KBR, Manado - Membayangkan Manado, Sulawesi Utara, sudah pasti yang terbayang adalah hamparan lautnya.
Bagaimana tidak, garis pantai di sana membentang sepanjang 18 kilometer. Sementara di sebelah Barat Laut, meliputi wilayah perairan yang terdapat tiga pulau besar; salah satunya Pulau Bunaken yang terkenal akan taman lautnya.
Tapi, reklamasi yang sudah berlangsung sejak 1982 mengusik keindahan itu. Ribuan hektar di sepanjang pesisir pantai telah disulap menjadi hotel, restoran, mal dan pertokoan.
Dan, ribuan nelayan yang selama ini menggantungkan hidupnya pada laut, terlibas oleh masifnya reklamasi.
Salah satu nelayan tradisional dari Kelurahan Sario Tumpaan, Danny Teleng menceritakan bagaimana sulitnya mencari ikan pasca reklamasi dimulai. Alhasil, ia harus menempuh jarak lebih jauh jika ingin mendapat ikan.
“Sekarang yang ada timbunan ini, itu dulunya tempat ikan. Sebenarnya itu yang tempat kami sini bilang ikan-ikan Gorara. Kalau Gorara ada di muara sungai, jadi lebih gampang diprediksi kalau mau dijual atau untuk makan sehari-hari. Tapi sekarang jangankan untuk dijual, makan sehari-hari sudah setengah mati mau cari musti jauh ke laut,” ungkap Danny.
Danny juga bercerita, hasil tangkapannya berkurang 90 persen dari yang dulunya mencapai ratusan kilogram ikan sekali melaut, kini hanya dua sampai tiga kilogram saja.
Itu pun akhirnya, tak untuk dijual. Tapi dikonsumsi sendiri.
Maka, untuk menjaga agar dapur tetap mengepul, para nelayan beralih profesi menjadi tukang ojek, tukang parkir dan berdagang.
Nelayan yang kini menjadi tukang parkir, Frans Tatumbe juga punya cerita yang serupa. “Sekarang mau cari satu ekor ikan sudah setengah mati dengan adanya reklamasi soalnya penuh lumpur. Jadi ikannya habis, apalagi ada timbunan–timbunan ini. Kita ini setengah mati sekarang mencari ikan. Kalau dulu kami cuma pergi mancing Tude (Tongkol-red) yang jaraknya dekat.”
Apa yang dialami Danny, Frans dan 28 ribu lebih nelayan di sana, adalah akibat dari hancurnya rumah ikan-ikan akibat reklamasi.
Direktur Walhi Sulawesi Utara, Anggelin Palit mengatakan, ribuan hektar terumbu karang habis tersapu reklamasi
“Sangat menyayangkan reklamasi itu bisa di loloskan amdalnya karena memang bingung juga ya bagaimana BLH Manado meloloskan itu. Kami dari WALHI tetap menolak reklamasi karena merusak ekosistem laut yang jelas sudah terlihat dan sudah terjadi tahun 2014 kemarin terumbu karang habis beberapa ribuan hektar,” jelas Anggelin.
Karena itulah, para nelayan kemudian mendirikan Asosiasi Nelayan Tradisional (ANTRA).
Sekretaris ANTRA Kota Manado, Sudirman Hililo mengatakan, sejak dibentuk pada 2009 lalu hingga kini, para nelayan tak hentinya memperjuangkan hak-hak mereka. Apalagi kata dia, jumlah nelayan terus menyusut dari 29 ribu menjadi 580an saja.
“Kami perjuangkan bagaimana kami menentang dengan adanya reklamasi yang ada saat ini. Kami tidak mau alergi dengan adanya pembangunan Kota Manado, namun bagaimana pembangunan itu bisa menghidupkan semua pihak termasuk nelayan. Karena di situ banyak hak-hak kami yang terampas bahkan sengaja dimatikan dan dirampas hidup kami dengan adanya reklamasi,” ucap Sudirman.
Dari puluhan kali berdemo ke DPRD, Pemerintah Kota Manado dan Pemerintah Provinsi serta kepada Pengembang, para nelayan belum juga mendapat haknya.
Malah, mereka hanya diberi lahan seluas 40x150 meter untuk dijadikan tambatan perahu dan ditanami 100 pohon bakau. Di situ pula, ANTRA bermarkas.
Lokasi tambatan yang kecil itu pun menyulitkan para nelayan. Kembali Danny Teleng bercerita.
“Tempat tambatan perahu ini sudah tutup, tapi akhirnya dipertahankan dengan teman-teman yang ada di sini. Sementara kami punya perahu yang ada di Sario Tumpaan ini lingkungan tiga ada 40, lingkungan empat ada 48, lingkungan lima ada 17,” tutur Danny.
Belakangan, muncul secuil harapan Perda Zonasi yang bisa mengembalikan wilayah tangkapan nelayan dan tambatan perahu. Ikuti kisah bagian kedua .
Editor: Quinawaty Pasaribu
Reklamasi Pantai Manado, Sudirman Hililo: Hak Kami Sebagai Nelayan Dirampas
"Kami tidak mau alergi dengan adanya pembangunan Kota Manado, namun bagaimana pembangunan itu bisa menghidupkan semua pihak termasuk nelayan. "

Lokasi tambatan perahu nelayan di Sario Tumpaan, Manado. Foto: Zulkifli Madina/KBR
BERITA LAINNYA - SAGA
Kampung Liu Mulang Teladan Hidup Selaras dengan Alam
Tradisi menjaga lingkungan dilakoni dan diwariskan antargenerasi
Sampah Makanan Penyumbang Emisi
Badan Pangan Dunia FAO bahkan menyebut sistem pangan global sebagai pendorong terbesar kerusakan lingkungan
Menangkal Asap Rokok dan Covid-19 dengan Kampung Bebas Asap Rokok
Momentum pandemi jadi sarana efektif untuk edukasi bahaya asap rokok
Kesehatan Bumi dan Mental
Organisasi psikiater di Amerika Serikat, the American Psychiatric Association, menjelaskan bagaimana krisis iklim ini mengganggu kesehatan mental
Bendrong Menuju Dusun Mandiri Energi dan Pangan
Program rintisan biogas dikembangkan menjadi sistem pertanian terpadu. Ekonomi meningkat dan lingkungan terjaga.
Make Up Baik Untuk Iklim
Tren pemakaian make-up alias dandanan tak pernah mati. Tengok saja YouTube dan media sosial, di sana bertabur aneka konten tutorial berdandan.
Kulon Progo Terus Melawan Asap Rokok
Kebijakan antirokok tetap berlanjut meski ganti pemimpin
Bahaya E-Waste untuk Iklim
Sampah elektronik atau e-waste juga menjadi sumber emisi, sehingga bumi makin panas
Jernang Emas Rimba yang Terancam Punah
Jernang bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga bagian dari tradisi Orang Rimba menjaga lingkungan
Most Popular / Trending
Recent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Vaksinasi untuk Penyintas dan Fenomena Long Covid
Pendidikan untuk Semua
Kabar Baru Jam 8
Kabar Baru Jam 10