Article Image

SAGA

Bersama Mendorong Layanan Kesehatan Reproduksi Ramah Disabilitas

"Riset HWDI atas dukungan IBP menunjukkan infrastruktur puskesmas maupun layanan tenaga medis di banyak kota, belum ramah disabilitas. "

Penyandang disabilitas di acara Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). (Foto: hwdi.org)

KBR, Jakarta - Marilyn Lievani punya motivasi tersendiri ketika menerima ajakan meneliti layanan kesehatan puskesmas untuk perempuan disabilitas.

Penelitian digelar tahun ini oleh Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) atas dukungan International Budget Partnership (IBP).

“Supaya suatu saat teman-teman saya yang lain, baik yang enggak bisa mendengar, baik yang naik kursi roda, semua bisa memperoleh akses keadilan yang sama dalam memperoleh layanan kesehatan,” kata Marilyn.

Marilyn meneliti 6 puskemas di Kota Medan, Sumatera Utara, tempatnya berdomisili. Perempuan 30 tahun ini adalah penyandang disabilitas netra.

“Mungkin hambatan yang saya alami tidak sebesar teman-teman saya yang tuli ataupun yang naik kursi roda, karena saya itu, ya digandeng, di-gandol aja ke mana oke,” tutur dia.

Puskesmas dipilih sebagai lokasi riset karena merupakan layanan dasar yang paling dekat dengan masyarakat, termasuk para difabel.

Secara pribadi, Marilyn mengaku selama ini lebih memilih ke klinik ketimbang puskesmas. Pasalnya, ia kerap mendengar fasilitas dan layanan puskesmas di Kota Medan, tak ramah difabel.

“Saya pilih klinik PTPN, karena termasuk yang akses, ramp-nya bagus, kamar mandinya oke, pencahayaannya termasuk yang lumayan. Jadi kayak terasa jomplang antara puskesmas buatan pemerintah dengan yang PTPN,” jelas Marilyn.

Baca juga: Ikhtiar Memperkuat Kader Posyandu, Ujung Tombak Layanan Kesehatan

Marilyn Lievani, penyandang disabilitas netra, pendiri Yayasan Dwituna Harapan Baru di Medan, Sumatera Utara. Yayasan ini menaungi sekolah bagi penyandang disabilitas. (Foto: KBR/Fidel)

Melalui riset ini, Marilyn sekaligus mengkonfirmasi anggapan tersebut. Ia mewawancarai para petugas puskesmas tentang seberapa inklusif fasilitas dan layanan untuk difabel.

Hasilnya? Pernyataan dengan realita tak sejalan.

“Saat saya yang wawancara, luar biasa puskesmasnya. ‘Bu, ada ini?’, ‘ada, Dek’, ‘Bu, ada ini?’, ‘ada, semua ada, Dek’. Baru kemudian, saat teman saya yang berkunjung, saya tanya balik, ‘eh katanya ibu yang puskesmas ABC itu, ada lho kalung-kalung merah, kuning, ijo, supaya prioritas. Ada kalian dapat?’, ‘mana ada, kalung apa?’,” Marilyn bercerita.

Puskesmas belum peka terhadap kebutuhan ragam disabilitas.

“Anggaplah namanya Bu Siti, dipanggillah, ‘Bu Siti, Bu Siti’, namanya tuli, Bu Siti sampai pingsan dipanggil enggak datang-datang. Padahal dia udah dari depan mendaftar, udah bilang, dia tuli. Nah, ketika Bu Sitinya berusaha maju, terus bilang, ‘kenapa Saya enggak dipanggil-dipanggil?’, terus dia dimarahin, ‘Bu Siti dari tadi saya panggil, kenapa enggak datang?’,” lanjutnya.

Respons petugas puskesmas yang ia datangi juga bermacam-macam. Sebagian terkesan resisten.

“Ada satu puskesmas yang kita saat mengantar surat aja pun dia hampir enggak menerima kami. Dia seperti langsung nge-benteng-in, kita enggak dipersilakan masuk, kita cuma dikasih duduk di luar aja. Ada juga puskesmas yang kita datang, dia seperti ketakutan sendiri, seperti kita membawa hantu atau apa. Seperti dia takut telah berbuat salah,” ucap Marilyn.

“Ada yang langsung beku dari awal wawancara sampai akhir dan ada yang bingung dari awal sampai akhir, ini apa ya jawabnya, Bu ya? ini apa ya? Mereka saling melihat, melirik satu sama laih, apa sih yang harus kita jawab kayak gitu,” lanjutnya.

Meski, ada juga puskemas yang bereaksi sebaliknya.

