SAGA

[SAGA] Koperasi Swara, Penyangga Hidup Waria

"Dari koperasi ini, teman-teman waria tak lagi berutang ke rentenir. Anggota yang meminjam pun diberi tenggat setahun untuk melunasi. "

[SAGA] Koperasi Swara,  Penyangga Hidup Waria
Anggota Koperasi Swara berkumpul di kantor sekretariat Sanggar Waria Remaja, Jakarta Timur. Foto: Ria Apriyani/KBR


KBR, Jakarta - Di salah satu sudut Jatinegara, Jakarta Timur, Koperasi Swara beroperasi. Tempatnya tak megah. Hanya bangunan dua lantai bercat merah muda, tampak menonjol disekitar bangunan lain yang bercat putih.

Setahun terakhir, pertemun koperasi Swara selalu dilakukan di lantai dua. Menumpang pada salon dan kantor sekretariat Sanggar Waria Remaja.


Meski masih menumpang, Rebecca salah satu pendiri koperasi bercerita, koperasi ini hadir dengan misi penting; membantu keuangan waria.


“Teman-teman waria itu manajemen keuangannya sangat buruk. Permasalahan yang dihadapi waria muda, khususnya yang urban, mereka tidak punya identitas seperti KTP dan sebagainya. Itu membuat akses ke bank, tertutup. Akhirnya kebanyakan waria muda di Jakarta terlilit utang ke rentenir,” ungkap Rebecca ketika ditemui KBR.


Rebecca sadar betul, teman-temannya terpaksa bertahan hidup dengan berprofesi sebagai pekerja seks jalanan dan pengamen. Ini karena tak banyak tempat yang mau menerima mereka bekerja. Bahkan banyak salon profesional juga menolak waria.


Alhasil, banyak waria harus berhadapan dengan keuangan yang mencekik. Tanpa tabungan, hingga akhirnya terlilit utang. Sementara kebutuhan sehari-hari, tak mungkin berhenti.


Karena itulah, tiga tahun bergelut di Swara, membuat Rebecca mencoba mencari jalan keluar. Pertengahan 2015, beberapa teman waria memutuskan mendirikan koperasi simpan pinjam.


“Kita belajar membuat wadah untuk teman-teman bisa menabung dan sama-sama belajar agar bisa me-manage keuangan. Awal pembentukan, kita didampingi oleh yang sekarang jadi badan pengawasnya, ada dari Koperasi Tanah Baru, koperasi aktivis-aktivis perempuan. Kita nggak memiliki background yang paham secara baik bagaimana koperasi itu. Jadi sembari belajar, kita kerjasama untuk dapat pelatihan.”


Dalam perjalanannya, koperasi ini sudah punya 16 anggota. Tiap bulan, mereka rutin menyetor Rp25.000. Ditambah simpanan sukarela.


“Mereka semangat sekali menabung. Misal ini nabung segini, yang ini nggak mau kalah, jadi berlomba-lomba.”


Bagi anggota yang sudah setahun menabung, dibolehkan meminjam. Hanya saja maksimal besarannya setengah dari jumlah tabungan.


Menurut Rebecca, beberapa waria berniat meminjam untuk modal usaha.


“Pernah ada cuma modal yang terkumpul masih kecil. Kemarin dapat saran dari Penabulu bahwa simpanan pokok di awal 100 ribu itu terlalu kecil. Mestinya ditingkatkan dan bisa dicicil, agar modal koperasi cepat terkumpul.”


Penabulu yang disebut itu adalah yayasan yang melatih Koperasi Swara, saat mula-mula berdiri; seperti pentingnya pencatatan keuangan hingga pengelolaan manajemen koperasi.


Hanya saja, meski sudah setahun berjalan, aset Koperasi Swara masih terbilang kecil. Tapi meski begitu, koperasi ini setidaknya jadi jalan keluar bagi finansial anggotanya.


Rebecca juga menekankan, pinjaman anggota diprioritaskan untuk kebutuhan mendesak.


“Kita lebih prioritas mana yang lebih membutuhkan. Misal ada satu yang untuk berobat, satu untuk beli handphone. Karena mereka nggak punya BPJS, nggak punya duit tabungan, kalau pas sakit atau hal-hal seperti itu ya yang berobat dulu. Ini juga meningkatkan solidaritas di antara teman-teman karena kita lihat solidaritasnya mulai berkurang.”


Salah satu anggota koperasi, Echa, sudah mengalami sendiri. Sekali waktu keponakannya jatuh sakit. Ia butuh uang untuk berobat. Akhirnya Echa memutuskan pinjam ke koperasi. Pinjaman ini dirasa jauh lebih ringan dibanding ke rentenir.


Sudah setahun menabung, Echa menunggu. Jika nanti aset koperasi sudah cukup, dia ingin membuat salon sendiri. Mimpi itu sudah disimpannya sejak dulu.


"Walaupun kecil, aku ingin punya usaha sendiri. Inginnya nabung, nabung, nabung, nanti tanpa kita sadari tabungannya sudah ada, bisalah buka usaha salon sendiri kecil-kecilan," ujar Echa.


Dari koperasi ini, teman-teman waria tak lagi berutang ke rentenir. Anggota yang meminjam pun diberi tenggat setahun untuk melunasi. Kalaupun terlambat, koperasi masih bersedia memberikan waktu.


Setiap bulan, mereka hanya harus menyumbang Rp5000. Uangnya ini digunakan bersama-sama untuk  biaya parkir dan membeli konsumsi tiap pertemuan.


Rebecca mengatakan, semua itu dijalankan dengan landasan rasa percaya. Bukan tidak mungkin sebenarnya ada anggota yang membawa kabur uang pinjaman. Demi mencegah itu, Koperasi Swara mewajibkan anggota direkomendasikan dua orang lain untuk bisa jadi anggota pun meminjam.


Dia dan teman-temannya sadar, unit ekonomi yang mereka bangun ini masih hijau. Tapi diam-diam mereka menyimpan mimpi lebih besar.


Lima tahun dari sekarang, Koperasi Swara ingin punya unit usaha. Dalam bayangan mereka, sebuah mini market akan berdiri dengan nama 'Swara' tergantung di atasnya.


“Rencana jangka panjang ingin menyejahterakan anggota, kita berencana ingin punya semacam mini market kecil yang dikelola oleh anggota. Hasilnya bisa dibagi sama rata untuk semua anggota,” harap Rebecca.


Di mini market inilah mereka akan menjual barang-barang kebutuhan pokok dengan harga miring dengan kualitas bagus. Dari situ modal akan dikembangkan.


Setelah besar, Rebecca ingin anggota bisa meminjam untuk modal usaha. Angan-angannya, koperasi kecil yang kini dibinanya bisa menjadi cikal-bakal unit usaha dari, oleh, dan untuk para waria.





Editor: Quinawaty 

  • koperasi swara
  • rebecca
  • sanggar waria remaja

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!