SAGA

Sri Lestari, Penerabas Lintas Aceh (Bag.1)

"KBR - Sri Lestari memakai kursi roda, dan dia mengendarai motor modifikasi dari Aceh sampai Jakarta. Dia punya dua pesan utama: Difabel bisa mandiri, dan fasilitas kota perlu diperbaiki."

Sri Lestari mengendarai motor modifikasinya di Cilegon, Banten, Rabu (8/10) pagi. Sri adalah pemakai
Sri Lestari mengendarai motor modifikasinya di Cilegon, Banten, Rabu (8/10) pagi. Sri adalah pemakai kursi roda yang naik motor sebulan penuh dari Aceh-Jakarta untuk mengampanyekan hak-hak disabilitas

KBR - Sri Lestari memakai kursi roda, dan dia mengendarai motor modifikasi dari Aceh sampai Jakarta. Dia punya dua pesan utama: Difabel bisa mandiri, dan fasilitas kota perlu diperbaiki. Dia sudah sebulan lebih melintasi Sumatera. Dari Pelabuhan Merak, banten, Jurnalis KBR Rio Tuasikal ikut menemani Sri menuju Jakarta.

Siang terik di Pelabuhan Merak, Banten, Rabu lalu. Sri Lestari turun dari kapal dengan mengendarai motor modifikasinya. Lengkap dengan helm dan berbalut jaket kulit merah. Dia langsung tancap gas menembus jalan raya untuk menuju Cilegon, Banten.


Motor yang digunakan Sri untuk menerabas jalan dari Sabang (Aceh) sampai Banten, sebelumnya memang sudah dimodifikasi. Motor Sri ditempelkan dengan sebuah gerobak. Stang untuk mengemudi pun dipindahkan agar Sri bisa berkendara hanya dengan duduk di kursi rodanya. Saya mengobrol dengannya saat dibonceng menuju Cilegon. Sesekali saya  berpegangan ke badan motor karena Sri gesit menyalip mobil-mobil di jalan raya.

 

Sambil membonceng saya, Sri mengisahkan perjalanannya. “Jadi setiap hari aku jalan sendiri. Di belakang ada mobil. Di sana kan ada ponakan, ada Angel editor, cameramen, dan driver,” jelas Sri.


Sri berangkat dari Sabang pada 5 September lalu. Dia menghabiskan sebulan lebih di jalanan. Sudah 5 tahun dia mengendarai motor modifikasi, dan sudah biasa membonceng orang. “Ada yang temenku keren loh. Sambil minum kopi. Kalau anak-anak di belakang. Aku bisa boncengin delapan loh. Di sini tiga anak-anak, Yang berdiri di belakang, lima bisa. tapi anak kecil di bawah kelas lima SD. Tapi hanya di kampung,” kenang Sri bangga.


Perempuan asal Klaten ini bercerita, dia lumpuh setelah kecelakaan sepeda motor 1997 silam. Sempat 10 tahun di rumah, akhirnya dia memutuskan berkegiatan lagi. Lumpuh membuatnya stress, karena dia hanya bisa terbaring di tempat tidur. “Sudah tidak bekerja, apa-apa dibantu orang tua. Teman saya itu kan selama ini mandi pun masih dibantu, pindah kursi masih dibantu. Sebenarnya dia cerdas,” kisah Sri.


Sri lantas menabung untuk membeli motor dan memodifikasinya. Tak lama dia mulai menjadi relawan di Sekolah Luar Biasa SLB tunanetra. Tapi saat ini Sri bekerja untuk organisasi disabilitas UCP Roda Untuk Kemanusiaan (UCP RUK). Sampai satu kali rekan kerjanya bertanya.


“Dia tanya ke aku, mimpimu apa? Aku punya dua mimpi. Salah satunya aku ingin nyebar semangat ke teman-teman di Indonesia. Tapi aku nggak punya uang, nggak punya relasi. Oke aku bantu,” ceritanya.


Sri pun bertemu para difabel sepanjang perjalanan. Dia bangga bisa menginspirasi mereka. “Aku boncengin dia merasa bisa. Aku perjalanan lanjut, dia pulang. Di rumah itu dia minta adiknya. Dia nyetir sendiri pakai motor matic, adiknya di belakang. Tujuannya adiknya itu untuk menyangga. Karena kan dia sudah tidak punya kaki. Hal kecil saja. Dia hanya dibonceng aku sekali saja. Langsung antusias,” ceritanya begitu semangat.


Ini adalah perjalanan keduanya setelah tahun lalu bermotor Jakarta-Bali. Kata Sri, perjalanan tahun lalu lebih menunjukkan kemandirian difabel. Sementara perjalanan kali ini menyoroti fasilitas umum. “Untuk hak-hak penyandang disabilitas. Lebih mendekatkan ke pemangku kebijakan. Kalau waktu itu kan jalan sendiri. Terus nggak ada acara untuk disambung ke pemangku kebijakan. Dengan harapan diimplementasikannya hak-hak penyandang disabilitas,” kata Sri lagi.


Sri juga bertemu perwakilan Dinas Sosial di tiap kota, membahas program kursi roda. Dia mencatat, belum ada satu pun kota yang dikunjungi sudah total ramah difabel. Fasilitas umum masih punya tangga dan tidak bisa diakses kursi roda. Termasuk gedung pemerintahan. Trotoar juga belum dilengkapi bata pemandu tunanetra. Dia berharap perjalanan ini menyadarkan pemerintah.


Selama perjalanan ini, Sri mengaku tak pernah mendapat perlakuan buruk dari pengguna jalan lainnya. Warga yang melihat motornya justru penasaran, kata Sri. Tapi tantangan terbesar perjalanan ini bukanlah menaklukkan jalan, melainkan mencari penginapan. Seperti di Cilegon. Bagaimana kisahnya?


Baca sambungannya: Sri Lestari, Penerabas Lintas Aceh – Jakarta (bagian 2)


Editor: Irvan Imamsyah
  • sri lestari
  • kursi roda
  • difabel
  • aceh
  • Toleransi
  • petatoleransi_01Nanggroe Aceh Darussalam_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!