Jalan Tseung Kwan O, Hong Kong. Foto: CNN Indonesia

SAGA

Dari Hong Kong Mereka Terjerat Terorisme

Rabu 20 Des 2017, 14.55 WIB

KBR, Jakarta - Pesan singkat untuk Djoko mampir ke gawai cucunya beberapa hari sebelum Lebaran tahun lalu. Di layar telepon genggam itu, tak tertera nama, hanya deret angka yang diawali +852. Tetapi Djoko sudah tahu pesan itu dari Lia –putri sulungnya. 

Lia punya adik, Ami. Keduanya sama-sama pernah bekerja sebagai buruh migran. Tetapi, hanya Lia yang betah bekerja jauh dari rumah. Setelah dari Malaysia, ia bekerja di Hong Kong selama tujuh tahun.

Sejak SMS itu muncul, Djoko tak lagi beroleh kabar dari Lia. Ia hanya bisa menunggu telepon genggamnya berdering sekali lagi, sambil berharap anaknya itu memberi kabar. 

“Ini ada nomornya, tetapi tidak bisa dihubungi. Kalau di-missed call tidak bisa, saya hapus,” begitu cara Djoko menghubungi Lia. 

Dan kabar yang ditunggu berbulan-bulan itu akhirnya datang. Lia kembali, tetapi tak sendiri. Ia diantar Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88) ke tempat tinggal adik ibunya, Mari, pada Februari 2017. Kata Mari, jika Lia tak memperkenalkan diri, ia takkan mengenali ponakan yang sudah lama tak dijumpai itu.

“Tidak ada telepon, tidak ada apa-apa. Langsung turun dari mobil di depan. Aku pun tidak tahu itu dia. Tidak kelihatan wajahnya, matanya ditutup. Aku yang tanya, kamu siapa? Aku Lia. Yo dibuka, aku bilang. Terus dibuka,” kenang Mari.

Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan Perlindungan Kerja Indonesia (BNP2TKI), Lia mengantongi kontrak kerja di Hong Kong sampai 27 Agustus 2016. Tapi kontrak itu tak selesai. Lia memilih menyeberang ke Suriah lewat Turki –negera yang hanya berbatasan 11 jam perjalanan darat. 

Tak dinyana, perbatasan dua negara tersebut tak lagi longgar. Lia tertahan selama setahun di Turki. Ia terkatung-katung sebelum akhirnya dideportasi bersama belasan warga Indonesia lain pada Februari 2017. 

Kami menemui Djoko dan Ami pada Oktober lalu di rumah selebar empat meter dengan panjang sekurangnya 15 meter di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ketika itu, kami berharap bisa bertemu Lia. Tetapi perempuan 32 tahun itu tak lagi tinggal.

“Malam sebelum pergi, cuma bilang mau ikut majikannya ke Bandung. Paling 2-3 minggu terus balik lagi. Itu sebelum Puasa,” ingat Ami ketika kami menanyakan keberadaan Lia.

Ami juga mengatakan seperti apa hari-hari kakaknya di Turki.

“Lia di Turki cuma baca Al-Quran, terus masak-masak. Begitu saja. Kumpul-kumpul sama temannya,” tukas Ami. 

Ia juga bercerita, ketika masih berada di Hong Kong setiap bulan Lia mengirim uang Rp1,5 juta-Rp1,7 juta ke Indonesia. Kiriman seketika macet selepas Lia pergi ke Turki. 

red

(Sekretaris Desa Surjo, Teguh Kurniawan. Foto: Tim KBR)

Selain Lia, deportan lain yang juga tak diketahui jejaknya ialah Aya. Warga Batang, Jawa Tengah, ini sebelumnya pernah menempuh perjalanan ribuan kilometer dari Hong Kong untuk bergabung dengan milisi ISIS. Tapi usahanya gagal. Aya dipulangkan dari Turki pada Januari 2016. 

Kepada Sekretaris Desa Surjo, Teguh Kurniawan, TKI yang telah bekerja di Hong Kong selama empat tahun ini mengaku tidak lagi bisa berbaur dengan warga desa. Pengakuan tersebut didapat saat Aya memeroses perekaman kartu tanda penduduk di Balai Desa. 

“Dia sampai Turki itu naik kereta dari Hong Kong. Saya tanya kok tahu lokasi itu? Kok tahu kelompok itu? Dapat informasi dari mana? Kata dia, dari Facebook. Jadi di situ,” terang Teguh saat kami temui di Balai Desa. 

Teguh sempat meragukan jawaban Aya. Tetapi ia tak bertanya lebih jauh bagaimana bisa menempuh bentang alam pelbagai negara yang memisahkan Hong Kong dengan Turki. 

Tapi keterangan itu diragukan seorang pejabat Imigrasi. Menurutnya, potensi kegagalan perjalanan menuju Turki dengan jalur darat sangat besar karena harus melalui pemeriksaan visa di beberapa negara. Jalur paling mungkin yang bisa digunakan adalah menggunakan penerbangan langsung ke Turki, lalu menyeberang ke Suriah.

