SAGA
"Guru berperan sentral dalam transfer pengetahuan dan pengalaman tentang keberagaman. "
Puluhan guru melakukan Deklarasi Guru Bineka di Vihara Dhanagun, Bogor, Jawa Barat, (7/12/2024). (Foto: dok Yayasan Cahaya Guru).
KBR, Bogor - Astri tak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya ke pengurus Gereja Zebaoth, Bogor, Jawa Barat. Ini kedua kalinya ia menanyakan kemungkinan gereja bisa berkunjung ke sekolahnya di Depok. Sekitar 15 menit sebelumnya, harapan itu sudah disampaikannya ke Pendeta Margie Ririhena.
“Saya tanya, ada enggak sih kunjungan misalkan dari gereja ke sekolah-sekolah? Saya sudah tanya pendetanya, dia tanya nomor telepon saya juga, ‘ada Bu’, ya sudah nanti bisa kerja sama, dari gereja-gereja datang ke sekolah-sekolah, ntar kita bisa datang-in,” kata Astri.
Perempuan 40 tahun bernama lengkap Astri Oktina Budianti ini adalah Kepala Sekolah SD Negeri Leuwinanggung 2 Depok, Jawa Barat. Ia resah karena di sekolahnya tidak ada guru agama Kristen. Padahal, mereka punya beberapa murid pemeluk Kristen dan Katolik.
“Si siswa nonmuslim ini enggak punya guru agama, kan, kasihan, sedangkan pendidikan itu harus merata. Dia punya hak yang sama untuk menerima pendidikan agama, sedangkan dia enggak nerima di sekolah,” lanjutnya.
Selepas dari Gereja Zebaoth, Astri dan rombongan berjalan kaki ke Gereja Katedral, yang berjarak sekitar 300 meter. Di sana, ia juga antusias bertanya.
“Ada enggak sih, yang bisa merangkul umat atau jemaat ketika keimanannya turun? karena terjadi lagi di sekolah saya, ngakunya (murid) agamanya misalnya Kristen, ternyata dia enggak pernah ke gereja. Bisa enggak sih, ditingkat-in lagi imannya, biar dia rajin lagi ke gereja,” tutur Astri.
Astri butuh saran bagaimana mengarahkan muridnya yang beragama Kristen, agar rajin ke gereja. Selama ini, Astri kesulitan karena ia muslim.
“Kita, kan, butuh nilai agama, nah, itu kita butuh dari mana? di sekolah minggu, kalau dia jarang ke gereja, gimana? Kalau memang kamu udah milih agama itu, ya perkuat aja iman kamu, itu juga akhlak, kebaikanlah, jadi jangan setengah-setengah, biar jadi orang yang bener,” ucap guru yang sudah bekerja selama 20 tahun ini.
Baca juga:
Pelarangan Jalsah Ahmadiyah dan Mahalnya Harga Kebebasan Beragama (Bagian 1)
Pelarangan Jalsah Ahmadiyah dan Mahalnya Harga Kebebasan Beragama (Bagian 2)
Astri Oktina Budianti (kelima dari kiri), Kepala Sekolah SD Leuwinanggung Depok 2, duduk di sebelah Pendeta Gereja Zebaoth Bogor, Margie Ririhena saat Peace Walk yang dihelat Yayasan Cahaya Guru, (7/12/2024). (Foto: dok Yayasan Cahaya Guru).
Gereja Zebaoth dan Katedral Bogor adalah dua dari total empat rumah ibadah yang dikunjungi Astri saat mengikuti kegiatan Peace Walk yang digelar Yayasan Cahaya Guru, Sabtu, 7 Desember 2024. Dua rumah ibadah yang lain adalah Klenteng Phan Ko Bio dan Vihara Dhanagun.
Pesertanya sekitar 40 guru yang berasal dari Bogor, Depok, Jakarta, Bekasi, hingga Tangerang.
Hari itu Astri mengenakan kaos lengan panjang dirangkap kaos Peace Walk dan jilbab warna khaki, lengkap dengan kacamata hitam.
Ia juga mengajak beberapa rekannya sesama kepala sekolah di Depok. Ini tur rumah ibadah kedua yang diikuti Astri, setelah sebelumnya di Jakarta.
“Ya pengin ngajarin ke murid-murid, kasih tahu ke anak-anak juga, oh di dalam kelenteng ternyata ada ini, di dalam ini ada seperti ini, ada nilai sejarahnya juga di situ. Bisa diceritain ke anak-anak,” jelas Astri.
