BERITA

Natal di Aceh, Umat Bicara Intoleransi

Natal di Aceh, Umat Bicara Intoleransi

KBR, Banda Aceh - Dikenal sebagai provinsi yang menerapkan hukum Syariat Islam, Aceh sering dipersepsikan sebagai daerah yang tak ramah dengan pemeluk agama lain.

Namun hal itu dibantah keras oleh pastor Harold Harianja OFM Cap yang memimpin perayaan malam Natal di Gereja Katolik Hati Kudus, Senin malam (24/12/2018) di Banda Aceh.

Pastor yang berasal dari Medan, Sumatera Utara itu mengatakan perayaan Natal di Aceh berlangsung aman dan sangat damai.

Dia menilai masyarakat Aceh sangat toleran dengan agama apapun. Sebagai umat Islam yang mayoritas, kata pastor Harold, masyarakat Aceh tidak pernah mengganggu maupun mengusik kegiatan-kegiatan umat Iristiani di Aceh.

"Tidak ada kesan kami jadi warga negara nomor dua, nomor tiga, bahkan kami di sini sungguh-sungguh dihormati. Masyarakat Aceh sangat toleran. Perbedaan itu nampaknya, oleh masyarakat Aceh dianggap sebagai suatu kekayaan, suatu keindahan juga," terangnya.

Perayaan natal tahun 2018 di Aceh kali ini mengangkat tema “Yesus Kristus adalah Hikmat dari Allah untuk Kita”.

Ratusan jamaat Gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh tampak menjalani ibadah dengan khidmat. Ornamen-ornemen Natal, seperti halnya pohon Natal, berdiri megah di sudut kiri bangunan gereja.

Baca juga:

Kota Intoleran

Ketua panitia Natal Baron F. Pandiangan, S.Ag., M.Th, ketika ditemuai jurnalis menyampaikan kekecewaannya terhadap hasil survey sebuah lembaga yang menyebut Banda Aceh sebagai kota intoleran.

Baron memastikan umat Kristiani dari berbagai kabupaten dan kota di Aceh sangat diterima dengan baik.

"Apa indikatornya survei itu? Beberapa hari ini saya, apa namanya itu, membalas komentar-komentar di Facebook. Saya katakan kami sudah sekian lama tinggal di Aceh ini, dan tidak merasa ada gangguan, ketidak nyamanan. Sementara orang di luar Aceh ngomongnya macam-macam itu, apa artinya? Saya siap menjawab di mana yang mereka tunjuk tidak toleran itu," tegas Baron.

Baron juga menyampaikan, jika indikator larangan perayaan tahun baru di Banda Aceh dianggap sebagai bentuk pengekangan terhadap agama Katolik, dia menilai penilaian tersebut luput melihat subtansi seruan yang dikeluarkan pemerintah kota Banda Aceh tersebut.

"Orang Katolik, kami ini, sangat terganggu dengan terompet-torompet itu. Karena kami umat Katolik di malam peralihan tahun itu, bapak dalam keluarga wajib memimpin ibadah. Malam keheningan. Nah, disitu momen keluarga melakukan evaluasi sambil maaf-maafan dan menyampaikan visi misi ke depan tahun barunya. Jadi kami sepakat betul dengan seruan itu. Artinya Walikota melindungi ritual ibadah kami," jelasnya.

Hal senada juga dikatakan Verawati (24) salah seorang umat Kristiani asal Papua yang sedang menumpuh pendidikan di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Vera berpendapat, perayaan Natal di daerah yang menerapkan hukum Syariat Islam ini penuh dengan kedamain dan tak ada gangguan.

"Nyaman sekali perayaan Natal di sini," katanya.

Namun perempuan yang kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa ini mengaku sedih, karena pada perayaan Natal tahun ini tidak dapat berkumpul dengan keluarga di Papua.

"Pingin pulang sih tapi sa tidak bisa karena tidak libur kuliah," keluhnya.

Senin (24/12/2018) pukul 21.15 WIB, Kapolda Aceh Rio S Djambak dan Pangdam Iskandar Muda meninjau pengamanan malam Natal di gereja Katolik Hati Kudus Banda Aceh.

"Pengamanan Natal dan tahun baru di seluruh Aceh ada 1050 anggota. Itu tergabung dengan TNI dan Satpol PP juga. Insyaallah saya pantau di lapangan sampai saat ini aman," kata Rio.

Editor: Agus Luqman 

  • kota intoleran
  • syariat islam
  • Setara Institute
  • Natal 2018
  • Toleransi
  • Intoleransi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!