“Ada beberapa puskesmas yang dari awal kita antar surat pun sudah welcome sekali, meskipun daerah dia sangat kecil, puskesmas dia kecil. Penerangannya mungkin sangat kurang, sempit sekali, tapi orangnya sangat ramah sekali,” jelas Marilyn.

“Jadi kita apresiasi, meskipun puskesmas dia tidak cantik, tapi kalau orangnya ramah, pasti kita akan selalu merasa nyaman di sana, ketimbang puskesmas yang cantik sekali, tapi kemudian orangnya tidak mengizinkan kita masuk, tidak ramah, beku dari awal sampai akhir. Tentu itu menjadi hal yang tidak menyenangkan,” tambahnya.

Baca juga: Benang Kusut Antimikroba Resistan Ancam Kesehatan Kelompok Rentan

Penyandang disabilitas tengah mencoba fasilitas di puskesmas, sebagai bagian dari riset layanan kesehatan ramah disabilitas yang digelar HWDI. Riset ini mendapat dukungan International Budget Partnership (IBP). (Foto: KBR/Fidel)

Di Lombok Tengah, NTB, hasilnya tak jauh beda. Sri Sukarni, salah satu peneliti, mengungkap bahwa fasilitas puskesmas maupun kapasitas petugasnya masih jauh dari ideal.

“Dari puskesmas, pemberi layanan, semua OPD (organisasi perangkat daerah) itu menyatakan, sudah ada aksesibilitas itu kalau sudah terlihat ada ramp untuk penyandang disabilitas fisik. Tapi, kan, mereka tidak memahami bagaimana akses yang lain,” kata Sri.

Sri, yang juga Ketua HWDI NTB ini, melihat langsung dan mencoba sendiri fasilitas puskesmas yang diklaim sudah ramah difabel.

“Ada ramp yang tidak bisa dijangkau oleh pengguna kursi roda, lantainya licin, sehingga penyandang disabilitas netra pasti merasa ketakutan. Ada juga toilet (untuk) disabilitas, tapi kursi roda tidak bisa masuk, handrail-nya ditaruh di belakang pintu. Ketika kita buka pintu, akan kewalahan atau terhalang masuk. Seharusnya handrail-nya ada di dalam ruangan toilet, ini membuktikan bangunan-bangunan puskesmas, mau yang lama maupun yang baru, belum responsif disabilitas,” tutur dia.

Selain di Medan dan Lombok Tengah, riset juga dilakukan di empat daerah lain, yakni Jakarta, Kota Bandung, Jawa Barat, Makassar, Sulawesi Selatan dan Kupang, NTT. Total ada 36 puskesmas yang diteliti. Kesimpulan dari seluruh temuan menunjukkan puskesmas belum ramah disabilitas, kata Ketua Umum HWDI, Rina Prasarani.

“Ini di luar masalah transportasi, masalah kita punya uang atau tidak, tapi pada saat kita punya uang, transportasi ada, pendamping ada, begitu sampai ke puskesmasnya, banyak hal yang memang tidak bisa kita akses,” kata Rina.

Riset juga menggali tentang layanan kesehatan reproduksi bagi perempuan disabilitas di puskesmas.

“Alat-alat bantu kesehatan yang menunjang tenaga medis untuk memeriksa kesehatan reproduksi perempuan penyandang disabilitas secara maksimal, ini juga masih belum ditemukan. Lalu, informasi atau education yang diberikan dalam promosi atau pencegahan kesehatannya juga masih belum aksesibel terhadap penyandang disabilitas,” ujar dia.

Baca juga: Silang.id Perluas Ekosistem Inklusif bagi Tuli

Sri Sukarni (berkursi roda), Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) NTB. (Foto: KBR/Fidel)

Realita itu ditemukan Marilyn yang meneliti puskesmas di Kota Medan. Alih-alih bagi difabel, layanan kesehatan reproduksi untuk mereka yang bukan penyandang disabilitas saja masih minim.

“Misalnya di satu ruang pemeriksaan, kita langsung masuk tiga orang. Sedangkan kalau kita mau cerita kesehatan reproduksi, ketika kita seorang perempuan, melihat dua orang lagi di samping, pasti ada rasa malu. Jadi tidak adanya ruang spesifik untuk konsultasi. Yang kedua, kami temukan layanan kesehatan reproduksi hanya bersifat umum saja, tidak ada yang ramah atau yang khusus untuk orang disabilitas,” papar Marilyn.

Marilyn menekankan pentingnya ketersediaan layanan kesehatan reproduksi untuk semua. Namun, ia mengingatkan, puskesmas mesti menerapkan pendekatan berbeda ketika melayani disabilitas.

