SAGA

[SAGA] Pelarian yang Terempas di Kampung Cisarua

[SAGA] Pelarian yang Terempas di Kampung Cisarua


KBR, Jakarta - Sekira tiga ribuan pengungsi asal Afghanistan beretnis Hazara, mendiami sebuah perkampungan kecil di Cisarua, Bogor sejak tahun 2000. Mereka di sana lantaran di tanah lahirnya mereka kerap jadi incaran kekejaman kelompok Taliban –yang berkuasa sejak 1996. Keluarga Mohammad Baqir, adalah salah satunya.

Mulanya, Baqir sekeluarga mengungsi ke negara tetangga; Pakistan. Tapi, setelah beberapa dekade, keadaan tak kunjung membaik. Celaka, ayah Baqir mati dibunuh kelompok Taliban saat bekerja di toko rempah-rempah miliknya. Bahkan, tiga toko yang menjual teh di sekitarnya juga jadi target serangan. Segerombolan pelaku, memberondong tembakan secara membabi-buta.


“Mereka datang ke toko dan mulai menembaki ayah saya. Saat kejadian itu ayah saya terkena tujuh luka tembak di sekujur tubuhnya. Tubuhnya dipenuhi darah dan saya tidak bisa melupakan kejadian itu. Ayah terbaring di depan saya dan pakaiannya dipenuhi darah. Dia telah mengembuskan nafas terakhirnya,” ujar Baqir.


Kematian ayahnya menjadi alasan bagi Baqir sekeluarga angkat kaki dari Pakistan. Mereka lantas menjual apapun yang tersisa; rumah, toko, hingga tanah untuk kembali ke Afghanistan –berharap kehidupan lebih baik.


Tapi nahas, tanah milik ayah Baqir dirampas seorang anggota kelompok Taliban. Padahal rencananya, tanah itu akan dibuat rumah bagi delapan anggota keluarganya.


“Saat itu terjadi konflik dengan Taliban. Dan Taliban telah memfoto kakak saya yang telah menjadi sandera, karena itulah kami harus segera pindah dari Afghanistan.”


Selama hampir sepekan, keluarga Baqir bersembunyi di hotel. Mereka was-was, kalau-kalau Taliban menemukan dan membunuhnya.


Ketika itulah, pemuda berusia 17 tahun ini disarankan seseorang untuk pergi dari Afghanistan menggunakan jasa penyelundup.


Dan tanpa pikir panjang, Baqir menerima tawaran tersebut. Uang yang harus dirogoh sekitar 5500 dollar atau Rp72 juta per kepala.


“Paspor dibuat oleh penyelundup, tiket pesawat dipesan oleh penyelundup, semuanya diurus oleh penyelundup. Satu-satunya hal yang kita lakukan adalah memberi mereka uang. (Berapa?) Itu tergantung, 5500 USD per orang. Ya ini sangat mahal, tapi kami tidak punya pilihan, kami harus memberikannya. Karena jika tidak, nyawa kami taruhannya.”


Pertengahan tahun lalu, Baqir bersama tujuh keluarganya; sang ibu, dua adik perempuan, dua kakak lelakinya bersama kakak ipar dan keponakan, terbang ke Malaysia dan mendarat di Indonesia.


Mereka pun menetap di perkampungan para pengungsi di Cisarua, sejak Oktober 2015.


Di Cisarua, ribuan pengungsi itu tak dibolehkan bekerja. Beruntung ada sekolah informal yang dibuat oleh para pengungsi dan dari sejumlah organisasi kemanusiaan. Mereka mengajarkan anak-anak itu menggambar dan bahasa Inggris.


Baqir, jadi salah pengajar di sekolah tersebut dan aktif sebagai sukarelawan untuk pengungsi.


“Saya mengajar di komunitas, jadi saya kerja sebagai sukarelawan. Ini sangat baik untuk saya, menjaga agar tetap sibuk. Karena kita tidak diizinkan pemerintah Indonesia untuk beraktivitas apapun, untuk bekerja.”


Sementara untuk hidup sehari-hari, Baqir sekeluarga mengandalkan tabungan dari hasil menjual harta di Pakistan.


Dan mereka tak tahu sampai kapan tabungan itu akan dapat menopang hidup mereka. Tapi syukurnya, para pengungsi masih mendapat bantuan dari beberapa lembaga donor. Hanya saja, sokongan itu tak mudah diperoleh, karena jumlah dana dari lembaga donor yang terbatas, proses seleksi pun menjadi sangat ketat.


Namun kalau kehabisan uang, tak jarang para pencari suaka memilih ditahan di rumah detensi imigrasi (rudenim).


“Para pencari suaka jika kehabisan uang, mereka pergi ke rumah detensi. Tapi sayangnya saat ini, sejak tahun lalu, rumah detensi juga sudah penuh. Mereka hanya punya dua pilihan, dideportasi kembali ke Afghanistan atau Pakistan dan terbunuh atau tetap di sini mati dengan kemiskinan, tanpa makanan.”


Berbagi Kisah Lewat Media Sosial

Status Baqir sekeluarga kini pencari suaka. Tahun depan, mereka bakal diwawancara UNHCR untuk mendapat sertifikat sebagai pengungsi.

Dan setelahnya, mereka masih tak tahu kapan akan ditempatkan di negara ke tiga. Tapi sial, karena tak ada jaminan bahwa mereka lolos dari UNHCR.


Kiranya untuk mengusir bosan, para pengungsi memiliki website yang isinya kisah-kisah mereka sendiri.


“Kami telah memulai proyek seperti yang saya katakan padamu. Sebuah proyek atas nama para pengungsi di Indonesia. Kami bekerja untuk social media juga. Kami membuat website, kami membuat laman Facebook, membuat Twitter dan Instagram. Semua orang dapat menemukannya di sosial media ini. Tujuan dari proyek ini untuk berbagi kisah yang tak terungkapan dari kehidupan pengungsi di sini.”


Lewat website ini, Baqir ingin mengubah pandangan dunia terhadap pengungsi.  


“Kami ingin mengubah persepektif dunia, mereka harus mengubah pandangannya. Kami di sini bukan untuk berwisata, bukan, kami punya banyak masalah. Kami mengalami kesulitan, kami dipaksa meningalkan negara kami, bangsa kami, semua hal. Rumah, kehidupan, kesuksesan, kebahagiaan semuanya, sekolah. Kami datang kemari bukan karena keinginan sendiri, kami dipaksa ke sini,” tutur Baqir.


Baqir pun punya mimpi, bisa melanjutkan sekolah dan menjadi seorang akuntan dan berwiraswata suatu saat nanti.




Editor: Quinawaty

  • imigran
  • Cisarua
  • pengungsi afghanistan
  • mohammad baqir
  • UNHCR

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!