Pasar Sindu di Denpasar, Bali menjadi proyek percontohan pasar bebas plastik. Jumlah pedagang mencapai 100-an orang (Foto: KBR/Ninik).

SAGA

Pasar di Bali Menuju Zona Bebas Plastik (Bagian 1)

"Pasar tradisional menjadi salah satu sumber sampah plastik di Bali. Gerakan diet kantong plastik digencarkan sejak 2018."

Kamis 24 Nov 2022, 14.15 WIB

KBR, Bali - Jelang tengah hari di Pasar Sindu, Kota Denpasar, Bali. Para pembeli berdatangan silih berganti menuju lapak-lapak pedagang, mencari barang kebutuhan.

Di antara mereka, masih banyak yang menggunakan kantong plastik sekali pakai, tetapi ada juga yang menenteng tas belanja sendiri.

Salah satunya Dayu. Sudah bertahun-tahun, tas belanja warna hitam itu, selalu menemaninya berbelanja.

“Wah udah berapa ya, lama deh, dari sebelum Corona ya. Makanya tasnya sampai robek,” kata Dayu.

Namun perempuan 55 tahun ini mengakui baru sanggup di tahap diet kantong plastik. Sebab, beberapa bahan pangan seperti daging dan ikan, masih butuh pembungkus plastik.

“Ya kan ga bisa semuanya, diusahakan dikurangi semaksimal,” imbuhnya.

Baca juga: Kontribusi Berkelanjutan Selamatkan Terumbu Karang

Dayu selalu membawa kantong sendiri saat berbelanja di pasar, tetapi belum terbiasa membawa wadah untuk produk basah seperti daging dan ikan. (Foto: KBR/Ninik).

Para pedagang juga mengklaim tak lelah mendorong pembeli membawa kantong belanja sendiri.

Upaya ini semenjak terbitnya Peraturan Gubernur Bali No.97 Tahun 2018 dan Peraturan Wali Kota Denpasar No. 36 Tahun 2018 tentang pembatasan plastik sekali pakai.

Namun, Intan, salah seorang pedagang mengeluhkan masih banyak konsumen yang abai.

“Saya suruh beli dia di sana, ‘beli plastik itu ya, besok ga boleh lagi bawa plastik kayak gini’. Ya ya, dia bilang, ‘oh ya saya lupa bawanya, besok ya saya bawa,’” ujar Intan.

Padahal, pedagang sayur berusia 42 tahun ini sudah lama tidak memajang kantong plastik di lapaknya.

“Ya menyediakan (kantong plastik), tapi disembunyiin di bawah. Kalau dilihat, ya pasti minta, mungkin dipakai tempat sampah di rumahnya,” ucapnya.

Intan mendukung pembatasan plastik sekali pakai, karena ia jadi lebih untung. Dulu, satu kemasan kantong plastik seharga Rp8 ribu ludes dalam sehari. Kini, baru habis dalam beberapa hari.

Baca juga: Ada Asa di Balik Tumpukan Sampah (Bagian 1)

Intan, pedagang sayur di Pasar Sindu mendukung pelarangan kantong plastik, tetapi tidak bisa memaksakan kepada pelanggan. (Foto: KBR/Ninik).

Namun, gerakan diet kantong plastik tak bikin bahagia semua pihak. Ayubi, misalnya, mulai merasakan omset toko plastiknya anjlok. Dulu, ia bisa meraup Rp3 juta per hari. Pandemi memperparah situasi.

“Sekarang maksimal (omset) Rp1-1,5 juta, soalnya kan hotel-hotel itu belum begitu buka. Dia yang beli plastik, plastik sampah kadang 2 kg, pakai bungkus-bungkus itu,” tutur Ayubi.

Ayubi berharap diet kantong plastik sebatas imbauan, bukan pelarangan.

“Aduh, penginnya gini-gini aja deh. Jangan dilarang, jangan dihapus, pencarian saya cuma plastik ini. Kalau dilarang tuh gimana ya, orang-orang juga ga bisa, soalnya ini kan seperti beras ya, kebutuhan sehari-hari, karena dipakai bungkus, ya ikan, ayam,” Ayubi menjelaskan.

