Article Image

NASIONAL

Derita dan Luka Korban Kawin Tangkap (Bagian 1)

"Penyintas menceritakan pengalamannya lolos dari jerat kawin tangkap. Peristiwa itu menyisakan trauma. Banyak korban lain yang terjebak dan pasrah "

Tangkapan layar video aksi kawin tangkap di Sumba Barat Daya, NTT, yang viral awal September 2023. (Dok: akun X @Heraloebss)

KBR, Jakarta - Ida (bukan nama sebenarnya) tak akan pernah lupa peristiwa yang menimpanya sembilan tahun silam. Warga Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur ini menjadi korban kawin tangkap. 

“Memang sih tidak melupakan 100 persen, luka itu akan selalu ada, sampai mati pun juga tidak akan pernah hilang,” kata Ida saat dihubungi KBR via telepon. 

Peristiwa itu begitu membekas hingga meninggalkan trauma.

“Ada rasa takut kalau misalnya harus bertemu dengan orang baru atau segerombolan laki-laki, mengingat kembali akan kejadian itu,” ujarnya.

Beruntung, Ida berhasil pulih setahun kemudian. Namun, ia tak bakal lupa dengan hari-hari sunyi mencekam, berjuang seorang diri lepas dari jerat kawin tangkap.

Proses itu tuntas sekitar lima bulan. Dimulai dari sore nahas, 30 April 2014. Ida bersama rekannya tengah mengantarkan undangan acara gereja. Tiba-tiba, ia disergap segerombolan pria.

“Saya di atas motor, tiba-tiba datang dua orang laki-laki, satu pegang tangan kiri, satu pegang tangan kanan. Terus muncul sekitar 5-10 orang lagi. Mereka mau angkat saya, saya bilang, 'kenapa?' Mereka bilang 'ikut saja'" kenang Ida.

"Saya tidak diangkat, saya jalan saja, karena saya tidak ada perlawanan, saya tidak menangis, saya tidak berontak,” imbuhnya.

Baca juga: Inspirasi Keberagaman dari Pulau Flores

Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan) Sumba bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan rapat koordinasi pengawasan kasus anak korban kawin tangkap, 16 September 2023. (Dok: Sopan Sumba)

Tahanan rumah

Tak pernah terbersit di benaknya bakal dikawin tangkap.

Kala itu, baru sebulan Ida pulang kampung setelah diwisuda sarjana dari sebuah kampus di Kupang. Usianya 23 tahun.

“Sebelum saya, sudah banyak sekali kasus yang terjadi. Bahkan hampir setiap bulan ada kasus. Tapi, kebanyakan (korban) anak-anak yang sama sekali tidak mengenal pendidikan,” tutur perempuan asli Sumba tersebut.

Ida tak kenal dengan pelaku. Ia digiring ke rumah keluarga pelaku dan dikurung. Telepon genggam pun dirampas.

"Kalau mereka punya niat, kenapa tidak datang dengan baik-baik Kalau kita dibuat seperti itu (dikawin tangkap), kita sama seperti seekor binatang yang di jalan, kita ditangkap," ucapnya.

Keluarga Ida sudah diberi tahu tentang perjodohan paksa itu. Namun, tiada celah bagi Ida untuk bersuara.

"Saya tidak diperkenankan bertemu dengan juru bicara dari keluarga saya. Keluarga dari pelaku yang menjawab bahwa saya sudah siap menerima, sudah siap jadi istrinya dan menjalani rumah tangga,” kata Ida.

Tidak ada seorang pun yang membela Ida. Sebab, kawin tangkap dianggap tradisi turun-temurun. Perempuan yang kabur dari kawin tangkap justru bakal diganjar stigma dan diskriminasi

“Ya (stigmanya) setelah saya kembali saya tidak memiliki teman, saya tidak punya suami lagi, saya tidak diterima lagi dalam lingkaran keluarga. Jadi susah mau keluar. Pasrah saja,” ceritanya.

Batin Ida berkecamuk, tapi harus tetap tenang. Ida terngiang dengan nasib tragis rekannya yang dikawin tangkap sebulan sebelumnya.

“Saya belajar dari teman kampung saya sendiri, sampai dia mengalami pemerkosaan, karena ada perlawanan,” ujar Ida.

Ida mesti bersiasat supaya selamat. Terpaksa berpura-pura pasrah agar pelaku dan keluarganya tak curiga.

“Ada sih sempat menangis, cuma kalau kita menangis kita kan tidak akan menyelesaikan persoalan,” kisahnya.

