SAGA
"Perundungan siswi di sekolah negeri akibat tidak menggunakan jilbab. "
Ilustrasi siswi berjilbab di sekolah negeri. ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto
KBR, Jakarta - Bunga -bukan nama sebenarnya- terlihat gelisah saat bercerita tentang peristiwa pahit semasa kelas 6 SD. Kejadian di Hari Jumat itu, begitu membekas di ingatannya.
“Teman-teman saya pada bilang, Bunga sesat, Bunga sesat, gitu. Saya diem, saya nangis di meja, saya enggak tahu harus gimana lagi, saya sedih banget," kata Bunga kepada KBR, awal Mei 2025.
Bunga tak menyangka bakal jadi bulan-bulanan satu kelas, hanya karena ia melepas jilbab.
Makian sesat awalnya justru meluncur dari mulut ibu guru yang mengajar di hari itu.
Ketika melihat Bunga tak berjilbab, ia langsung menghampiri.
“Dia bilang, Bunga kenapa lepas jilbab? Oh, saya gerah bu, saya lepas jilbab bentar ya," tutur Bunga menceritakan kejadian tersebut.
“Bunga harus pakai jilbab, Bunga perempuan Islam harus pakai jilbab, enggak boleh enggak pakai jilbab," imbuhnya.
“Dia bilang ke teman-teman saya, dia bilang gini, jangan ngikutin Bunga lepas jilbab ya, Bunga sudah sesat nih, soalnya gitu. Jadi saya di situ, saya mata saya berkaca-kaca, saya sedih, saya ngerasa kayak, emang kalau lepas jilbab itu sesat ya," ungkapnya.
Sejak saat itu, stigma sesat melekat. Bunga kerap dirundung teman-temannya.
“Ya sudah akhirnya saya pakai, tapi ya gitu, saya pakai, saya lepas lagi. Terus guru-guru bahkan sampai beliin jilbab, jadi Bu Farida beliin, ini ibu beliin jilbab, dipakai ya, jangan dilepas terus," kata perempuan yang kini duduk di bangku kelas 2 SMP tersebut.
Sebetulnya, tak ada aturan yang mewajibkan siswi di sekolah negeri mengenakan jilbab, sekalipun dia beragama Islam. Namun, di salah satu SD negeri di Jakarta, tempat Bunga sekolah, praktiknya berbeda.
“Guru agama saya bilang, kalau mau ikut pelajaran agama dia, harus pakai jilbab, jadi saya mikir, ya ampun, kok saya berada di situasi yang begini ya, yang rumit ya," pikirnya saat itu.
Diskriminasi serupa dialaminya ketika SMP.
“Waktu itu jadinya pas guru agama Islam masuk, saya mau keluar, kan dibilang tuh, sana kamu keluar, kamu enggak pake jilbab, kamu pasti nonis (non-Islam) kan. Padahal dalam hati saya lah, kok nggak ditanya dulu," kata Bunga.
Saat bercerita, sesekali Bunga terdiam, mengatur emosi supaya lebih tenang.
“Yowes, saya keluar. Dan saya waktu itu di situ, pake rok selutut kan, nggak pake jilbab, yaudah saya keluar," ujarnya.
Pengalaman dua kali didiskriminasi membuat remaja 15 tahun ini makin matang berpikir.
“Semua orang punya haknya masing-masing mau pakai jilbab mau enggak, itu gak bisa diatur sama mereka semua, kita yang punya hak sendiri," tutur remaja yang gemar menari itu.
Ibunda Bunga, Anna, bersyukur putrinya mampu melewati masa-masa sulit tersebut. Meski, sebagai orang tua, ia tak rela anaknya diperlakukan seperti itu.
“Yang saya keberatan kan bully-nya itu lho, bully anak saya yang dilakukan orang dewasa, dengan profesi yang sangat tidak patut, ini guru. Di hadapan umum," tukas Anna.
