SAGA
"Pembelajaran sastra dinilai penting bagi anak, tetapi perlu kajian dan perencanaan matang"
Siswa mengikuti proses belajar mengajar pada hari pertama masuk sekolah di MTS Swasta HarapanBangsa di Aceh Barat, Senin (15/7/2024). (Antara/Syifa)
KBR, Jakarta - Nirwan Dewanto mengungkapkan kekesalannya terhadap program Sastra Masuk Kurikulum, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ia menuntut buku kumpulan puisinya “Jantung Lebah Ratu” dicoret dari daftar rujukan buku sastra dalam program itu.
“Cabut, tapi sampai sekarang, saya belum menerima penegasan bahwa buku saya dicabut,” kata Nirwan.
Nirwan sejak awal mempersoalkan program Sastra Masuk Kurikulum yang diluncurkan pada 20 Mei 2024 lalu. Salah satu pemicunya adalah konten buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang memuat banyak disinformasi. Misalnya, penyair Sutardji Calzoum Bachri disebut sudah meninggal.
“Buku-buku yang tidak ditulis oleh nama yang bersangkutan, ada, itu dari mana datangnya? Itu kan artinya kualitasnya buruk sekali. Kalau kualitasnya buruk, gimana mereka mau bertanggung jawab dengan pengajaran dan pendidikan? Apalagi Merdeka Belajar, Merdeka Mengajar, itu sudah salah semua, enggak bisa dimaafkan itu,” ujar Nirwan.
Usai jadi polemik, buku itu lantas ditarik dan kini tengah direvisi.
“Semua orang akan setuju dengan memajukan pendidikan, tapi belum tentu semua orang setuju, caranya kayak gitu, atau belum tentu setuju, bukunya diambil,” tuturnya.
Nirwan mempertanyakan pemilihan buku-buku yang masuk daftar rujukan. Ada 177 judul buku sastra, yang meliputi jenjang SD, SMP, dan SMA.
Sejumlah sastrawan terkemuka terlibat dalam proses kurasi, di antaranya, Eka Kurniawan, Zen Hae, Okky Madasari, dan Martin Suryajaya.
“Kriteria bukunya apa, enggak jelas. Para kurator memilih bukunya sendiri. Dan yang kedua etiket, mereka enggak pernah ngasih tahu saya, enggak pernah minta permisi pada pengarang lain,” ungkapnya.
Baca juga: Ring the Bell, Pendidikan Inklusif untuk Anak-Anak Tunanetra!
Sastrawan, Nirwan Dewanto, menulis surat terbuka mengkritik program Sastra Masuk Kurikulum. (Foto: Ninik/KBR)
Memberikan daftar rujukan buku sastra sebagai bahan ajar dinilai Nirwan bukan langkah tepat. Buku kumpulan puisinya juga tak cocok dijadikan bacaan anak sekolah.
“Anak-anak masak disuruh baca karya-karya eksperimental, misalnya. Belum lagi karya-karya itu kan belum teruji secara pedagogi. Buku saya enggak cocok untuk pendidikan, enggak cocok untuk usia itu, mungkin beberapa puisi ada yang cocok, mungkin, saya enggak tahu, harus diuji lagi,” Nirwan menerangkan.
Nirwan mengusulkan, bahan ajar sastra berbentuk antologi.
“Mungkin bukan daftar buku, tetapi membuat suatu bunga rampai atau antologi, yang isinya kutipan-kutipan karya yang secara pedagogi cocok. Jadi bukan satu buku, dikutip aja bagian yang cocok,” usulnya.
Mestinya, belajar sastra itu pilihan, bukan keharusan.
“Itu kayak pelajaran mendaki gunung, enggak semua orang bisa ikut, itu pilihan. Ekstrakulikuler malah. Kita ada ekstrakulikuler tinju, semua orang harus ikut? enggak bisa dong, yang hobi tinju aja. Mau belajar beternak lele, itu kan enggak bisa di semua orang disuruh ikut,” jelas Nirwan.
Beban guru
Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru, Muhammad Mukhlisin, mengatakan, program Sastra Masuk Kurikulum dikhawatirkan menambah beban guru. Masih banyak kebingungan tentang mekanismenya. Penyusunan buku panduan dinilai terlalu terburu-buru.
“Karena ini menjadi sebuah kebijakan, maka teman-teman (guru) bertanya-tanya beban apalagi nih yang harus diemban. Guru-guru kan sudah berjalan dengan kurikulum yang ada. Tiba-tiba di tengah jalan, ada masukan baru dan tidak begitu jelas bagaimana mekanismenya,” ujar pria yang akrab disapa Lisin ini.
