KBR, Jakarta - Intan, tak bisa menahan getir ketika bersaksi di Pengadilan Rakyat Internasional di Kota Den Haag, Belanda.
“Kalau kita punya seekor binatang yang mati saja kita gali lobang dan kita kubur. Apalagi ini manusia, apa memang ada hukum rimba yang terjadi? Sehingga hal ini boleh terjadi? Sampai saat ini tujuh keluarga saya hilang tanpa jejak. Kami tak tahu di mana mereka berada. Kami tak tahu mereka mati atau hidup. Sebagai anak kami sangat sakit melihat yang terjadi ini. Sehingga saat itu saya berkata, ‘Tuhan berikan pada hamba umur panjang sehingga suatu ketika menyaksikan hal itu'. Dan hari ini saya hadir di sini, bukan karena kekuatan saya tapi karena Tuhan yang luar biasa.”
Dari balik tirai, ia menceritakan tujuh keluarganya yang hilang kala tragedi September 1965 merebak di sejumlah wilayah; Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Pada tanggal 27 September 1965, beliau menumpang kapal laut dan tiba di tempat tujuan pada tanggal 2 Oktober. Pada saat itu di tempat ini terjadi kejadian begitu heboh. Karena saya tinggal di lembah sehingga saya tak tahu apa yang terjadi. Setelah saya sampai ke pasar, saya berjalan, sepi, tetangga bilang ada tragedi G/30S. Saya bertanya apa itu G/30S? Kakak kamu sudah diangkat. Salah dia apa? Dia dipukuli dan ada di rumah sakit. Saya ke sana, ternyata dia tidak ada di rumah sakit. Katanya dia ada di kantor polisi.”
Ayah Intan adalah bekas anggota dewan dan pejabat keuangan di daerah. Tapi jauh sebelum itu, ayahnya merupakan anggota Barisan Tani Indonesia (BTI).
Hingga kemudian, tak hanya ayahnya yang ditangkap paksa, pun kakaknya juga bernasib sama.
Dan, berlanjut ke ibunya yang menjadi tahanan rumah.
“Karena kakak saya sudah hancur babak belur, sekarang papa saya diangkat. Seminggu kemudian, mama saya ditahan dengan catatan, papa saya adalah anggota PKI di mana terjadi gerakan 30S. Saya bertanya, darimana bapak tahu? Memang sudah diadili sehingga berani menahan? Seminggu kemudian mama saya jadi tahanan rumah. Seminggu kemudian, saya datang jenguk papa saya, katanya tidak ada lagi. Katanya ada di penjara Kupang. Tapi di penjara, mereka bilang tak ada. Saya terus mencari datang ke Kodim, apa salah mama saya sampai harus ditahan?”
Intan, tak henti-hentinya mencari tujuh keluarganya yang hilang.
Ia bahkan nekad mendatangi Kodim di wilayahnya demi mencari tahu keberadaan mereka. Tapi sial, tak ada jawaban yang bisa menunjukkan dimana jejak keluarganya.
“Kodim tetap mengatakan ibu ini terlalu rewel, saya terus bertanya, mencari dan mencari tanpa ragu. Semua orang takut, tapi saya tetap pergi. Dan papa saya ditahan dari tanggal 5 Oktober sampai 7 April, saya mencari tapi tak menemukan. Kemana dia dibawa? Demikian juga kakak saya dan om saya, dua orang sepupu saya, om tante saya. Jadi mereka ada tujuh orang yang hilang. Saya terus mencari di mana mereka, kalau mereka bersalah sudah diadili? Dan sekarang kalau ada, mereka ditahan di mana? Kalau sudah mati, dikuburu di mana?”
Keluarga Intan porak poranda, adiknya pun sempat ditahan dan dicekal bepergian hingga 1975.
Hingga kini, setengah abad berlalu sejak peristiwa 1965 pecah, tujuh keluarganya masih tak tahu dimana rimbanya.
Malah, cap sebagai anak Partai Komunis Indonesia (PKI), masih melekat.
“Dan sampai dengan hari ini, sebagai anak, keluarga, terus menjerit sampai kadang tetangga mencibir seolah kami ini penghianat bangsa dan negara. Tapi kami bersyukur, bahwa lewat sidang ini Tuhan berkenan bahwa anda boleh mendengarkan kesaksian saya.”
Tak hanya cap negatif itu, keluarga Intan juga tak bisa menduduki posisi di pemerintahan.
“Kadang-kadang ada sindiran yang datang bahwa inilah mereka pengacau penghacur dan diskriminasi pekerjaan tak boleh jadi PNS dan kalau toh ada pangkat yang ditingkatkan dicut, itu yang terjadi.”