Bagi Astri, toleransi dan keberagaman teramat penting diajarkan ke anak sejak dini. Ia tak ingin peristiwa 20 tahun lalu terulang kembali. Ada anak didiknya yang pindah sekolah, hanya karena beragama Konghucu.
“Karena merasa kayak diasingkan. Dia sampai nangis, nge-rasa enggak kuat, (diledek) ‘eh China, China, China gitu’, sampai dikatanya, ‘makan babi, makan babi’. Aduh sedih banget, saya nangis. Ya ampun, jangan sampai itu terjadi lagi,” Astri bercerita.
Kala itu, Astri baru mulai bekerja sebagai guru dengan status honorer. Ia hanya bisa menghibur sang murid.
Kini, perempuan asli Depok ini merasa mampu berbuat lebih banyak, apalagi sejak diangkat sebagai ASN pada 2016 dan menjabat kepala sekolah pada 2023.
“Pengin sama rata, pendidikan agama, itu penginnya semua ngerasain hal yang sama di sekolah saya. Makanya saya kalau lagi upacara, setiap ada ngumpul sama anak-anak, kita sama, pokoknya kita kasih pemahaman," ucap Astri.
"Kalau sekarang saya udah biasa upacara pakai salam berbagai bahasa (agama), namo budaya salam kebajikan, pokoknya saya jejelin terus itu anak-anak, mulai dari sekarang,” imbuhnya.
Baca juga: Kebinekaan yang Dihidupi di Sekolah Global Mandiri
Noveit Parana Nandhiyar, guru SD Mustika Jaya V Bekasi menyerahkan kenang-kenangan acara Peace Walk ke pengurus Klenteng Phan Ko Bio, Candra Kusuma. (Foto: dok Yayasan Cahaya Guru)
Astri menerapkan pendekatan inklusif di ruang kelas.
“Anak murid saya Katolik, saya kasih kesempatan untuk mimpin doa. Sekelas, dia doang yang Katolik, ada juga yang Protestan. Awal-awal dia enggak mau, malu, enggak kamu harus baca, jadi kita kasih kesempatan dia yang sama,” kata Astri.
Inisiatifnya berdampak dan diapresiasi orang tua murid.
“Orangtuanya ngomong, ‘karena Bu Astri sering mengizinkan dia berdoa, dia jadi berani, awalnya dia malas, 'ah mau ngapain sih, masuk sekolah’. Jadi kita setiap Jumat, ada salat Duha kalau yang Islam, yang Kristen kita mau ngapain? ya udah kamu bawa alkitab, baca doa. Terus kita suruh cerita-in kembali isi alkitabnya,” tutur dia.
Astri belajar toleransi dan keberagaman dari keluarga. Nilai-nilai itu pun ia tanamkan sedari kecil ke kedua anaknya.
“Adiknya nenek saya, biarawati. Waktu itu saya jalan barengan, saya udah berhijab, saya gandeng (biarawati), orang pada nge-lihat-in, heran kenapa,” ujar Astri sembari tertawa.
Astri bilang, keberagaman masih menjadi PR besar di kalangan guru di Depok.
“Rekan kerja saya dulu Protestan, diundang makan sama dia, enggak pernah mau, teman-teman (guru) yang lain. Karena, kan, peralatan masaknya kita enggak tahu, gitu alasannya. Kecuali kalau dia nraktir, eh nasi padang, baru pada mau, tapi kalau diundang makan di tempatnya pada enggak mau. Kalau saya mah cuek aja, udah biasa,” ujar Astri santai.
Ia tertarik membuat tur rumah ibadah bagi para guru di Depok.
“Iya mudah-mudahan, nanti konsultasi sama Yayasan Cahaya Guru, gimana bikin buat guru-guru Depok,” ucapnya.
Baca juga: Tur Rumah Ibadah: Pupuk Toleransi Perkuat Kontribusi Hadapi Krisis Iklim
Hanifah Haris dari Yayasan Bhakti Budhi Pertiwi, Bogor. Meski sudah 20-an tahun menjadi pegiat isu perempuan dan perdamaian, ia tetap antusias ikut Peace Walk, karena ingin belajar hal-hal baru. (Foto: dok Yayasan Cahaya Guru)
Dari Bekasi, ada Noveit Parana Nandhiyar, guru SD Negeri Mustika Jaya 5.
Pendidik yang sudah 25 tahun mengajar ini mengenakan kaos lengan panjang dirangkap kaos Peace Walk dan jilbab biru bermotif.