Kasus pemaksaan jilbab di sekolah negeri rupanya terjadi di banyak daerah. Di Pontianak, Kalimantan Barat, Yovia, mengalaminya saat SMP, sekitar sembilan tahun lalu.
"Yang bikin agak kaget itu ketika bawa orang tua dan akhlak," kata Yovia kepada KBR melalui sambungan telepon.
Ibu Yovia, Fitri Abassuni menceritakan peristiwa itu.
“Oh saya waktu itu tuh kejadiannya terpicu karena suatu hari Yovi pulang dari sekolah itu, mukanya tuh pucat pasi. Jadi dalam kondisi ketakutan, pucat gitu ya. Jadi kayak abis lihat hantu apa gimana," cerita Fitri.
Fitri langsung memeluk anaknya, mencoba menenangkan, sembari bertanya-tanya. Apa yang terjadi?
“Terus Yovi cerita gitu. Tadi Yovi didatangin Pak Asban, namanya tuh Pak Asban. Yovi dipanggil sendiri ke musala gitu. Jadi dipanggil ke musala, terus ditanya, kenapa kamu nggak pake ya itu dengan segala, kenapa nggak pake jilbab, terus nanti kamu geret orang tua ke neraka, apa segala macam gitu ya," ujarnya.
Menurut Fitri, Yovia tersentak dengan perkataan itu.
Segala hal yang mengingatkan Yovia tentang mendiang ayah selalu membuat pilu. Yovia kehilangan sang ayah saat masih SD.
Fitri tak tega menyaksikan putrinya yang masih remaja menjadi korban diskriminasi.
“Dia nggak pernah berada dalam posisi ketakutan seperti itu gitu ya. Jadi saya pikir ini pasti sudah, enggak di luar yang umum lah tekanannya," tuturnya lirih.
Wajar Fitri gusar. Di sekolah inklusi yang didirikannya di Pontianak, urusan keyakinan tak pernah dipermasalahkan.
“Saya sih geregetnya ya, ini sekolah negeri kok jadi begitu. Bukan sebuah kewajiban, itu hak, tetapi kenapa semua dipaksa," kata ibu dua anak ini.
Fitri tak tinggal diam.
“Jadi besoknya, keesokan harinya saya langsung, hari itu juga saya langsung kontak wakil kepala sekolah yang waktu itu jadi plt kepala sekolahnya," sambungnya.
Pertemuan berlangsung tegang, diwarnai adu mulut. Pihak sekolah tetap memaksa semua siswi berjilbab.
“Karena saya tidak mau larut berdebat dalam argumentasi yang tak ada dasarnya itu, karena menurut sudah beda keyakinan ini maksudnya. Itu haknya wanita, saya kan prinsipnya begitu ya. Nah ini kan enggak akan pernah selesai. Saya tidak mau terjebak di situ," pikir perempuan 49 tahun tersebut.
Setelah menimbang banyak hal, Fitri mengalah. Ia meminta Yovia menggunakan jilbab selama di sekolah, demi menghindari masalah. Ini sekaligus memberi putrinya pengalaman tentang realita sosial.
"Jadi saya bilang, ya nggak apa-apa Yovi pakai (jilbab) aja gitu. Kalau misalnya memang anggap aja beradaptasi dengan aturannya orang. Kalau saya sih melihatnya dari situ aja. Yovi bisa beradaptasi dengan aturan orang."
Penyintas lainnya adalah Rere, korban pemaksaan jilbab di salah satu SMP negeri di Cirebon, Jawa Barat.
"Jadi waktu itu masih COVID-19, masih kadang online, kadang offline. Jadi waktu itu masih offline. Pas masuk ke sekolah," Rere mengawali cerita.
Diskriminasi dihadapinya bahkan sejak hari pertama sekolah.
Saat hendak masuk gerbang, ia ditanya penjaga sekolah.
“Neng, kerudung kamu mana? Karena kan Rere baru awal masuk ya, jadi Rere kayak gak ngerti harus jawab bagaimana. Jadi Rere cuma mengangguk saja," ujarnya menirukan.