Baca juga: Jamu Ngatiyem, Potret Pergumulan Perempuan di Tengah Krisis

Aktivis perempuan NTT, Salomi Rambu Iru (kiri) disebut-sebut sebagai orang pertama yang menggunakan istilah 'kawin tangkap'. (Dok: Youtube Sekolah Pemikiran Perempuan)

Bebas

Setelah dua pekan menjadi tahanan rumah, Ida meminta izin ke Sumba Barat untuk mengurus dokumen pendaftaran CPNS. Sempat ada negosiasi alot, tetapi akhirnya Ida diperbolehkan pergi sendirian.

"Saya bersikeras dengan bemo (angkutan umum), mereka masih ngotot, kalau bisa dengan pelaku atau adiknya. Saya bernegosiasi untuk membangun kepercayaan itu, dan akhirnya mereka mengiyakan," tutur Ida.

Kamis pagi, Ida naik bemo ke Sumba Barat. Ia mendapatkan kembali telepon genggamnya. Ida langsung menghubungi rekan-rekannya agar bisa kabur dan berdiam sementara di Kupang, kota tempatnya kuliah.

"Kalau dari Sumba Barat ke Sumba Timur kurang lebih tiga jam. Dari teman kos saya dengan menggunakan motor roda dua, ke pelabuhan, dari pelabuhan sudah dengan kapal feri sampai Kupang,” cerita Ida.

Ida akhirnya menghirup kebebasan, walau belum aman.

“Perasaan lega sedikit cuma masih ada beban yang cukup berat. Ketika nanti saya kembali, saya seperti apa, kalau tidak menyelesaikan persoalan ini dengan baik,” lanjut Ida.

Ida sempat ditelepon pelaku. 

“Saya ditanya, 'ada di mana?' 'ini saya masih di Sumba Barat, saya masih urus surat'. Terus, pelaku 'he? urus surat sampai berhari-hari', 'urus SKCK itu tidak gampang, harus ada surat-surat yang dibawa dari kepala desa, dsb, baru saya bisa dapatkan SKCK'," imbuhnya

Ia lantas mengganti kartu telepon agar tak terlacak.

"Saya matikan telepon, saya nonaktifkan, saya hilangkan jejak, saya patah kartu, beli SIM kartu yang baru. Sudah, saya hilang kabar," ujar perempuan 32 tahun itu.

Keluarga pelaku pun panik. Mereka mencari Ida ke rumah orang tua, saudara, hingga kerabat dekat. 

Sementara di Kupang, Ida menenangkan diri dan mengumpulkan keberanian. Selepas dua bulan, pada pertengahan Juli, ia kembali ke kampung, untuk menuntaskan persoalan.

"Itu tiga kali pertemuan keluarga untuk minta saya kembali ke sana (rumah pelaku). Mereka membawa satu ekor kuda dan satu ekor kerbau," katanya.

Baca juga: Komunitas Biboki Lestarikan Tenun Ikat Tradisional

Kekerasan seksual menjadi kasus terbanyak yang dialami perempuan dan anak sepanjang 2022, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. (Dok: Good Stats)

Di pertemuan terakhir, Ida angkat bicara.

"Saya bilang, saya tidak akan pulang, karena saya tidak memiliki niat, saya tidak ada rasa mencintai (pelaku). Keluarga saya mendukung karena secara internal keluarga juga tidak setuju," tuturnya.

Pulih 

Keluarga pelaku menyerah. Namun, mereka menuntut pengembalian hewan ternak yang sudah telanjur diberikan.

"Saya bilang, untuk hewan yang kalian kasih, belum menutupi harga diri dan martabatnya saya. Jadi itu masih ada dalam tingkat kekurangan untuk menutupi martabatnya saya pemulihan nama baik," kata Ida tegas.

Pemerintah desa mendukung Ida. Perkara ini dinyatakan tuntas. Meski sudah bebas, Ida kerap dibelit rasa cemas.

"Rasa takut itu selalu ada. Bagaimana kalau misalnya hal ini terjadi lagi. Keluar pun juga jarang, karena masih ada rasa takut, aktivitas gereja pun dikurangi sepanjang itu" ujarnya.

Hubungan asmara yang Ida jalani sejak SMA pun kandas. Pasangannya memilih mundur karena khawatir ikut kena imbas.

"Mungkin ada keroyokan, dsb. Pada akhirnya, dalam perjalanan waktu itu kami berhenti dengan baik-baik,” ucap Ida.

Setahun berlalu, Ida bertemu dengan LSM Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan). Di wadah ini, ia bisa menyalurkan asa untuk menghapus kawin tangkap. Ida juga terjun langsung mendampingi para korban.

"Saya aktif itu bukan untuk dikenal orang, tapi saya mau menyelamatkan banyak perempuan. Cukup sudah saya yang merasakan menjadi korban, kalau ada kasus-kasus itu gregetan saya, maunya saya harus turun," pungkas Ida.

Baca juga: Tepis Stigma Janda Dipandang Sebelah Mata

Penulis: Ninik & Valda