ini mengecam keras tradisi kawin tangkap. 

Awal September 2023 lalu, kawin tangkap kembali terjadi di NTT, tepatnya di Sumba Barat Daya. Video peristiwa itu seketika viral begitu diunggah di media sosial, mengundang kecaman publik hingga tokoh-tokoh nasional. 

“Sekarang harapannya dengan adanya undang-undang TPKS, bisalah ada efek jera pada pelaku-pelaku itu dan bisa memberi edukasi juga bagi yang lain,” jelas perempuan yang akrab disapa Yustin ini.

Dalam video itu tampak sekelompok laki-laki menyergap seorang perempuan di jalanan yang ramai. Si perempuan meronta-ronta berteriak, tetapi tak seorang pun yang menolong.

Ia digotong dan dimasukkan ke dalam mobil pikap yang kemudian melaju kencang meninggalkan lokasi.

Kepolisian bergerak cepat menindak pelaku, menggunakan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang disahkan pada 2022 lalu.

Langkah progresif ini tergolong baru di NTT. Sebab, praktik kawin tangkap dianggap bagian dari budaya. Penegak hukum pun biasanya enggan menindak dan menyerahkan penyelesaian secara adat.

“Waktu saya masih SD, di pasar, di mata air, banyak yang ditangkap. Tapi setelah saya SMA, kuliah, saya tidak dengar. Bukan tidak ada, mungkin tidak ada yang viralkan,” ceritanya.

Baca juga: Derita dan Luka Korban Kawin Tangkap (Bagian 1)

UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual diharapkan jadi aturan yang dapat menghukum pelaku kawin tangkap. (Dok: Yayasan Kesehatan Perempuan)

Menurut Martha Hebi, aktivis perempuan Sumba, kawin tangkap berakar pada budaya patriarki yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

"Kalau lihat videonya, bagaimana mereka tidak ada belas kasihan seperti berhasil menangkap buruan. Itu potret kawin tangkap yang banyak terjadi,” kata Martha yang sudah lebih satu dekade jadi aktivis perempuan Sumba.

Penegak hukum mestinya aktif berperan mengakhiri kawin tangkap. Sulit mengharapkan warga ikut turun tangan, karena bakal memicu konflik horizontal.

"Tindakan menghalang kawin tangkap sangat sulit, itu hanya bisa dilakukan oleh pihak kepolisian, masyarakat sulit menghalangi. Tindakan itu malah berpotensi konflik," tuturnya.

Martha mengeluhkan betapa sulitnya mengubah pola pikir masyarakat, padahal zaman sudah berganti cepat.

"Ketika orang sudah punya HP, sudah bisa kirim surat cinta, punya transportasi yang bagus, kok masih menggunakan cara lama. Apa yang ada di benak pelaku? Sistem sosial ini mengkonstruksi laki-laki dan perempuan untuk merasa bahwa ini budaya, jadi wajar." terang Martha. 

Baca juga: Sumbangsih Anak Muda NTB untuk Kesetaraan Gender

Aktivis perempuan NTT, Martha Hebi menentang keras praktik kawin tangkap di Sumba yang mengatasnamakan tradisi. (Dok: pribadi)

Ketua Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan) NTT, Yustina Dama Dia, menyebut jumlah kasus kawin tangkap makin turun. Namun, baru di Sumba Timur yang benar-benar nol kasus.

Rata-rata usia korban kawin tangkap di rentang 18 hingga 25 tahun. Sopan saat ini mendampingi 4 korban.

"Ada yang sudah terima hasil kelulusan di kelas 3 SMA ditangkap. Jadi ada yang tidak melanjutkan kuliah karena ditangkap. Lalu ada juga yang sarjana, ada mahasiswa," ucap Yustin.

Banyak korban kawin tangkap tak berdaya, terpaksa hidup menderita dalam pernikahan paksa. Ada yang bahkan diperkosa.

"Beberapa korban terpaksa mengiyakan karena ada pelabelan negatif ketika dia pulang. Kemudian bisa saja laki-laki calon suaminya itu langsung tiduri dia malam itu, atau perkosa. Jadi itu salah satu jawaban melanjutkan perkawinan," tuturnya

Korban mesti menanggung semua beban sendirian.

"Apalagi kalau keluarga pelaku cukup berpengaruh nanti takut didendam, kalau saya pulang nanti orang tua saya dicelakai, takut hubungan keluarga rusak. Terpaksa dirinya sebagai tumbal untuk menyelamatkan banyak yang lain, walaupun dia tidak setuju," ujar Yustin.

Baca juga: 

Sanetan Desa Panutan Cegah Perkawinan Anak (Bagian 1)

Sanetan Desa Panutan Cegah Perkawinan Anak (Bagian 2)

Direktur Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan) Yustina Dama Dia menyebut ada keterbatasan menangani korban kawin tangkap apalagi dari segi bantuan psikologis. (Dok: pribadi)

Suara-suara penyintas mesti lantang diperdengarkan. Mereka bisa menghadirkan perspektif korban yang selama ini diabaikan.

"Setiap yang punya pandangan tidak berperspektif korban, dia akan merasa fine-fine aja. Kami bawa para penyintas untuk berdiskusi dengan si orang keras kepala itu, nanti penyintasnya menceritakan dulu waktu ditangkap, hampir diperkosa bahkan ada yang diperkosa,” cerita Yustin

Sopan berupaya mengakhiri kawin tangkap dengan melibatkan lembaga adat. Lembaga ini jangan hanya menjadi stempel praktik buruk yang menyengsarakan perempuan.

"Kita mau ada pengetahuan yang cukup terkait undang-undang, hukum negara terhadap tokoh adat. Supaya tokoh adat berani menolak, berani tidak mengikuti atau tidak terlibat,” katanya.

Mereka juga mendesak pemerintah menerbitkan peraturan untuk menghapus kawin tangkap.

"Sebenarnya banyak yang menolak ini, kita mau dorong perda juga untuk tidak ada lagi sebenarnya, makanya kita gandeng lembaga adat untuk sama-sama bersuara," pungkas Yustin. 

Baca juga: Seruan Transpuan Kampung Duri tentang Perubahan Iklim

Penulis: Ninik & Valda