Article Image

SAGA

Perempuan yang Melawan, Benteng Perjuangan

"Gerakan Perempuan Melawan."

Ilustrasi: Aktivis membawa poster memprotes kekerasan terhadap perempuan. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta - Asa Karima Annisa belum lagi tumbang. Dia memilih jeda sejenak menata pikiran, untuk kembali melanjutkan perjuangan.

“Aku memutuskan untuk rehat dari social media seminggu, itu karena aku butuh rehat aja, bukan berarti aku dibungkam. Setelah itu, justru ketika rehat itu, aku malah jadi lebih semangat lagi buat kritiknya. Ini lah yang kita namakan dengan panjang umur perjuangan," kata Karima kepada KBR.

Perempuan 27 tahun itu kerap mendapatkan serangan digital akibat sikap kritisnya yang disuarakan di media sosial.

Dia menerima pelecehan, doxing, hingga ancaman pembunuhan. Fotonya bahkan sempat dipampang di situs dewasa.

Semua itu dia alami setelah rajin mengkritik kebijakan pemerintah.

“Cuma, untuk KBGO itu, dari yang levelnya cuma di komen, ngata-ngatain LC lah, open BO lah, atau apa namanya, ya, yang merendahkan martabat perempuan lah, intinya itu,” ujarnya.

“Aku dapat serangan sampai ancaman pembunuhan, oh ya, aku juga bahkan muka aku sampai debut di akun porno juga kan foto aku,” imbuhnya.

Ini bukan saja bentuk eksploitasi, kata dia. Tapi juga upaya pembungkaman atas suara perempuan.

“Karena, kalau boleh jujur, bagaimana perempuan menjadi vokal, khususnya mengkritik pemerintah, itu selalu punya banyak celah untuk untuk bisa di-kill the messenger, diturunin semangatnya, dibunuh dalam artian karakternya, atau dihapus, dihapus namanya dengan berbagai cara,” ucapnya.

Demo Indonesia Gelap di sekitar Monas, Jakarta. (KBR/Hafizh)

Karima kerap menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah melalui akunnya @karimakayyim dengan pengikut hampir 10 ribu orang.

“Dari kuliah ternyata aku udah bersuara dengan gimana aku protes di Twitter gitu," kata dia.

Kepekaannya terhadap situasi politik dalam negeri makin kuat saat dia menjadi jurnalis. Bekerja di industri media membuatnya makin sadar, politik bisa berpengaruh terhadap kehidupan banyak orang.

Belakangan ia khawatir pemerintah yang dinilainya makin otoriter.

“Aku tuh dulunya jurnalis juga, terus sekarang aku juga creator yang nggak cuma di X, tapi juga di TikTok dan juga Instagram. Jadi hampir semua sosial media, kecuali YouTube, aku juga pakai untuk bisa vokal dan bersuara. Jujur, itu salah satu hal yang paling PR ya, buat hidup aku," ucapnya.

Tekadnya ikut mengawal demokrasi makin kuat lantaran masih minimnya keterlibatan perempuan.

“Ketika aku berdiskusi dengan banyak orang, salah satunya adalah pemred di media arus utama, di media besar, mereka pun mengakui, kalau keterlibatan perempuan dalam menyuarakan demokrasi di Indonesia itu masih kurang. Masih sangat kurang," kata dia.

Turun dalam berbagai aksi unjuk rasa, mulai dari Peringatan Darurat hingga Indonesia Gelap membuat Karima sadar, situasi demokrasi tanah air sedang tidak baik-baik saja.

“Jadi semuanya yang sudah terjadi sampai saat ini, bagaimana kita melakukan aksi demonstrasi, bagaimana pemerintah membalas kita yang sedang melakukan kritik justru dengan tindakan represif seperti itu, ditambah lagi ketika kita sudah capek-capek mengkritik demonstrasi ini, kebijakannya tetap berjalan, RUU tetap diketok palu dengan sendiri, dengan secara mendadak, itu kurang menunjukkan kemunduran demokrasi apalagi coba. Jadi benar-benar, sudah bisa dikatakan, ini benar-benar kemunduran yang signifikan dan demokrasi di Indonesia nggak baik-baik saja,” ujarnya.

Sejak itu Karima harus berhadapan dengan akun-akun anonim yang menentang suaranya.

Dia berpikir itu hanya pendengung atau buzzer.

Namun yang membuatnya jengkel,

"Mereka juga sampai harus mengerahkan jurnalis senior yang menjadi buzzer,” kata dia.