Namun begitu, pernyataan yang paling membuat mata Teguh terbelalak adalah saat Aya meminta buku terlarang milik ulama yang tewas diberondong peluru oleh tentara Dinasti Faruk Mesir, Sayyid Quthb. Karena khawatir, Teguh tak mengabulkan permintaan itu. Dia tak ingin Aya mendalami ajaran ekstrem di kampung. 

Usai menuding Teguh, Aya ngeloyor begitu saja. Yang dikatai pun hanya bisa mengetap bibir, sambil meredam keinginan untuk melanjutkan percakapan. Saat itu, Teguh masih punya pekerjaan lain, mengawasi pembuatan saluran air desa. Ia tak berpikir bahwa kali itu menjadi pertemuan terakhirnya. 

Di rumah, Aya, pamit kepada bapaknya untuk membeli buku ke Pekalongan. Akan tetapi, perempuan kelahiran 5 Agustus 1991 ini tak lagi kembali. Informasi yang kami peroleh, Aya bertolok ke Poso, Sulawesi Tengah.

“Saya bilang sudah di rumah saja tidak usah ke mana-mana. Tapi katanya di rumah tidak ada kerjaan. Sedangkan kerja di sawah, tidak mau,” ungkap Djoko.

Berdasarkan catatan yang kami kumpulkan, sedikitnya ada tiga buruh migran Indonesia di Hong Kong yang berusaha menyeberang ke Suriah. Antara lain Lia, Aya, dan Najma. Nama terakhir, seperti yang ditulis South China Morning Post, berangkat dalam keadaan hamil tujuh bulan pada akhir Februari 2015. Ia menyusul suaminya Abu Arianto. 

Keduanya bersama lima orang lain, dimana empat di antaranya yang perempuan berfoto di Hong Kong. Foto itu bercaption “Memories at Masjid TST Hong Kong.” 

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, tak menyangkal banyak warga Indonesia yang tertangkap di Turki karena hendak menyeberang ke Suriah. 

“WNI yang dicegah ke Suriah dari Turki banyak. Tetapi data tidak menunjukan mereka adalah TKI Hong Kong," ujar Iqbal. 

Ia pun menyebut, tak nama Aya ada dalam data 430 nama TKI yang berangkat ke Suriah.  

red

(Total jumlah BMI di Hong Kong: 154.073 (2016). Dari jumlah tersebut, 99 % perempuan dan bekerja disektor rumah tangga. Foto: CNN Indonesia)

Tetapi Hong Kong menitipkan cerita berbeda pada kami. Oleh salah satu buruh migran Indonesia di sana, sebut saja Ina, kami diantar ke sebuah taman yang diyakini menjadi tempat kumpul pendukung ISIS. Lokasinya di Kowlon Park yang berada di belakang Masjid Tsim Sha Tsui.

"Ngumpulnya kadang di taman atas sini. Di samping masjid ini dulu kumpulnya para penganut kayak (ISIS) gitu," ujarnya. 

Ina yang kami temui Oktober lalu mengaku sempat diajak bergabung dengan kelompok ISIS. Bermula dari kontak di media sosial, berlanjut dengan ajakan ikut pengajian offline di akhir pekan.

"Ada grup WhatsApp, nanti ada ustadnya yang menganut pemahaman itu (ISIS). Mereka mencari teman begitu," imbuhnya.

Tetapi Ina menolak gabung. Ia menganggap pandangan mereka tak sejalan dengan pemahaman yang ia bawa dari kampung. Pemahaman itu pula yang ia yakinkan kepada majikan. 

"Kok orang ISIS itu mengapa pakai (cadar) seperti kamu, tetapi membunuh orang? Itu hanya mengaku-ngaku Islam. Islam nggak boleh menyakiti dari ucapan, apalagi (secara) fisik,” begitu Ina mengulangi percakapan dengan majikan.

Pertanyaan majikan Ina terlontar di tengah isu keterlibatan buruh migran Hong Kong dalam kelompok pro-ISIS. Sebabnya adalah laporan Insitute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Juli lalu yang menyebut 45 orang dari 156 ribu BMI terlibat dalam aktivitas pro-ISIS. Jumlah tersebut bertumbuh sejak kelompok ini terdeteksi pada awal 2015. Konsulat Jenderal Republik Indonesia untuk Hong Kong, Tri Tharyat tidak menampik keberadaan kelompok tersebut.  

"Kalau kita lihat dari tiga kasus terakhir, ideologi para wanita yang ditangkap terakhir bahkan sudah siap melakukan aksi bom bunuh diri. Itu beberapa hari sebelum yang bersangkutan ditahan oleh Densus 88,” sambungnya.

Perempuan yang dimaksud Tharyat adalah Ika Puspitasari, TKI Hong Kong yang sudah bekerja selama 10 tahun. Pada Oktober lalu, ia divonis empat tahun penjara lantaran mendanai rencana terorisme dari Hong Kong. 

