Article Image

SAGA

Komunitas Biboki Lestarikan Tenun Ikat Tradisional

"Odilia Bastian anak muda dari Nusa Tenggara Timur mencoba melestarikan tenun ikat khas wilayahnya dengan menghidupkan sebuah komunitar bernama Komunitas Biboki."

Penenun dari Komunitas Biboki memperagakan pembuatan kain khas daerah di acara Meet The Makers di Jakarta. (Dok: KBR/ Valda)

KBR, Jakarta - Odilia Chansera Bastian antusias menjelaskan beragam motif kain tenun ikat khas Biboki, Nusa Tenggara Timur. 

Lia, demikian ia akrab disapa, merupakan pendiri Komunitas Biboki, yang fokus pada pelestarian kain tradisional khas NTT, khususnya dari Biboki. 

Akhir November 2022 lalu, Lia dan Komunitas Biboki berpartisipasi dalam pameran yang digelar Meet the Makers Indonesia. 

Mereka menggelar workshop pembuatan kain tenun ikat Biboki. Para peserta bisa mencoba menggunakan peralatan tenun tradisional khas NTT. 

Perkenalannya dengan kain tradisional dimulai sejak 2018 silam, saat Lia tengah merampungkan tugas kuliah.

Kala itu, ia sering meminta bantuan Yovita Meta-Bastian, pendiri komunitas Tafean Pah, yang juga bibinya.

Baca juga: Sulam Arguci: Jaga Budaya, Berdayakan Warga

Penenun dari Komunitas Biboki menunjukkan cara menggulung benang untuk aksesoris tote bag. (Dok: KBR/ Valda)

Yayasan Tafean Pah- yang artinya Rumah Dunia- fokus memberdayakan penenun perempuan di Kecamatan Biboki.

Pada 2020, Lia sempat menjadi asisten Yovita, mengurusi pengajuan proposal ke lembaga Prince Claus dari Belanda. Dana bantuan akan digunakan untuk memperbaiki toko seni Tafean Pah.

“Saya bantu mengurus file-file-nya dia, dananya keluar cair di sekitar Maret 2020, sementara renovasi belum selesai mungkin sekitar 90% lah mau selesai, beliau jatuh sakit dan di Juli 2020 beliau meninggal,” cerita Lia

Tafean Pah bak kehilangan nahkoda usai kepergian Yovita. Kegiatan di belasan desa dampingan, vakum. Pandemi memperparah situasi.

“Mama Yovita punya banyak kelompok di desa dan saya sama sekali tidak tahu,” katanya

Lia tergugah meneruskan perjuangan Yovita. Agar lebih lincah, ia mendirikan komunitas baru, Komunitas Biboki, pada November 2020.

“Terus Meet the Makers mau bikin proposal nih, Biboki butuh apa untuk keadaan Covid sekarang? karena pandemi, saya pikir 'oh butuh benang',” ujar Lia.

Baca juga: Kopi Qertoev, Secangkir Kisah Perjuangan dan Nasionalisme dari Gayo (Bagian 1)

Kain-kain khas Biboki yang dipamerkan di acara Meet the Makers. (Dok: KBR/ Valda)

Bantuan pertama datang dari Meet the Makers, komunitas seniman dan desainer. Bantuan berupa benang untuk ratusan perempuan penenun di Biboki agar tetap bisa berproduksi.

Lia turun langsung membagikannya ke desa-desa dampingan. Ia tergugah begitu menyaksikan semangat para penenun.

Pada November 2020 Lia selama 3-4 hari berkeliling desa membagikan benang. Banyak desa berada di tempat yang susah dijangkau. Lia meminta bantuan ayah dan kakaknya untuk membawa bantuan tersebut.

“Saya berpikir cuma bagi benang, tapi waktu lihat mereka itu kayak 'Oh ternyata Mama Yovita tidak benar-benar meninggal ya, kita masih hidup ya', maksudnya cintanya masih ada,” katanya.

Lia mengubah warna komunitas dengan merekrut anak-anak muda di Komunitas Biboki. Berbagai terobosan dan inovasi muncul, salah satunya memasarkan tenun tradisional lewat platform daring.

Sebagai millenial, Lia sadar pentingnya sosial media dan e-commerce sebagai media pemasaran. Selain berjualan di toko seni, Komunitas Biboki menampilkan kain tenun dan tote bag di akun instagram @biboki.art.shop.

“Sekarang e-commerce penting juga karena kita bisa sambil promosi. Walaupun tenun, walaupun ini kain dari desa, tapi bisa dibikin bagus, bisa mengikuti zaman juga,” ucap Lia.

Baca juga: Kopi Qertoev, Secangkir Kisah Perjuangan dan Nasionalisme dari Gayo (Bagian 2)

Contoh tas tote buatan Komunitas Biboki untuk menarik konsumen dari kalangan muda. (Dok: KBR/ Valda)

Tenun khas Biboki yang beragam, membuat kain tradisional ini makin dikenal. Pasarnya pun meluas ke Jawa dan Bali. Harga selembar tenun bisa mencapai Rp2 juta - Rp2,5 juta.

Untuk menggaet pasar anak muda Lia berinovasi dengan menempel maupun menjahit kain tenun di tote bag.

Dalam sebulan, ia bisa menjual 2-3 lembar kain dan beberapa tote bag, dengan total omset rata-rata Rp7-10 juta.

“Dulu tas yang diproduksi bentuknya begitu-begitu saja, tapi sekarang saya lebih suka bikin tas, kalau saya suka, lebih ikuti perkembangan zaman,” tuturnya.

Geliat ini diharapkan bakal jadi magnet bagi generasi muda Biboki sebagai pewaris tenun. Lia sadar belum banyak anak muda yang sadar pentingnya menjaga warisan budaya daerah.

“Budaya itu sesuatu yang penting yang harus kita pelajari, yang harus kita jaga tanpa harus kita ubah. Kasihan banget, lama-kelamaan itu bisa hilang kalau tidak ada orang mau belajar,” ucap Lia.

Baca juga: Jejak Bagus Priyana Rawat Sejarah Magelang

Odilia Bastian bercita-cita bisa merangkul sebanyak mungkin anak muda NTT sebagai pewaris tenun tradisional. (Dok: KBR/Valda)

Selama tiga tahun lebih menggeluti dunia tenun, Lia kadang dihinggapi rasa lelah. Tak jarang ingin menyerah. Bahkan, sempat terpikir oleh Lia untuk merantau dan mencari pekerjaan lain. Namun, pada akhirnya, semua itu tak mampu melampaui cintanya pada tradisi.

Benaknya sudah dijejali dengan berbagai rencana pengembangan. Ia ingin membuat desain baju dari tenun khas NTT.

“Dari dulu pengin jadi desainer tapi belum terwujud. Tapi sekarang pas belajar tenun, pengin bisa bikin karya dari tenun yang bagus yang bisa dipakai,” cerita Lia

Lia juga bercita-cita bisa merangkul sebanyak mungkin anak muda NTT sebagai pewaris tongkat estafet pelestari tenun tradisional.

“Anak-anak muda di desa harapannya semoga tidak selalu merantau. Di desa mereka bisa belajar menenun. Mereka jadi bisa punya keterampilan, bisa menghasilkan uang juga,” pungkasnya.

Penulis: Valda Kustarini

Editor: Ninik Yuniati