Ayubi sudah coba beradaptasi. Ia pernah menjual kantong ramah lingkungan berbahan singkong, tetapi malah merugi.

“Kalau plastik singkong itu baru dikasih setengah kg, udah melorot, udah jatuh, ga bisa dipakai. Pembeli ga mau, ga kuat dia,” lanjutnya.

Baca juga: Ada Asa di Balik Tumpukan Sampah (Bagian 2)

Ayubi, pedagang plastik di Pasar Sindu anjlok omsetnya sejak kantong plastik dilarang. (Foto: KBR/Ninik).

Pengawas Pasar Sindu, I Made Sudarta mengakui belum ada solusi bagi para pedagang plastik seperti Ayubi.

Sebuah dilema yang membuat zona bebas kantong plastik sulit diterapkan di Pasar Sindu, yang pernah digelari pasar terbaik se-Asia Tenggara.

Apalagi, jumlah pengunjung masih di kisaran 500-an per hari, jauh dari sebelum pandemi yang bisa mencapai 2 ribu pengunjung.

“Kalau pedagang dikasih seperti itu (kantong plastik dari singkong), pasti ditolak mentah-mentah, karena kalau pas ramai, malah tambah ribet lagi. Belum apa-apa, robek-ganti, robek-ganti gitu. Jadinya pemerintah itu belum ada solusi yang pas untuk mengganti plastik ini,” kata Made.

Pengurangan plastik sekali pakai di Pasar Sindu pada era normal baru, memang relatif lambat.

Tingkat keberhasilannya baru di kisaran 40 persen berdasarkan kajian Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali pada 2022.

Baca juga: Adaptasi Warga Timbulsloko yang Menolak 'Tenggelam'

Pengawas Pasar Sindu, I Made Sudarta menyebut edukasi diet kantong plastik di Pasar Sindu sudah dilakukan sejak 2018. Upaya ini sempat terhambat karena pandemi. (Foto: KBR/Ninik).

Meski gerakan ini didukung 80 persen pedagang, tetapi mereka terpaksa menggunakan pembungkus plastik terutama di produk basah seperti daging, ikan dan canang atau sesajen.

“Pedagang kesulitan meminta pelanggannya untuk membawa tepak atau wadah untuk bungkus daging dan konsumennya juga tidak melakukan itu,” ujar Anak Agung Tatik Rismayanti dari PPLH Bali.

Aktivis lingkungan yang akrab dipanggil Gungtik ini juga menyebut pedagang Pasar Sindu khawatir kehilangan pelanggan jika kantong plastik sekali pakai dilarang.

“Ada pasar di sebelah (Pasar Sindu) yang juga berjualan yang sama. Jadi ketika mereka memberlakukan yang larangan plastik sekali pakai, pelanggannya (dikhawatirkan) kabur ke pasar sebelah,” kata Gungtik.

PPLH Bali mencoba terobosan baru dengan menggandeng komunitas Sobat Pasar. Kumpulan anak-anak muda Sanur ini sebelumnya sudah menggarap bank sampah. Salah satu produknya adalah kantong ramah lingkungan.

Baca juga: Kapal Arka Kinari, Keliling Dunia Wanti-Wanti Krisis Iklim

Anak Agung Tatik Rismayanti dari PPLH Bali menuturkan kolaborasi dengan komunitas Sobat Pasar merupakan terobosan inovatif untuk memperkuat gerakan diet kantong plastik di pasar tradisional. (Foto: dok pribadi).

Menurut Nyoman Gede Riki dari Sobat Pasar, mereka sudah menyiapkan beberapa program untuk menguatkan kampanye diet plastik di Pasar Sindu.

“Kita siapkan stand, nanti kalau dia kelebihan belanja, pasti perlu tas kain, dia bisa beli, kita siapkan di pedagang,” ujar Riki.

Riki menargetkan Pasar Sindu menjadi teladan zona bebas plastik, yang kemudian diperluas ke belasan pasar lain di Kota Denpasar.

“Kita punya target Pasar Sindu menjadi ikon di Kota Denpasar maupun di Bali untuk menjadi pilot pertama pasar bebas plastik,” tegas Riki.

Penulis: Ninik Yuniati