Article Image

SAGA

Lara, Duka, dan Nestapa di Stadion Kanjuruhan

"Stadion Kanjuruhan tercatat dalam sejarah tragis sepak bola. Ratusan jiwa melayang akibat para pemangku kepentingan yang abai dengan keselamatan."

Senin 10 Okt 2022, 16.30 WIB

Taburan dan karangan bunga di pintu 13, Stadion Kanjuruhan. Ungkapan duka dan doa bagi ratusan korban jiwa Tragedi Kanjuruhan. (Foto: KBR/Eko W).

KBR, Malang - Sepekan terakhir, ucapan duka dan doa mengalir deras dari penjuru tanah air, untuk ratusan korban jiwa Tragedi Kanjuruhan.

Di antara korban meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan, ada Rudi Harianto dan anak lelakinya yang berusia 3 tahun, Virdy Prayoga. Mereka adalah suami dan putra semata wayang Elmiati, warga Sumpil, Kota Malang.

Masih segar di ingatan Elmiati, detik-detik terakhir ia bersua suami dan putranya untuk terakhir kali.

Di hari nahas itu mereka bertiga menonton laga Arema vs Persebaya di tribun 13.

Sesaat setelah pertandingan usai, situasi di Stadion Kanjuruhan berubah mencekam.

Waktu suporter masuk ke lapangan, terus ada tembakan air mata, suami saya ngajak pulang. Di gerbang 13 itu kan posisinya cuma kebuka tutup dua orang. Tapi yang dari atas itu suporter, semua kan pengin menyelamatkan diri masing-masing, jadi dorong-dorongan, yang di depan ditahan,” kisah Elmiati.

Baca juga: Tragedi Mematikan Sepak Bola dalam Sejarah, Stadion Kanjuruhan Posisi Kedua

Ribuan warga lintas iman berdoa bersama di depan Balai Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (5/10/2022) untuk korban Tragedi Kanjuruhan. (Foto: KBR/Eko W).

Anak Elmiati dalam gendongan sang suami. Mereka bertiga berjubel bersama penonton lain yang hendak keluar dari Stadion Kanjuruhan.

“Maksudnya itu suruh keluar, yang tertib, satu-satu. Sedangkan posisinya kayak gitu. Habis ditembak gas air mata, kok ditahan yang di depan, pintunya ga semua dibuka,” lanjutnya.

Kepanikan makin menjadi karena Elmiati terpapar gas air mata.

“Tenggorokan ini perih, kayak disilet-silet, nafas panas, mata juga panas banget, buat melihat itu udah ga bisa,” tutur Elmiati,” kata dia.

Di jalur keluar pintu 13, Elmiati terpisah dari suami dan anaknya. Ia sempat ditolong.

Setelah situasi berangsur aman, ia menunggu di tribun bersama beberapa tetangga.

“Nunggu kabar. Waktu keluar dari lapangan, kakak saya bilang, ‘dik minta foto anak kamu, mau dikasihkan ke pak polisi sama ke grup Arema. Cari tahu posisi anak saya di mana, ternyata ketemunya di RS Kanjuruhan. Udah meninggal di kamar mayat,” ujar Elmiati.

Hari itu mestinya jadi hari menyenangkan, bagi keluarga kecil Elmiati.

“Cuma tiga kali ini ke situ (Stadion Kanjuruhan), sebelum-sebelumnya ga pernah lihat, cuma di tivi saja. Saya yang ngajak, kan selama ini jarang main ya anak saya, niat nyenengin hati anak saya. Pikir saya kan, suporter surabaya ga datang ke sini, mungkin aman ya,” ungkapnya.

Menonton langsung laga Arema sudah jadi rencana sedari lama. Tak terbersit hari istimewa itu akhirnya berubah jadi petaka.

“Berangkat mau lihat Arema itu paginya minta potong rambut. Ayo potong rambutnya gitu, anak saya itu. Saya yang minta. Ya yang belakang panjang, kayak cewek gitu, jadi pinggirnya aja yang dipotong,” kenang Elmiati.

Baca juga: Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan: Anak Saya Wajahnya Membiru

Elmiati menunjukkan foto bersama anak dan suaminya. Saat hari nahas itu, mereka bertiga menonton laga Arema vs Persebaya di tribun 13 Stadion Kanjuruhan. (Foto: KBR/Eko W).

Luka Elmiati masih menganga. Ia tak bakal menginjakkan kaki lagi ke Stadion Kanjuruhan.

“Trauma keingat anak, keingat suami. (Saya) ga membenci, cuma trauma kalau mau ngelihat ke sana (Stadion Kanjuruhan), mending enggak.” ucap Elmiati.