“Jurnalis itu harusnya menjadi pilar keempat demokrasi, dan menjadi pembela rakyat di mana kita harus sefaktual mungkin, dan sekritis mungkin, dan kita memihak kepada yang benar, tapi kenapa jurnalis sampai harus jadi buzzer itu, saya marah pada saat itu,” sambungnya.

Karima tak gentar.

Meski kadang energinya terkuras.

“Aku sempat burn out sih. Karena kan aku juga merasa punya tanggung jawab gitu loh. Orang yang nungguin update aku buat analisis ini itu juga makin banyak. Jadi, yang tadinya iseng-iseng malah jadinya jadi tanggung jawab. Sempat burn out karena harus bagi waktu antara keduanya. Tapi, makin sini sih aku makin bisa handle semua,” ujarnya.

Akun media sosial X @barengwarga, menjadi salah satu wadah bagi warganet menyampaikan kritik dan keresahan terhadap situasi demokrasi di negeri ini yang dinilai balik mundur ke era Orde Baru.

Menurut Karima, keberadaan jaring pengamanan atau support system menjadi penting, meski ini bukan perkara gampang.

Dia yakin, solidaritas, khususnya dari sesama perempuan yang melawan, mampu merawat asa perjuangan.

“Menularkan semangat itu salah satu hal, salah satu tujuan aku juga dalam aku mengkritik pemerintah. Bagi aku, bagaimana caranya untuk bisa menularkan semangat, khususnya kepada perempuan, yang paling pertama adalah aku harus empati dulu kepada mereka,” kata Karima.

Semangat itu pula yang membuat Oji, bukan nama sebenarnya, makin bersuara lantang.

Oji lulusan fakultas hukum. Dia mulai rajin menyuarakan kritik sejak parlemen didemo ketika merevisi Undang-Undang KPK, 2019 lalu.

Dia kesal dengan cara DPR yang dinilai ugal-ugalan membuat dan mengesahkan undang-undang.

“Revisi KPK, terus Omnibus Law gitu. Apalagi ya waktu itu, KUHP sebenarnya ada beberapa juga tuh pasal yang tiba-tiba diubah dari naskah akademisnya, kebetulan aku waktu itu sangat mempelajari naskah akademisnya," jengkel Oji.

Dia menegaskan dirinya bukan warga yang bisa dibodohi.

“Ini udah berkali-kali terjadi kayak gini, bukan sekali dua kali, dan udah bertahun-tahun dan itu selalu di undang-undang yang selalu menguntungkan mereka. Jadi lama-lama cuma mikir aja terus nanti next-nya, ini mereka kan selalu pakai cara kayak gini, dia kan gini kan, kayak cek ombak nih, oh rakyat yang nggak marah, oh fine, oh yaudah mereka ngelawan, kita tinggal gebukin pada kritis, yes," tuturnya.

Namun, perempuan 28 tahun itu curiga ada pihak yang sengaja melemahkan perjuangan perempuan dengan meredam suara-suara kritis mereka.

“Aku kan penulis, nulis-nulis jurnal, nulis jurnal apa segala macam, tapi memang waktu itu selalu kubarengin sama konsul-konsul, sama diskusi-diskusi, sama teman-teman gitu. Kok di Instagram komennya jelek gitu, ternyata memang ada fenomena yang namanya buzzer-buzzer gitu kan,” kata Oji.

Pendengung kerap muncul dan menyerang dalam forum diskusi daring yang dibuatnya.

“Misalnya kita lagi ngomongin ngeritik ke negara gitu, diserang aja nggak tau kenapa, tapi dari identitas kita gitu, jadi itu aku nggak tau itu apa, aku juga nggak berani menuduh, tapi aku jadi punya kecurigaan bahwa kayaknya itu salah satu operasi untuk melemahkan pergerakan,” ujarnya.

Mereka membelokan fokus kritik yang disuarakan Oji, lalu menyerang identitasnya sebagai perempuan.

And they purposely, these people, yang iniin perempuan dari sisi keperempuanannya, mereka itu sebenarnya sok sok oposisi pemerintah juga, walaupun enggak pernah bersuara, tapi jadinya diskursusnya mereka itu selalu dibelokin, jadi caranya kayak misalnya, ah ini mah kaum-kaum feminis ini baru ngelawan sekarang, kalau kita mah udah benci sama Jokowi dari dulu, jadi kayak sengaja bikin perdebatan atau pemantik-pemantik diskursus yang enggak perlu, itu tuh sering gitu,” tegasnya.

Oji menduga ada upaya mematikan karakter perempuan yang berani menyuarakan perlawanan.

Bahkan lewat cara menakut-nakuti dan mengancam membunuh.

Oji sadar untuk tak bergerak sendiri.

