OPINI

Mayoritas Minoritas di Kuburan

Ini Jogjamu Intoleran

Bunga di pusara Albertus Slamet Sugihardi sudah mulai kering. Namun hunian terakhirnya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jambon, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta  masih hangat dibicarakan banyak orang, termasuk di media sosial.

Albertus meninggal awal pekan ini. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum desa yang selama ini diisi mayoritas muslim. Hanya karena Albertus beragama Katolik, simbol salib yang tertancap di pusaranya dipotong warga sekitar dengan gergaji. Lokasi liang lahat yang semula berada di tengah, juga digeser ke pinggir. Keluarga Albertus bahkan tidak diperkenankan melakukan doa-doa sejak pemberangkatan jenazah, di rumah duka sampai setelah pemakaman usai. 

Para tokoh dan warga sekitar mengklaim itu semua sudah disepakati dengan keluarga almarhum. Tidak boleh ada simbol-simbol agama lain di makam umum itu, karena mayoritas warga beragama Islam. Jika tidak setuju, silakan dikubur di pemakaman lain.

Formalitas relasi mayoritas dan minoritas beragama , membuat keluarga Albertus dan banyak umat lain tidak bisa beragama dengan utuh. Padahal, bagi keluarga Albertus dan sebagian besar umat Kristiani, simbol keagamaan seperti salib dan ritual doa saat kelahiran, pernikahan hingga kematian merupakan bagian dari ekspresi menjalankan kehidupan agama mereka. Dikotomi ini juga mengkotak-kotakkan umat berdasarkan angka. Hak kebebasan seolah tergantung besar kecilnya jumlah umat. 

Menggaungkan toleransi umat beragama  namun dengan mempertahankan pemisahan masyarakat atas nama mayoritas dan minoritas, adalah omong kosong. Toleransi semu. 

  • Intoleransi
  • Toleransi
  • minoritas
  • Diskriminasi
  • Yogyakarta
  • minoritas beragama

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!