Baca juga: Melani Budianta, Guru Besar yang Selalu Ingin Menjadi Guru Kecil (Bagian 1)
Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru, M Mukhlisin. (Foto: dok pribadi)
Lisin bilang, perlu ada pelatihan buat guru agar punya metode tepat saat mengajarkan sastra.
“Karena setiap anak kan fase pertumbuhannya berbeda-beda. Itu membutuhkan pendekatan bagaimana cara mengajar untuk tingkat SD, SMP, SMA juga berbeda-beda,” kata Lisin.
Lisin juga menyoroti kepastian akses terhadap buku-buku rujukan program Sastra Masuk Kurikulum.
“Bagaimana guru-guru bisa mengajarkan, sementara di sekolah tidak tersedia buku sastranya. Ini kebijakan yang setengah-setengah. Keinginannya ada, merekomendasikan buku, tapi gurunya bingung, bagaimana cara mendapatkan buku ini,” imbuhnya.
Daftar buku rujukan mestinya memasukkan pula karya-karya lokal.
“Tiap daerah kan punya banyak cerita yang mempunyai nilai-nilai kearifan lokal yang mampu untuk membuat anak-anak berpikir kritis sesuai konteksnya masing-masing. Penting untuk memasukkan sastra-sastra di tingkatan lokal untuk masuk di dalam salah satu rekomendasi itu,” ungkap Lisin.
Guru Besar Purna Bakti Bidang Sastra dan Kajian Budaya UI, Melani Budianta juga mendukung sastra lokal digunakan jadi bahan ajar. Cara mengajarkan sastra pun bisa bermacam metode.
“Mengundang sastrawan ke sekolah, mendengarkan pantun-pantun atau tradisi di daerahnya. Itu nanti memperkaya kurikulum,” kata Melani.
Daftar rujukan hanyalah anjuran, bukan paksaan. Ia pun menekankan pentingnya pelatihan bagi guru agar hasilnya optimal.
“Barangkali bisa dicoba dulu di beberapa sekolah di berbagai daerah. Saya kira proses itu perlu selama setahun mungkin, proses-proses melatih dan memberikan kemampuan untuk guru. Kalau gurunya sendiri, merasa ‘lho saya kurang akrab dengan sastra, bagaimana cara mengajarkannya?’ itu kan beban berat sekali, apalagi melihat daftarnya, mungkin guru sudah pusing,” tutur dia.
Baca juga: Melani Budianta, Guru Besar yang Selalu Ingin Menjadi Guru Kecil (Bagian 2)
Melani Budianta, Guru Besar Bidang Sastra di UI, pada 2023 dianugerahi Sarwono Award dari BRIN. (Foto: Nafisa/KBR)
Perbaikan
Melani mengkritik konten buku panduan Sastra Masuk Kurikulum. Di samping masalah disinformasi, ia juga keberatan buku panduan berisi ringkasan-ringkasan karya sastra.
“Itu (ringkasan) justru bukan cara yang baik sama sekali. Pertanyaan-pertanyaan, isu-isu apa yang bisa didiskusikan di kelas, terkait dengan konteks masing-masing, di ruang yang berbeda-beda, itu yang lebih utama,” jelas Melani.
Sastra penting diajarkan karena bisa mengasah daya kritis dan imajinasi anak. Kurikulumnya tak perlu kaku, anak bisa memilih sendiri bukunya dan dikaitkan dengan pelajaran apa saja.
“Semua anak, kalau mereka sudah merasakan kedekatan dan kenikmatan membaca karya apapun, akan ketagihan. Ketagihan ini tidak membahayakan, justru membukakan wawasan. Ada orang bilang, ini bahasa thinking out of the box itu adalah melalui karya sastra. Karena di situ, imajinasinya bisa keluar dari kungkungan. Ada masalah ini, lalu ada aspek yang lain yang bisa didekati untuk memecahkan masalah,” tambahnya.
Orang tua pun bisa berperan dalam pembelajaran sastra. Ia mencontohkan cara yang dilakukan orangtuanya dulu.
“Ketika saya kecil dulu, kalau ulang tahun, itu hanya boleh dua hadiah, buku atau karya kreatif. Jadi uang jajan bisa diimbangi dengan seperti itu,” Melani bercerita.
Meski banyak kekurangan di sana-sini, Melani mendukung Sastra Masuk Kurikulum. Program ini mestinya bersifat kolaboratif yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk siswa dan orangtua.
“Kita menanggapi ini dengan positif, memang masih belum sempurna. Ini hanya awal saja, kita sambut dengan berbagai macam cara, perbincangan sudah terjadi di publik, marilah kita tangkap momen ini untuk memperkuat bangsa Indonesia,” pungkas Melani.
Penulis: Ninik Yuniati