“Jadi itu memang supaya kita tau lah ancamannya kayak gimana, urgensinya seperti apa, ya itu buat menghindari hal-hal yang kayak gitu, itu biasanya aku benar-benar langsung telpon, langsung bikin aduan, pelaporan, itu biasanya pake SAFENet gitu.”

Seperti Karima dan Oji, AW juga sadar dirinya rentan menjadi target serangan dan diancam lantaran berani bersuara kritis.

AW pernah menjadi target serangan digital saat aksi Reformasi Dikorupsi tahun 2019.

Perempuan yang baru lulus kuliah itu bilang, dia tergerak untuk ikut menjaga demokrasi.

“Itu aja sih sebenernya simpel dan juga ini jadi media yang bisa menyalurkan kekhawatiran saya terhadap kondisi negara saat ini secara positif, apa sih yang bisa saya bantu di level personal," katanya.

Baginya, melawan tidak cukup bermodal keberanian. Perlu kesiapan mental dan keterampilan.

“Kayak misalnya dari keamanan handphone, social media, kebetulan saya udah punya pengetahuan itu. Tapi teman-teman yang lainnya kan banyak ya. Bukan doxxing aja gitu, kayak profiling lah, atau misalnya giringan buzzer terutama di X gitu kan. Itu sekarang lagi benar-benar gencar dilakukan gitu kan,” kata AW.

Bagi AW, perempuan punya ruang yang sama untuk menyuarakan kritik dan pendapat.

Segala bentuk pembungkaman yang ia terima, justru makin membangkitkan api perlawanan.

Pakar antropologi hukum dan gender dari Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto. (ANTARA/Nadia Putri Rahmani)

Pakar antropologi hukum dan gender Sulistyowati Irianto mengatakan gerakan perempuan tercatat dalam sejarah perlawanan.

“Jadi perempuan itu selalu hadir. Mereka terlibat aktif. Atau mereka menjadi watchdog di dalam bagaimana negara ini dijalankan. Jadi bukan sesuatu yang mengherankan kalau perempuan ikut turun ke jalan. Itu ini aja," ungkapnya.

Hanya saja, minimnya literasi masyarakat membuat gerakan itu seringkali tak dianggap.

“Karena tidak punya pengetahuan tentang sejarah. Tidak punya pengetahuan tentang ilmu sosial. Maka mengatakan, wah ibu-ibu turun ke jalan,” ucap Sulis.

Munculnya perlawanan dari kaum perempuan punya alasan mendasar. Mereka khawatir menjadi yang pertama terimbas kebijakan asal-asalan pemerintah.

“Orang bisa makan, bisa sekolah, bisa ke rumah sakit kalau sakit, bisa menikmati jalan-jalan raya yang baik, layanan-layanan administrasi yang tidak dikorupsi. Itu mengapa perempuan melawan ketika mereka gak diajak di dalam proses-proses pembuatan kebijakan-kebijakan, pembuatan macam-macam peraturan pengundang-undangan,” kata Sulis.

Sulistyowati terang menyebut serangan terhadap perempuan yang berani bersuara kritis dengan menyebar ketakutan adalah upaya menghentikan gerakan perlawanan.

“Misalnya diserang perempuan ras etnik Tionghoa. Itu kan tujuannya apa? Untuk menakuti, melakukan teror. Agar orang-orang jadi kebencian terhadap ras Tionghoa. Lalu juga perempuan-perempuan yang mengalami tadi itu korban dari kebijakan-kebijakan dan hukum yang tidak sensitif atau tidak mengakomodasi kebutuhan perempuan adalah perempuan-perempuan miskin. Identitas yang lain, identitas miskin. Mengapa perempuan? Karena itu diposisikan identitasnya sebagai apa? Sebagai minoritas etnik, minoritas kelas, sosial ekonomi, minoritas agama, barangkali. Itu secara politik didesain. Itu yang menjadi target-target serangan,” ucapnya.

Guru besar antropologi hukum di Universitas Indonesia itu menilai, fenomena perempuan yang melawan menambah warna dalam ruang demokrasi.

Untuk menciptakan ruang aman, politik identitas yang dilekatkan kepada perempuan harus dihapuskan.

“Perempuan itu distrukturkan identitasnya. Secara klasik itu dipercaya bahwa perempuan pasti mengalami kekerasan, mengalami diskriminasi karena dia perempuan. Tapi kan sebetulnya perempuan itu bukan identitas yang tunggal dan seragam. Banyak, beragam. Ya, aku rasa dalam situasi tertekan ya secara ekonomi secara sosial dibungkam diancam itu makin akan membuat perempuan solid. Semakin ditekan maka ada soliditas,” ujar Sulis.

Penulis: Heru Haetami

Editor: Wahyu Setiawan