Harapan adanya keadilan bagi tujuh keluarganya muncul dari Sidang Rakyat Internasional di Kota Den Haag, Belanda.
“Bahwa setiap kesalahan, itu tentu harus ada peradilan. Sebab tanpa peradilan, kita tak bisa memvonis seseorang dengan cara menghilangkan nyawanya. Itu yang menjadi harapan kami, sehingga kami dapat menceritakan itu untuk didengar bahwa itu yang sesungguhnya terjadi dan sangat tidak manusiawi.”
Sepuluh saksi korban tragedi 1965 membeberkan semua kekejaman Orde Baru yang ketika itu baru saja menguasai pemerintahan.
Dan, kekejaman itu tak akan dilupakan selama tak ada keadilan bagi jutaan korban 1965 yang dibunuh, diadili tanpa proses pengadilan, dipaksa bekerja dan mengalami kekerasan seksual.
Editor: Quinawaty Pasaribu
IPT 1965, Intan: Tujuh Keluarga Saya Hilang, Tapi Saya Terus Mencari
“Kalau kita punya seekor binatang yang mati saja kita gali lobang dan kita kubur. Apalagi ini manusia, apa memang ada hukum rimba yang terjadi? Sehingga hal ini boleh terjadi?"

Suasana sidang Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda. Foto: KBR
Berita Terkait
BERITA LAINNYA - SAGA
Kampung Liu Mulang Teladan Hidup Selaras dengan Alam
Tradisi menjaga lingkungan dilakoni dan diwariskan antargenerasi
Sampah Makanan Penyumbang Emisi
Badan Pangan Dunia FAO bahkan menyebut sistem pangan global sebagai pendorong terbesar kerusakan lingkungan
Menangkal Asap Rokok dan Covid-19 dengan Kampung Bebas Asap Rokok
Momentum pandemi jadi sarana efektif untuk edukasi bahaya asap rokok
Kesehatan Bumi dan Mental
Organisasi psikiater di Amerika Serikat, the American Psychiatric Association, menjelaskan bagaimana krisis iklim ini mengganggu kesehatan mental
Bendrong Menuju Dusun Mandiri Energi dan Pangan
Program rintisan biogas dikembangkan menjadi sistem pertanian terpadu. Ekonomi meningkat dan lingkungan terjaga.
Make Up Baik Untuk Iklim
Tren pemakaian make-up alias dandanan tak pernah mati. Tengok saja YouTube dan media sosial, di sana bertabur aneka konten tutorial berdandan.
Kulon Progo Terus Melawan Asap Rokok
Kebijakan antirokok tetap berlanjut meski ganti pemimpin
Bahaya E-Waste untuk Iklim
Sampah elektronik atau e-waste juga menjadi sumber emisi, sehingga bumi makin panas
Jernang Emas Rimba yang Terancam Punah
Jernang bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga bagian dari tradisi Orang Rimba menjaga lingkungan
Berhitung Plastik Pada Kopi Senja
Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi kopi terbesar di dunia. Secara perekonomian, ini tentu baik. Tapi seperti pedang bermata dua, sisi lain industri kopi kekinian mulai mengintai.
Ketika Burgermu Memanaskan Bumi
Tahukah kamu kalau daging lezat yang kamu makan itu berkontribusi pada perubahan iklim?
Adaptasi Petani Kendal Atasi Kekeringan
Kekeringan menjadi langganan petani selama puluhan tahun. Krisis air makin parah akibat perubahan iklim. Strategi adaptasi mulai dirintis kelompok pemuda.
Membangun Rumah Ramah Lingkungan
Ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak cara pula orang menunjukkan kepeduliannya pada lingkungan. Kali ini, Podcast Climate Tales mengajak kita ‘bedah rumah’ Minisponsible House yuk.
Menjaga Mangrove Pantai Bengkak
Konservasi mangrove untuk cegah abrasi akibat perubahan iklim. Perpaduan dengan wisata edukasi memberi nilai tambah ekonomi bagi warga
Nasib Petani Tembakau di Pulau Lombok
Petani mitra maupun swadaya sulit mendapat penghidupan layak karena ketidakpastian harga tembakau. Pandemi Covid-19 makin membuat nasib mereka terpuruk.
Melambat Bersama Slow Fashion
Industri Fashion adalah polutan terbesar kedua di dunia, setelah minyak dan gas. Tak heran karena dalam prosesnya prosesnya Industri ini banyak mengesampingkan kelestarian lingkungan.
Most Popular / Trending
Recent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Kabar Baru Jam 8
Bangun dari Demotivasi Skripsi
Catatan dan PR bagi Kapolri Baru
Kabar Baru Jam 7