Sedangkan, buruh migrant lain yang dicokok Densus 88 adalah Anggi. Ia ditangkap tak berapa lama setelah dideportasi dan dipulangkan ke Klaten, Jawa Tengah. 

Penangkapan tersebut menyisakan tanya bagi keluarga. Paman Anggi, Susilo, mengaku tak mengerti apa penyebab ponakannya ditahan. Yang ia tahu, Anggi dipulangkan lantaran sudah dinyatakan tidak bersalah melakukan tindakan terorisme. 

“Anggi biasa aja anaknya sebelum ke Hong Kong. Dia tidak ada cerita apa-apa. Tahu-tahunya dia diantar oleh Densus dan polisi banyak. Pakai cadar,” ujar Susilo. 

Merujuk kasus yang menjerat empat buruh migran perempuan itu, Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Alfindra Primaldhi, menyatakan kondisi faktual mengenai perang di Suriah turut memengaruhi kadar ketertarikan seseorang terhadap ISIS. 

Berdasarkan penelitiannya, tak sedikit simpatisan ISIS yang berhasil menyeberang ke Suriah namun pulang dengan kecewa. Dengan kata lain, gambaran Suriah tidak seperti yang mereka bayangkan selama ini.  

red

(Pengajian buruh migrant di Masjid Tsim Sha Tsui. Foto: CNN Indonesia)

Pengalaman langsung seperti itulah yang tidak didapat Lia, Aya, dan bahkan Anggi juga Ika. Gambaran mereka tentang Negara Islam hanya didapat dari internet, juga media sosial.

“Mereka yang dikembalikan itu tidak pernah sampai Suriah. Nyarislah. Jadi pengetahuan mereka terhadap apa yang terjadi di Suriah itu didapatkan dari sumber-sumber lain. Misalnya dari gosip atau dari cerita-cerita di media sosial yang tidak ada pengalaman langsung,” ungkapnya.

Paparan internet ternyata pas dengan pola kerja mereka sebagai pembantu rumah tangga di Hong Kong. Karakteristik pekerjaan ini pula yang membuat mereka, lebih banyak menggunakan media sosial untuk berkomunikasi. 

“Pekerja domestik yang 24 jam berada di rumah, (untuk) keluar harus izin ke majikan. Sehingga mereka lebih banyak berkomunikasi melalui medsos,” ungkap Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal.

Tak Tercatat

Meski beberapa aktivitas terlacak di dunia maya, tetapi jejak kehadiran kelompok BMI Hong Kong pendukung ISIS di dunia nyata hanya beredar dari mulut ke mulut. Eni Lestari, Ketua Internasional Migrant Alliance, menyebutkan isu ini sudah beberapa kali muncul, tetapi sulit dikonfirmasi.

“Kami dengar (kehadiran BMI pro-ISIS) dua atau tiga tahun yang lalu. Dia (orang) yang melaporkan itu selalu orang ketiga (atau) kempat. Nggak bisa dilacak lagi, itu yang membuat kami tidak bisa mengkonfirmasi keberadaannya,” tuturnya saat kami wawancarai, Minggu 1 Oktober 2017 lalu.

Di tengah sumirnya kabar, laporan IPAC yang menyebutkan 45 orang BMI Hong Kong terlibat dalam berbagai aktivitas pro-ISIS membuat Eni tersentak. Menurutnya, penyebutan angka tersebut tidak merefleksikan kondisi riil di lapangan.

“Hakikatnya laporan (IPAC) itu tidak merefleksikan kenyataan di lapangan.  Ingat, satu kasus orang yang terlibat dengan isu radikalisme itu sudah menjadi berita internasional, apalagi ada angka (45 orang),” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Muhammad Iqbal memilih meletakkan persoalan radikalisasi terpisah dengan status buruh migran. 

“Proses radikalisasi itu terjadi di mana-mana, bukan hanya terjadi di kalangan buruh (migran). Yang saya tidak setuju adalah stigmatisasi bahwa teman-teman TKI sudah terpengaruh FTF (Foreign Terrorist Fighter),” ungkapnya kepada kami akhir Agustus lalu.

Dia juga menyebut pemerintah telah berupaya agar buruh migran Indonesia di pelbagai negara tidak bergabung ke kelompok ekstrem. 

“Proses pembinaan masyarakat di luar negeri itu jadi prioritas kita. Kita harus memastikan mereka fokus bekerja agar dapat melanjutkan hidupnya di daerah asalnya,” tambahnya. 

Harapan itu pula yang diinginkan keluarga para buruh migrant seperti Djoko, ayah Lia. 

“Sebenarnya dia ingin mengubah nasib, tetapi ya tidak tahu. Saat berangkat rumahnya masik kayak begini, pulang masih kayak gini. Belum ada perubahan,” ungkapnya. 

 

Liputan ini hasil kolaborasi KBR dengan CNN Indonesia dan Jaring.id