“Karena kalau kita menjelaskan masalah reproduksi, contoh membersihkan daerah kewanitaan atau membersihkan daerah intim pria, tentu kalau kita menceritakannya kepada orang nondisabilitas, beda caranya dengan disabilitas,” terang dia.

Marilyn bilang, transformasi layanan puskesmas ke arah inklusif, bakal memberi manfaat ke banyak kelompok rentan, tak hanya disabilitas.

“Ingat! yang datang ke fasilitas kesehatan pasti orang sakit. Orang sakit pasti punya kesulitan baik, kesulitan berjalan, atau kesulitan apa, lemas, kakinya susah bergerak atau dia mungkin pusing, jadi matanya berkunang-kunang, susah melihat. Pastinya semua orang butuh aksesibilitas, bukan cuma disabilitasnya aja,” tutur Marilyn.

“Jadi bicara aksesibilitas pada layanan kesehatan, jangan lihat disabilitas, lihat semua orang yang datang, itu kondisinya sakit, butuh kenyamanan. Dan selayaknya orang yang bekerja di fasilitas kesehatan, memberikan tersebut, kepada semua orang, karena dirinya sendiri sebagai pemberi layanan suatu saat juga akan memerlukan hal yang sama kan?,” imbuhnya.

Baca juga: Demi Eliminasi Kanker Serviks 2030

Sejumlah perempuan disabilitas mengikuti diskusi tentang kesehatan reproduksi yang digelar Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) atas dukungan International Budget Partnership (IBP). (Foto: IG IBP Indonesia)

Temuan riset tersebut juga memperlihatkan tak ada perbedaan antara puskesmas di daerah dengan di pusat pemerintahan, yakni Jakarta.

Pingkan Aprilia dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengapresiasi hasil penelitian HWDI. Menurutnya, pemda sudah melatih tenaga kesehatan tentang layanan inklusif.

“Mungkin nanti RTL (Rencana Tindak Lanjut) adalah bagaimana tenaga kesehatan yang sudah terlatih itu melatihkan lagi kepada teman-temannya seperti in-house training. Jadi tidak hanya dia yang mendapatkan pengetahuan, tapi teman-temannya yang lain baik di puskesmas, kecamatan maupun puskemas pembantu itu bisa tercerahkan terkait layanan kesehatan penyandang disabilitas,” kata Pingkan.

Pingkan bilang, secara pribadi, ia ingin terus meningkatkan kapasitasnya tentang layanan publik yang inklusif.

“Semoga saya bisa lebih sensitif disabilitas dan nanti bisa membuat kebijakan kalau dari segi pemerintahan terkait pelayanan kesehatan ini. Yang pasti kita berharapnya bisa memenuhi ekspektasi teman-teman terkait pelayanan kesehatan penyandang disabilitas itu seperti apa, karena kan kita juga ada beberapa target-target yang harus dipenuhi, jadi lumayan in-line nih dari hasil penelitian tersebut,” tutur dia.

Yuna Farhan, Country Manager International Budget Partnership (IBP), berharap hasil penelitian HWDI bisa dijadikan pijakan untuk mengubah wajah layanan kesehatan.

“Kita ingin memberikan masukan, ini lho kondisi realitanya, ini yang dialami oleh perempuan penyandang disabilitas, dan peta kebijakannya seperti ini. Harapannya inilah yang menjadi dasar kita nantinya merumuskan langkah-langkah bersama, apa saja yang perlu dilakukan oleh kami, masyarakat sipil, oleh Bappenas, Kementerian Kesehatan, dan juga kementerian lain yang terkait,” ucap Yuna.

Tindak lanjut dari hasil riset akan dikawal.

“Kita akan mendorong HWDI di daerah melakukan monitoring sosial audit secara reguler untuk melihat ada enggak perubahan di level layanan kesehatan puskesmas,” lanjutnya.

Selain itu, IBP juga berupaya meningkatkan kapasitas perempuan disabilitas terkait kebijakan publik yang inklusif. Salah satu dengan menggandeng Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), untuk mengedukasi soal politik anggaran negara. Yuna berharap perempuan disabilitas nantinya bisa terlibat merancang kebijakan publik yang inklusif.

“Agar program kegiatan yang dihasilkan nantinya betul-betul memperhatikan suara unik atau kebutuhan spesifik bagi perempuan penyandang disabilitas termasuk dalam konteks kesehatan reproduksi,” Yuna menekankan.

Penulis: Fidelia Indhira

Editor: Ninik Yuniati