Sekretariat Komunitas Difabel Mandiri (KDM) di Pasa Banjardowo Semarang menjadi studio produksi kacamata kayu BJ Homade. (Dok: KBR/ Valda)

SAGA

Resiliensi Komunitas Difabel Semarang untuk Berdikari

"Difabel masih sulit mendapatkan pekerjaan. Ini tak menyurutkan semangat Aziz Abdullah membangun usaha kerajinan kayu, dan membuka lapangan kerja bagi difabel."

Jumat 09 Des 2022, 21.05 WIB

KBR, Semarang - Siang itu di Pasar Banjar Dowo Baru, Semarang, Jawa Tengah, Azis Abdullah Bajasud tengah menghaluskan permukaan kayu jati dengan mesin amplas. Ini adalah salah satu tahapan pembuatan kacamata kayu.

Azis adalah penyandang tuna daksa. Ia merintis bisnis kacamata kayu sejak 2020 lalu, atas dorongan rekan, seorang artis di Yogyakarta. 

Azis kala itu sudah punya usaha bingkai atau frame kacamata, tapi lesu imbas pandemi.

“Kalau bisa membikin kacamata kayu apalagi seorang difabel itu branding personalnya lebih kuat, saya diajari sampai bisa, sekitar 3 bulan,” kata Azis.

Azis lantas mengajak dua teman difabel untuk membantu produksi kacamata kayu. Ini adalah salah satu motivasinya untuk tetap berbisnis, yakni membuka lapangan kerja bagi rekan-rekannya.

Azis juga mengaktifkan kembali Komunitas Difabel Mandiri (KDM) yang mati suri selama lima tahun.

“Saya merasa belum bisa menggaji teman-teman, jadi (mereka) bukan karyawan tapi tim. Teman-teman ini kan ga ada kegiatan,” ujarnya.

Baru sedikit penyandang disabilitas yang terserap di pasar kerja, meski Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 sudah menetapkan standar minimal jumlah pegawai disabilitas.

“Perusahaan itu wajib mempekerjakan minimal 1%. Cuma kan ada seleksinya,” tutur Azis.

Baca juga: Unjuk Gigi Anak Down Syndrome Melenggang di Catwalk

Berbagai bentuk frame kacamata dari kayu jati dan sonokeling dibuat Azis dan teman difabel mengikuti tren bingkai yang diminati masyarakat. (Dok: KBR/ Valda)

Tanpa tim yang cekatan, produksi kacamata kayu tak bakal lancar. Tiap anggota tim ditempatkan sesuai kemampuan. Ada yang bertugas memotong desain, mengamplas, dan menyatukan bagian kacamata. Semuanya di bawah supervisi Azis.

Pemilihan bahan tentu berpengaruh pada kualitas produk. Azis memilih kayu jati dan sonokeling karena mudah diolah dan cocok untuk bingkai kacamata. Ia juga ingin menunjukkan kesan artisan karena hanya dibuat satu desain untuk satu orang.

“Desainnya mungkin sama dengan frame yang ada, cuma bisa disesuaikan dengan bentuk wajah, dan kalau dari kayu kan kesannya nyeni ya,” ujar Azis.

Azis telah memproduksi 100 buah bingkai kacamata kayu dengan berbagai variasi. Harganya dibanderol Rp300 hingga 350 ribu.

“Kalau kacamata biasanya sebulan. Sebulan (omset) biasanya dapat Rp5 juta, itu kotor, bersihnya Rp2,5 juta,” katanya.

Laki-laki asal Semarang berusia 43 tahun ini sangat memperhatikan kualitas produk dan layanan. Kacamata buatannya ringan tetapi awet dengan garansi seumur hidup.

“Kalau patah ya dibawa ke sini aja, itu lebih mudah nyervis-nya. Kita lem, kita amplas lagi, jadi baru lagi,” jelas Azis.

Baca juga: Sepeda Adaptif untuk Permudah Akses Difabel

Salah satu inovasi Kelompok Difabel Mandiri adalah kursi antigravitasi, idenya didapatkan saat Azis menonton tayangan Youtube. (Dok: KBR/ Valda)

Enggak berpuas diri, Azis dan Komunitas Difabel Mandiri ingin merambah produk lain, mulai dari kotak tisu hingga kursi antigravitasi. Inovasi adalah kunci, bagi Azis.

Beberapa ide Azis dapatkan setelah menonton tayangan di Youtube. Setelah berdiskusi dan disetujui tim, mereka menjajal pembuatan prototipenya. 

“Memang aku penginnya produk masuk ke pasaran,” kata Azis

Saat peluncuran, kacamata bikinan Azis direspon positif. Berbagai pameran, mulai dari tingkat kecamatan pun jadi langganan Azis memasarkan produknya.

Azis pun tak gentar berkompetisi. Dua tahun lalu, Komunitas Difabel Mandiri terpilih dalam program pendampingan PT Astra Difabel Bisa.

Pada 2022, mereka diganjar nominasi Ormas-Community Award kategori ekonomi.

“Ya senang, ada kebanggaan buat teman-teman KDM KDM. Pada ga nyangka, wong ga pernah tampil ke mana-mana tapi kok ujug-ujug, kelase kelas nasional,” kenangnya.

Baca juga: Tepis Stigma Janda Dipandang Sebelah Mata

Sejak lama Aziz Abdullah Bajasud bercita-cita membuka lapangan pekerjaan untuk difabel agar rekan-rekannya bisa mandiri. (Dok: KBR/ Valda)

Perjuangan Azis dan rekan-rekannya berbuah manis. Komunitas Difabel Mandiri diajak kolaborasi sebuah hotel mewah di Semarang.

"Hotel Gradika mengutamakan UMKM difabel. Sandal harga Rp10 ribu (dipesan) 5.000 pcs setahun, tapi kalau harga Rp65 ribu, hanya 300 pcs. Itu untuk customer hotel,” ucapnya bangga.

Tak banyak difabel yang bisa mengecap kesuksesan seperti Azis. Peran pemerintah sangat krusial untuk memfasilitasi difabel agar mandiri dan berdaya. Misalnya bisa mempromosikan produk-produk UMKM ke luar Semarang .

“Pasar kita persaingannya ketat, kalau pemerintah support-nya setengah-setengah ya percuma,” tutupnya.

Penulis: Valda Kustaini

Editor: Ninik Yuniati