Rere mendadak menjadi perbincangan di sekolah, dari guru hingga kakak kelas.
“Ada kakak kelas tadi yang nyariin Rere, tapi Rere lagi beli jajan. Terus bilangnya, kamu enggak pake kerudung ya, mana yang nggak pake kerudung, mau saya baptis gitu," kata dia.
Rere seorang muslim. Sejak kecil rajin mengaji. Hafal beberapa surat.
Bagi remaja 16 tahun ini, kadar ke-Islam-an tidak diukur dari jilbab.
“Kayaknya kalau Rere ngerasa sendiri ya mungkin karena memang Rere kan mayoritas di sana. Pertama kali lah ibaratnya ada siswi Islam, tapi tidak berjilbab. Mungkin karena itu, temen-temen yang lain tuh ngerasa kayak, aneh sih, kenapa nggak pake jilbab," ujar siswi SMA tersebut.
“Itu sebenarnya awal itu ya, di dalam juga banyak teman-teman, guru agama, guru PTKN juga, nyindir-nyindir apa segala macem," imbuhnya.
Ruhadi, ayah Rere jadi gelisah, khawatir dengan kondisi anaknya.
“Maksudnya ya kelihatan tertekan, gimana ini pak? Gitu. Saya kan marah sebagai orang tua, emosi banget gitu-gitu," kata Ruhadi.
Bunga, Yovia, dan Rere hanya beberapa contoh dari banyak kasus pemaksaan jilbab di sekolah. Praktik diskriminatif ini bukan hal baru di dunia pendidikan Indonesia.
Syahar Banu (berdiri) bersama Forum Berbagi menemui Wakil Menteri Pendidikan Fajar Riza Ul Haq membahas kasus pemaksaan jilbab di sekolah negeri. Pertemuan berlangsung di Kementerian Pendidikan, April 2025. (Foto: Andreas Harsono)
"Intinya di sini kami bukan pengin semua orang melepas jilbab perjuangannya, tetapi kami pengin semua orang bisa mengekspresikan pilihan berbusana," kata pegiat HAM, Syahar Banu, saat dihubungi KBR.
Dia berpandangan, pemaksaan jilbab muncul dari konstruksi sosial yang kadung terbangun.
“Konstruksi sosial yang dipaksakan yang kemudian dijadikan aturan,” ujar Banu yang pernah menjadi peneliti di Human Rights Watch (HRW) ini.
Di banyak wilayah, konstruksi sosial soal jilbab menjelma menjadi peraturan daerah.
Kebijakan itu dikritik diskriminatif karena pemerintah memaksakan keyakinan tertentu, abai dengan realita keberagaman.
“Seharusnya peraturan daerah pun kalau mereka beralasan ini bagian dari otonomi daerah, peraturan daerah itu tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundang-undangan negara. Jadi seharusnya peraturan daerah yang memang jelek-jelek itu, yang memperlihatkan diskriminasi, bahkan SKB Menteri yang memperlihatkan diskriminasi, itu seharusnya sudah otomatis batal, sudah otomatis inkonstitusional," kata dia.
Makin salah kaprah karena menjadikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2014 tentang seragam sekolah sebagai rujukan.
Aturan yang diteken Mendikbud Mohammad Nuh itu ditafsirkan sebagai kewajiban siswi muslim mengenakan jilbab di sekolah negeri.
Menurut Banu, perda diskriminatif sering jadi modus politisi daerah untuk memenangi pemilu.
“Jadi bupati-bupati, wali kota-wali kota itu ingin merebut hati masyarakat lewat mengakomodir kelompok-kelompok yang ingin hal itu diterapkan," dugaannya.
Syahar menulis laporan berjudul “Aku Ingin Lari Jauh”, yang memotret praktik pemaksaan jilbab di lingkungan sekolah dan instansi pemerintahan, dari era Presiden SBY hingga Jokowi.