Duka kehilangan anggota keluarga juga menggelayuti Nurul Husnah, warga Pakishaji, Kabupaten Malang.

Kakaknya, Hutriadi Hermanto, turut jadi korban di Stadion Kanjuruhan.

Nurul makin trenyuh karena tak putus-putus mengalir ucapan belasungkawa untuk sang kakak yang adalah individu berkebutuhan khusus.

“Mas itu kan ada kekurangan, tapi alhamdulillah meskipun gitu, ke orang itu baik, suka menolong, jujur, pokoknya tulus. Itulah poinnya, kenapa segininya (orang) berbela sungkawa. Orang yang ke sini itu lho sampai ga tahu siapa itu, tapi kenal sama Mas,” kisah Nurul.

Kakak Nurul adalah aremania. Hari itu mestinya ia bergembira karena bisa menonton langsung laga tim kesayangan di Stadion Kanjuruhan. Ia mendapat tiket cuma-cuma dari tetangga.

Katanya yang ngasih tiket itu, dari mukanya itu kayak kepingen nonton Arema gitu lho. Terus dikasihkan satu (tiket). pulang ke sini, mau siap-siap. Senang itu, jadi ga ada firasat,” tutur dia.

Baca juga: Tinjau Kanjuruhan, Jokowi: Masalahnya Ada di Pintu yang Terkunci

Foto Hutriadi Hermanto, korban meninggal Tragedi Kanjuruhan. Hutriadi sempat menolong warga lain sebelum ajal menjemput. (Foto: KBR/Eko W).

Hingga tengah malam, kakak Nurul tak kunjung pulang. Ada yang tak beres, pikirnya dan ibu yang menanti di rumah.

“Terus (pukul) setengah 12 ada yang gedor-gedor. ‘Mas sudah pulang? belum’, ada apa ini? Mas kena tembakan gas air mata. Sekarang tak cari ke rumah sakit. Nanti kabari di RS mana. Saya dan ibu pikir, pingsan gitu paling parah kena itu kan,” ucap Nurul.

Kepergian kakak Nurul menyisakan kisah kepahlawanannya di Stadion Kanjuruhan. Lelaki 37 tahun itu ternyata sempat menyelamatkan warga lain, sebelum ajal menjemput.

“Adik nangis-nangis kan video call sama saya. Ada cewek itu nangis sama nggepuk pundaknya adik, sama ngomong, ‘itu Mas yang nolong saya, kalau ga ada Mas, mungkin aku ga bisa seperti ini’. Katanya nolong si cewek sama adiknya, dibopong keluar, terus masuk lagi. Kita keluarga itu, ya Allah Mas, sek iso-sone nolong orang yo,” kisah dia.

Selama beberapa hari, suara jeritan korban dan suasana mencekam di Stadion Kanjuruhan terus terngiang di ingatan Dadang. Orang-orang berlarian lintang-pukang menuju pintu 13, berdesakan bahkan sebagian terjepit.

“Masih terdengar jeritan ‘tolong-tolong’. Saya memejamkan mata, itu rasanya di depan saya ada korban,” ucap Dadang.

Baca juga: FOMO Sapiens: Perkara KDRT dan Tragedi Kanjuruhan

Coretan-coretan di dinding Stadion Kanjuruhan. Keluarga korban maupun publik menuntut Tragedi Kanjuruhan diusut tuntas. (Foto: KBR/Eko W).

Dadang susah-payah membantu beberapa orang keluar dari Stadion Kanjuruhan. Namun, ia tidak tahu, ada Vera, keponakannya, di antara para penonton.

Biasanya, Vera hanya menyaksikan dari televisi. Keponakan Dadang yang baru saja lulus kuliah itu, tak terselamatkan.

“Di tengah evakuasi saya ditelepon sama keluarga, Vera, ponakanmu, ga ono umur (meninggal dunia),” kata dia.

Keluarga begitu terpukul dengan kepergian Vera. Santunan dari manajemen Arema ditolak. Mereka -seperti halnya keluarga korban lain- menuntut keadilan atas Tragedi Kanjuruhan ditegakkan. Semua pihak yang bertanggung jawab mesti dihukum setimpal.

“(Manajemen Arema) Sudah menjenguk dan hanya dapat santunan 5 juta. Itu rencana sama keluarga mau dikembalikan. Berapapun nyawa, tidak akan bisa diganti. Yang kita minta adalah jawaban yang objektif dari aparat. Ssut tuntas siapa pelakunya,” pungkas Dadang.

Penulis: Eko Widianto
Editor: Ninik Yuniati