SAGA

[SAGA] Penrad Siagian: Kami Ingin Tetap Ibadah di GBKP Pasar Minggu

[SAGA] Penrad Siagian: Kami Ingin Tetap Ibadah di GBKP Pasar Minggu



KBR, Jakarta - Di sebuah ruang serba guna, tikar terhampar di atas lantai. Belasan anak lalu duduk melingkar sembari melantunkan lagu-lagu pujian pada Tuhan. Salah satu jemaat perempuan, lantas memandu ibadah anak-anak tersebut.

Ini adalah ibadah Minggu anak-anak Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Runggun Pasar Minggu. Tapi, ibadah kali ini berbeda dari biasanya. Tempatnya bukan di gereja mereka yang terletak di Jalan Raya Tanjung Barat Lama No. 148 A, tapi di kantor kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pasalnya, ibadah mereka sempat diganggu ormas intoleran, dengan alasan tak mengantongi izin pendirian gereja.


Dan hal itu terjadi 2 Oktober lalu; puluhan orang berkumpul sembari membawa megaphone, menyerukan agar ibadah dibubarkan. Spanduk bertuliskan ‘Kami Warga Tanjung Barat RW 04 Menolak Adanya Kegiatan Peribadatan & Pembangunan Gereja di Wilayah Kami' terpasang di tembok gereja.


Demi meredam konflik, Pemkot Jakarta Selatan memutuskan memindahkah ibadah Minggu jemaat, sementara waktu ke kantor kecamatan.


Di luar kantor kecamatan, anggota Polsek Pasar Minggu berjaga. Ibadah juga dihadiri Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi, dan Camat Pasar Minggu Eko Kardiyanto.


Pendeta GBKP, Penrad Siagian mengaku tak tahu sampai kapan ibadah mereka digelar di sana. Kata dia, baik majelis gereja maupun jemaat tetap ingin ibadah di gereja.


"Jemaat gimana? Jemaat tentu ingin hal itu. Karena punya sejarah juga, sebab sudah 21 tahun mereka di situ. Mulai proses pembangunan dan lain lain," ungkap Penrad.


Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Runggun Pasar Minggu, sesungguhnya sudah ada sejak 1995. Mulanya, bangunan seluas 824 meter ini tempat tinggal milik salah satu jemaat.


Namun, karena sering dipakai ibadah, jemaat pun mengajukan izin pembangunan gereja pada 2004. Namun kata  Ketua Panitia Pembangunan Gereja, IR Tongat Malem, yang keluar justru izin pendirinan rukan. Sejak saat itu, bangunan gereja belum utuh jadi. Tembok pun masih beralas semen.


Tak berhenti di situ, pengajuan izin pendirian gereja kembali diajukan pada 2006 –bertepatan dengan keluarnya SKB 2 Menteri tentang Pendirian Ruman Ibadah. Dan itu kali, menurut Penrad Siagian, syaratnya sudah dikantongi; persetujuan berupa KTP warga dan tokoh masyarakat.


“Sudah ada 75 masyarakat yang menyetujui dan itu sudah cukup, karena sesuai aturan kan minimal 60. Nah itu kita ajukan ke lurah. Tentu kan kita turun melalui RT, kita menghormati sistem pemerintahan setempat, lokal daerah. Kita harus komunikasi dulu dengan RT dan RW,” lanjutnya.


Meski izin pendirian gereja belum digenggam, jemaat toh tetap ibadah di sana. Tapi karut marut perizinan tak kunjung selesai.


Sekretaris Kelurahan Tanjung Barat, Sunardi, menyebut pihaknya pernah menyisir siapa saja warga yang mendukung pembangunan gereja. 


“Kita langsung verifikasi langsung ke lapangan. Gereja menyerahkan data dan kita verifikasi. Ternyata ada pemberian uang kepada masyarakat yang tanda tangan," kata Sunardi.


Tapi menurut Penrad, luruh tak berhak memverifikasi. Sebab itu, menjadi tugas Forum Kebebasan Umat Beragama (FKUB).


“Lurah ini melampaui kelurahannya. Dia memverifikasi ketidakberatan warga. Itu bukan kewenangannya. Itu kewenangan FKUB menurut PBM,” bantah Penrad.


Akan tetapi, suara warga Tanjung Barat terpecah. Nasib, misalnya. Pria yang tinggal di RW 04 mengatakan, pihak gereja berlaku curang.


“Mereka itu curang. Bukannya tanda tangan. Biasanya kan kalau rapat kita tandatangan. Daftar hadir tamu. Nah, itu mereka lampirkan itu nggak ada kop dari gereja, surat polos, mereka salin. Mengklaim warga di sini setuju. Sebetulnya warga di sini nggak setuju,” ujar Nasib.


Sedangkan, perempuan sepuh ini, Sinta –yang tinggal di Tanjung Barat Lama hampir 12 tahun bercerita, warga tak dirugikan dengan kehadiran gereja. Sehingga, tak ada alasan menolak pembangunan gereja.


"Saya dengar memang tidak boleh gereja itu ada di sini. Tapi memang alasannya tidak tahu. Tapi saya sih menyetujui. Karena warga sini tidak dirugikan sama sekali. Saya sudah 12 tahun di sini, tidak pernah tersirat warga sini merasa terganggu atau dirugikan," ungkap Sinta.


Sehari pasca aksi penolakan 2 Oktober lalu, mediasi dilakukan di kantor Gubernur DKI Jakarta. Hasilnya? Pemkot Jakarta Selatan diminta membantu pengurusan izin pendirian gereja.


Tapi yang terjadi sebaliknya. Wali Kota Jakarta Selatan, Tri Kurniadi lebih menyarankan gereja mereka dipindahkan.


“Saya sih pengennya di tempat semula, tapi itu jangka waktunya lama. Kalau ada tempat baru kenapa nggak? Tugas kami memfasilitasi beliau beliau ini. Memfasilitasinya gimana?” dalih Tri Kurniadi.


Sementara soal izin, ia hanya bisa menjanjikan. “Boleh urus izin yang lama, tapi nggak sekarang, karena situasinya tidak memungkinkan. Kita akan bantu urus izin IMB gereja di sana. Tapi pelan-pelan, kan nggak mungkin suasananya masih begini. Sementara beliau-beliau ibadah di sini, itu aja.”


Tri pun mengaku sudah menyodorkan beberapa opsi lokasi gereja di seputaran Pasar Minggu. Tapi, bagi Pendeta GBKP, Penrad Siagian, lokasi itu berada di zona hijau atau ruang terbuka hijau.


“Relokasi terbuka selama tidak melanggar aturan dan peraturan konstitusi. Kita mendengar usulan itu berada di jalur hijau, tentu tidak memungkinkan berada di tempat itu. Saya pikir selesai usulan itu, kita pelajari, ternyata tidak memungkinkan, karena akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik dikemudian hari,” tutur Penrad.


Tak hanya itu, yang lebih penting lagi, kata Penrad, pemerintah semestinya tak mempersulit pendirian rumah ibadah. Apalagi sampai membiarkan ormas intoleran menghalang-halangi umat lain ibadah.


“Saya pikir itu perlu kerja keras pemerintah untuk menyosialisasikan bahwa negara ini negara yang bhineka, yang majemuk.”






Editor: Quinawaty Pasaribu

 

  • GBKP Runggun Pasar Minggu
  • Penrad Siagian
  • Tonat Malem
  • Tri Kurniadi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!