“Dari Bekasi (berangkat) 04.30, sampai sini (lokasi) 07.05. Semangat banget karena saya lihat acaranya worth it banget dengan pengorbanan yang telah saya lakukan. Karena satu manfaatnya kaki sehat, kedua, dapat pengetahuan baru,” kata Noveit antusias.
Ini pengalaman pertama Noveit mengikuti tur rumah ibadah. Sebelumnya, ia pernah mengunjungi rumah ibadah tetapi sebagai bagian dari wisata sejarah.
“Narsumnya memang dari agama tersebut, kalau dari walking tour-nya itu kan guide-nya yang menjelaskan. Ternyata banyak sekali yang (saya) tidak tahu, di antaranya adalah di agama Katolik, ternyata mereka juga puasa 40 hari malah, walaupun ada bedanya,"
"Saya merasa keberagaman justru memperkaya toleransi saya, untuk menghormati agama-agama yang ada, khususnya di Kota Bogor dan umumnya di Indonesia,” ujar dia.
Perempuan 49 tahun ini mendapat banyak pengetahuan baru tentang agama lain. Itu jadi bekal penting untuk diajarkan ke murid-muridnya. Makin relevan, karena ia masuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah
“Saya berkewajiban menjembatani perbedaan yang terjadi, ‘eh kamu berbeda sama saya, kamu enggak bagus’. Nah, itu yang harus diluruskan lagi, bahwa setiap agama pada dasarnya adalah baik," ucap Noveit.
"Kebetulan saya (guru) penggerak angkatan 9, jadi mungkin nanti sama teman-teman, gimana nih kalau kita mengadakan acara walking tour, dengan siswa-siswa?,” lanjutnya.
Baca juga: SEKA Pontianak: Semai Kerukunan, Lestarikan Lingkungan
Astrid Tri (24), guru agama Budha di Sekolah Ananda Bogor. Tantangan sebagai pendidik adalah memahamkan murid agar konsisten dalam bertoleransi, baik ke pemeluk agama yang beda, maupun sama meski lain pendekatan atau cara beribadah. (Foto: KBR/Ninik)
Acara Peace Walk ditutup dengan pembacaan “Deklarasi Guru Bineka” oleh seluruh peserta. Noveit mengajukan diri sebagai pembaca naskah deklarasi. Puluhan guru ini berkomitmen menghormati keberagaman dan mengupayakan pendidikan inklusif.
Bogor dipilih sebagai lokasi perdana Peace Walk dan "Deklarasi Guru Bineka". Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru, Muhammad Mukhlisin menjelaskan alasannya.
“Bogor punya potensi yang sangat beragam. Kalau ini tidak dikelola dengan baik, nanti akan sia-sia. Oleh sebab itu, kami punya cita-cita, Bogor akan kita jadikan kayak piloting project dengan keragaman yang ada, kemudian kita jadikan sebagai sumber belajar,” kata dia.
Menurut Lisin, demikian ia akrab disapa, tur rumah ibadah sudah digelar yayasannya sejak 2016. Namun, baru kali ini dilakukan dengan berjalan kaki. Bogor sangat cocok karena punya banyak rumah ibadah bersejarah yang letaknya berdekatan.
“Guru-guru harus mengalami langsung, bagaimana ibadah teman-teman agama lain. Tujuannya untuk membukakan pintu keragaman itu, supaya mereka bisa merasakan langsung,” tutur Lisin.
Perjumpaan dan interaksi langsung diyakini Lisin sangat efektif untuk mengikis stigma dan prasangka antarumat beragama.
“Masih ada guru-guru yang punya pandangan menganggap orang lain sebagai ancaman. Guru-guru yang seperti ini, tidak bisa diubah cara pandangnya, hanya dengan 1-2 hari kegiatan. Kegiatan seperti peace walk ini, sebenarnya pintu masuk mengenalkan keragaman, dengan cara-cara yang sangat sederhana,” Lisin menekankan.
Keyakinan itu dilatari pengalaman pribadi Lisin. Pendidik berusia 36 tahun ini berubah menjadi sosok yang toleran karena bersua dan berinteraksi dengan umat agama lain.
“Saya berubah 180 derajat, bukan karena ceramah, baca buku, tapi karena perjumpaan dengan orang lain yang berbeda, ngobrol dari hati ke hati, diajak main ke rumah ibadahnya. Hal itulah yang kemudian menginspirasi saya untuk berubah 180 derajat, memahami bahwa, ternyata asumsi yang saya pahami selama ini salah,” Lisin bercerita.
Transformasi pola pikir ini dialami Lisin saat kuliah di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Jakarta.