“Mungkin saya enggak ingin menyebutnya sebagai proyek, karena ini bagian dari perjuangan saya terlibat secara emosional, sebagai perjuangan panjang saja. Bahwa intinya pemerintah itu tidak boleh mengatur bagaimana kita berekspresi atas tubuh kita," tutur eks pengurus KontraS ini.
Jadi yang kita pegang itu sebenarnya HAM-nya, bukan apakah boleh pakai jilbab, apakah itu tidak boleh pakai jilbab, atau harus pakai jilbab. Tapi berdiri aja di HAM karena kita bineka.”
Ia mengadvokasi para korban pemaksaan jilbab di sekolah. Perjuangan ini punya makna tersendiri bagi Syahar yang juga pernah didiskriminasi karena melepas jilbab.
Tak disangkalnya, rasa takut kerap menghantui.
“Takut. Takut juga. Takut karena ketika saya, saya dulu tinggal di lingkup yang lumayan agamis dan kemudian saat saya membuka jilbab, lingkungan tersebut heboh. Dan saya dianggap sebagai promotor buka jilbab, saya dianggap menginfluence orang untuk buka jilbab. Dan gerakan, gerakan yang saya lakukan itu sama aja sebagai gerakan anti agama,” ungkap perempuan 34 tahun ini.
Pada medio April 2025, Banu bersama penyintas lain sempat diterima Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq di kantornya. Mencurahkan kegelisahan, berharap ada solusi dan jaminan perlindungan.
Namun, respons wamen mengecewakan.
“Mungkin ada puluhan perda yang melegalisasi jilbabisasi, ini problemnya ada perda seperti itu yang cukup banyak, yang itu sebenarnya bukan jangkauan kami. Kalau perda itu memang kewenangan bukan di kementerian pendidikan, itu kewenangannya di kemendagri," kata Fajar.
Menurut LSM HAM, HRW, sedikitnya ada 70 peraturan daerah yang mewajibkan anak perempuan mengenakan jilbab di sekolah.
Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih. (KBR/Wahyu)
Temuan serupa juga menjadi catatan Komnas Perempuan.
“Ini yang busana perdanya 16, terus kalau yang perkadanya, perkadanya itu di bawah peraturan daerah ya, di bawah peraturan daerah itu ada sekitar 40. Jadi yang bunyinya surat edaran, surat edaran wali kota, gubernur, kayak gitu, itu di bawah perda," kata Anggota Komnas Perempuan Dahlia Madanih kepada KBR.
Dia bilang, kehadiran aturan-aturan tersebut menyuburkan politisasi agama.
“Karena kita temukan ternyata kebijakan-kebijakan yang muncul kok justru menguatkan identitas-identitas lokal termasuk identitas agama dan bisa jadi politisasi akhirnya kita melihat nih," ungkapnya.
Seharusnya, perda diskriminatif tak berlaku karena menyalahi konstitusi. Kewajiban maupun larangan berjilbab, melanggar HAM.
“Jadi negara menjamin setiap warga negaranya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Di pasal 2.8e juga, itu di ayat 2. Nah, kewajiban jilbab itu bukan urusan negara. Jadi orang itu mau melakukan busananya sesuai dengan ajaran agamanya itu tumbuh dari kesadaran. Bukan dari paksaan. Kalau regulasi ini kan paksaan," kata Dahlia.
Dahlia menegaskan keyakinan agama dan HAM bukanlah dua hal yang berseberangan.
“Sesuai dengan keyakinan saya. Misalnya, saya punya keyakinan bahwa saya sebagai perempuan wajib menutup aurat pakai jilbab gitu misalnya. Itu pandangan saya. Kan pribadi, saya berhak berkeyakinan seperti itu. Karena itu dijamin, setiap orang kan punya keyakinan. Ketika saya mengekspresikannya, saya juga masih dijamin," tekan dia.
“Tapi yang tidak boleh ketika saya meminta orang, saya guru agamanya, kamu pakai jilbab ya karena kamu wajib. Itu sudah pelanggaran, karena dia memaksa," pungkasnya.
Penulis: Wahyu Setiawan
Editor: Ninik Yuniati