Foto: Joshua Hoehne/Unsplash

SAGA

Sampah Makanan Penyumbang Emisi

Jumat 27 Nov 2020, 20.08 WIB

Sampah makanan ikut menyumbang emisi yang mengakibatkan krisis iklim. Badan Pangan Dunia FAO bahkan menyebut sistem pangan global sebagai pendorong terbesar kerusakan lingkungan. Indonesia sendiri merupakan negara pembuang sampah makanan terbesar kedua di dunia.

KBR, Jakarta- Sampah.. sampah..

Nggak mungkin kita itu ya lepas dari sampah.

Beli barang, jadi sampah. Beli makanan pun, jadi sampah. Masak sendiri sekalipun, ada saja sampahnya.

Ngomongin sampah makanan, banyak yang beranggapan sampah organik itu baik untuk lingkungan. Apa yang berasal dari alam, akan kembali ke alam lah. Istilahnya begitu.

Saya salah satu yang percaya itu…

Tapi ternyata, sampah organik dari sisa makanan kita itu banyak banget..

September tahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut jumlah timbulan sampah di Indonesia secara nasional yaitu sebesar 175 ribu ton per hari atau setara 64 juta ton per tahun.

Setengahnya adalah sampah organik berupa sisa makanan dan sisa tumbuhan.

Eva Bachtiar, co-founder Garda Pangan menjelaskan soal kenapa sisa makanan bisa ikut menyebabkan masalah iklim. Garda Pangan adalah sebuah bisnis pengelolaan makanan berlebih yang dijalankan kelompok anak muda di Surabaya.

Ketika food waste atau atau sampah makanan, tertumpuk di landfil gitu atau di TPA, dia akan mengeluarkan gas yang namanya metana, yang 23 kali lebih berbahaya dari karbondioksida. Dan itu juga salah satu green house emission gas yang contribute ke climate crisis ya kita nyebutnya sekarang.

Metana ini gas yang sama yang dihasilkan dari kentut sapi itu lho.

Foto: Markus Spiske

Yang bisa ditiru sekarang adalah apa yang dilakukan oleh Garda Pangan.

Wirausaha sosial ini mengelola bank sampah untuk sampah makanan, di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Mereka juga punya program Food Rescue.

Kita kerja sama dengan industry hospitality, bisnis makanan, seperti Resto, Hotel, Cafe,Bakery, dan lain-lain. Jadi kita menjemput makanan berlebih mereka yang keadaannya masih sangat layak gitu ya, tapi memang berpotensi terbuang karena memang mereka harus jaga standar kualitas. Terus kemudian makanan itu kita sortir dan kita distribusiin ke warga prasejahtera.

Eva bercerita, Garda Pangan juga berburu ke acara pernikahan, konferensi atau festival.

Yang penting, jangan sampai ada makanan terbuang percuma, karena selalu ada orang lain yang membutuhkannya.


Garda Pangan juga mengembangkan pendataan yang menyeluruh – mulai dari soal informasi usia untuk menyesuaikan nutrisi sampai soal keyakinan, dengan memisahkan makanan halal dan nonhalal.

Data ini yang jadi acuan bagi mitra yang diajak Kerjasama oleh Garda Pangan.

Kalau kami, jadi punya metode setiap lokasi yang kami dijadikan lokasi penerima manfaat itu, pasti kita sudah survei dulu sebelumnya. Jadi sudah ada assessment sebelumnya dan itu lumayan komplit lah ya. Jadi di situ ada berapa orang, profesinya apa, rumahnya seperti apa. Terus kalau terima makan misalnya paling malam itu bisa jam berapa sampai aspek-aspek, aspek lain, aspek demografinya di situ, kebanyakan warga seperti apa.

Tapi, menurut Eva, belum semua orang siap mendonasikan makanan mereka.

Opsi membuang makanan itu seringkali dianggap sebagai opsi yang paling murah, paling mudah, dan paling cepat gitu. Apalagi mereka kadang-kadang juga punya kekhawatiran kayak misalnya makanannya nanti takut dijual lagi, atau kalau didonasikan ke orang nanti ada kenapa-kenapa terus mereka kena tuntut. Jadi ada banyak concern dari mereka gitu.

Saat ini, Garda Pangan bekerjasama dengan 20 lini bisnis di industri hospitality.

Sebuah angka yang masih kecil untuk ukuran Surabaya, sebuah kota besar yang ramai dengan kafe dan hotel.

Tapi berkat kerja keras yang dibangun selama 3 tahun ini, Garda Pangan mulai konsisten mendistribusikan makanan berlebih.

Sebulan itu bisa sekitar 3 ribu sampai 6 ribuan porsi itu sebulan. Dan sebenarnya bisa lebih banyak lagi.

Foto: Markus Spiske/Unsplash

Reporter: Siti Sadida

Editor: Friska Kalia