SAGA

Burung Bangau Kertas Bawa Harapan Jemaat GKI Yasmin

Ilustrasi. (google)

KBR, Jakarta - Senbazuru, adalah legenda Jepang tentang seribu bangau kertas. Hikayat ini menyebutkan, seribu bangau kertas akan mewujudkan harapan. Siapa pun orang yang membuatnya sepenuh hati akan terpenuhi keinginannya.

Renata Anggraeni, sejak remaja hingga kini jadi ibu, takjub dengan legenda tersebut. Renata adalah jemaat GKI Yasmin, Bogor, yang sudah tiga tahun tak bisa ibadah Natal di gerejanya sendiri. Lewat legenda Senbazuru, Renata memulai harapan Natal.

“Jadi, ada satu kesempatan di mana jelang hari Natal dan sudah empat tahun berturut-turut kami jemaat GKI Yasmin tidak bisa beribadah di dalam gereja kami yang sah, maka saya mencoba membuat beberapa burung,” papar Renata. 

Renata awalnya memasang foto burung kertas di Facebook, dan menulis harapannya untuk Natal. Ide itu beredar dari mulut ke mulut.

“Sekali lagi tanpa saya bercerita dan mengajak-ngajak. Maka tiba-tiba entah dari mana banyak kawan-kawan yang mengirimkan burung ke saya. Jujur kalau misalnya ditanya itu kiriman dari mana saja saya tidak tahu saja. Tapi kalau dari jemaat Yasmin sendiri malah tidak terlalu banyak yang membuat,” katanya. 

Dalam dua bulan, Renata mendapatkan lebih dari 3000 bangau kertas. Ide pun berubah. Dari awalnya rangkaian bangau kertas, kini jadi pohon natal bangau kertas setinggi dua meter.

Untuk itulah, di rumah salah satu jemaat Sabtu lalu, Renata dan lima jemaat lainnya berkumpul sejak siang.

“Saat ini kami sedang membuat sebuah pohon Natal yang nanti akan dihiasi oleh burung origami. Origami ini yang saat ini sedang dipersiapkan jemaat GKI Yasmin jumlahnya sudah hampir mencapai 3000-an.” 

Pengerjaan pohon memakan waktu hampir tiga pekan. Rangka besi berbentuk kerucut terpajang di teras rumah. Di sekitarnya, ribuan bangau kertas berbagai warna dan motif dibungkus belasan kantung plastik.

Emmi Christa adalah jemaat Yasmin yang membuat 400 lebih burung kertas. Dia adalah ibu Bona Sigalingging, Juru Bicara GKI Yasmin.

“Kalau sudah beres rumah. Pokoknya saya ke Jakarta, di bus atau kereta, saya kerjakan. Kalau lagi mood bikin banyak banget,” ungkap Emmi. 

Kata Renata, bangau kertas melimpah menunjukkan besarnya dukungan terhadap  gerejanya. Apalagi ada yang dari orang beda agama.

“Kawan kawan yang non-Kristen juga mereka ada komunitas di mana mereka kumpul. Pada waktu mereka istirahat mereka bikin. Lalu kawan-kawan arisan dari kawan-kawan lintas iman itu bikin origami di sela-sela waktu kerja mereka. Saya nggak tahu. Tapi saya percaya kok mereka itu malaikat-malaikat tanpa sayap yang sudah membantu mewujudkan harapan dan doa jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Tanpa mereka hadir pun, tapi di setiap lipatan burung origami yang mereka kirimkan buat kami, itu adalah doa dan harapan.” 

Renata dan jemaat menempelkan burung satu per satu berdasarkan motif. Mulai dari motif batik, motif bunga, motif hewan, hingga kertas polos berbagai warna.

Pohon senbazuru itu akan dipakai jemaat GKI Yasmin, yang Natal ini akan berusaha ibadah di dalam gereja mereka. Walikota Bogor dan Menteri Agama tidak mendukung rencana tersebut. Pagar gereja yang sempat bolong sudah ditutup lagi oleh seng.

Kalau pun gagal kembali ibadah di gereja mereka, kata Renata, pohon akan dibawa ke seberang istana siang harinya.

“Sebuah peringatan kepada pemerintah, ini loh ada warga negara kalian, warga negara bapak terhormat yang di dalam istana itu, ada warga yang protes, menyatakan aksi damai, dalam bentuk aksi damai ini. Ada yang nggak benar di negara ini. Cara kami memberikan protesnya adalah dengan memberikan itu. Boleh dikatakan sindiran. Tapi dengan cara kreatif kan?”

Tiga ribu bangau kertas sudah melebihi syarat legenda senbazuru. Akankah keajaibannya berlaku bagi Renata dan jemaat gerejanya?

  • GKi yasmin
  • gereja
  • Toleransi
  • petatoleransi_08Jawa Barat_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!