“Saya juga menekuni bagaimana mengintegrasikan isu toleransi dengan isu di pendidikan. Karena kasus-kasus intoleransi juga banyak di pendidikan. Bagaimana cara melihat problem ini, dari situ saya bisa memadukan, misalnya analisisnya dari analisis kurikulumnya, analisis pendekatan cara mengajar guru-gurunya,” jelas Lisin.
Lisin mendapati perubahan serupa di banyak guru yang mengikuti tur rumah ibadah atau program lain di Yayasan Cahaya Guru. Pergeseran ke arah toleran itu diawali dari celetukan sederhana.
“Ada yang bilang, ‘oh ternyata orang Katolik itu ramah-ramah, ternyata sambutan mereka sangat terbuka terhadap orang yang berbeda agama’. Itu adalah komentar nyata bahwa, selama ini mereka menganggap orang agama lain itu, tidak ramah dong. Ini kan sebuah quote yang menurut saya sangat autentik, dengan cara-cara pengungkapan sederhana, tapi dari situ, terlihat ada perubahan. Tapi quote-quote seperti itu, dari teman-teman langsung, membuat kami merasa kegiatan ini ada manfaatnya,” ucap Lisin.
Baca juga: Inspirasi Keberagaman dari Pulau Flores
Ramli Jali, guru SMK di Jakarta asal Ambon, Maluku. Ia masih kecil ketika konflik Maluku 1999. Namun, ia mendapat cerita bahwa banyak orang Islam dan Kristen, saling bantu saat kerusuhan terjadi. (Foto: KBR/Ninik)
Di Peace Walk Bogor, asa yang sama juga menyala. Lisin senang dengan antusiasme peserta untuk bertanya dan berinteraksi dengan para pemuka agama lain di tiap rumah ibadah yang dikunjungi.
“Mereka menanyakan hal-hal yang menurut kami juga penting, yang selama ini menjadi asumsi mereka. Mereka menanyakan soal tata cara beribadah, simbol-simbol di rumah ibadah, dan juga yang paling penting adalah banyak peserta yang menanyakan bagaimana relasi, atau kolaborasi yang terjadi, antara satu rumah ibadah, dengan rumah ibadah yang lain,” imbuhnya.
Yayasan Cahaya Guru bakal menginisiasi wadah bersama untuk memperluas jejaring guru bineka.
“Untuk membuat wadah buat teman-teman guru yang punya keprihatinan, dan mereka punya kemauan untuk mengelola toleransi dan keragaman. Ketika niatnya sudah sama, ini apa yang harus kita lakukan, itu nanti akan semakin mantap langkahnya ke depan,” tegas Lisin.
Komunitas guru bineka perlu terus diperkuat dan diperluas. Sebab, guru memegang posisi sangat sentral dalam pendidikan.
“Guru adalah orang yang mampu dengan mudah, mentransfer ilmu yang akan mereka dapatkan ke murid-murid. Jadi seandainya satu guru, mau mengajarkan ke kelas, satu kelas itu minimal ada 30 orang, dan guru itu, kan, dalam satu sekolah bisa mengajar 5-10 kelas, itu artinya akan ada dampak yang sangat besar. Belum lagi mereka bisa berkarir hingga puluhan tahun,” ungkap Lisin.
“Memang harapan kami terhadap guru-guru itu sangat besar. Kami meyakini bahwa sekecil apapun upaya kita melalui kegiatan peace walk, ataupun kunjungan ke rumah ibadah, itu pasti ada manfaatnya, meskipun, hanya satu orang, dua orang, enggak masalah,” tambahnya.
Program Peace Walk dan tur rumah ibadah mendapat dukungan Kementerian Agama. Analis Kebijakan di Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag, Paulus Tasik Galle mendorong kegiatan semacam ini bisa terus direplikasi. Ia juga berharap pemangku kepentingan lain baik di tingkat pusat maupun pemerintah daerah turut memberikan dukungan.
“Ini harus, wajib terus, guru itu penting banget. Mengutip apa yang dikatakan Wakil Menteri (Agama) waktu Hari Guru, ketika Nagasaki-Hiroshima dihancurkan, Kaisar (Jepang) bertanya, masih berapa guru kita yang hidup? bagi Jepang pendidikan itu sentral sekali. Jadi artinya guru itu adalah aktor kerukunan, pemain yang sangat sentral di dalam pendidikan,” tutur Paulus.
*Liputan ini didukung Social Impact Reporting Initiative Project WAN-IFRA Women in News
Penulis: Ninik Yuniati