KBR - Jauh di akhir era 1800-an, pemerintah Belanda memboyong 30 ribuan penduduk Jawa ke Suriname, negara jajahan Belanda di Amerika Selatan. Mereka bekerja sebagai buruh kontrak, setelah perbudakan warga asal Afrika dihapuskan. Sabtu, pekan lalu, pemerintah Belanda memperingati 125 tahun migrasi masyarakat Jawa ke Suriname, dalam Java Suriname Festival. Di sana ada Aida Amatstam, penyanyi Suriname yang mengisahkan kabar Jawa di Suriname.
#
Gerimis membasahi halaman Erasmus Huis, gedung Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta Sabtu malam lalu.
“Hi everybody. Assalamu'alaikum. Nice to meet you. I'm very overwhelmed. Ha ha ha. Piye kabare? Kabare apik? Nama saya Aida, di belakang @Six, we are from Suriname, and we live in Holland. Nice to meet you,” sapa Aida Amatstam, penyanyi Suriname kepada para pengunjung Java Suriname Festival di Jakarta beberapa waktu lalu. Aida menyapa dengan bahasa campur Inggris, Jawa dan Indonesia.
Itu malam, Aida yang tampil bersama band-nya sukses menarik perhatian penonton. Para penonton – warga Jakarta, Belanda dan Suriname joget bersama. Aida menyanyikan sejumlah tembang, bernada reggae, dan juga lagu berbahasa Indonesia.
Usai acara, Aida bercerita soal asal usulnya dalam bahasa Inggris bercampur sedikit Jawa. “Aku lahir ning Suriname. Mbahku suku Java. But I grew up with no Javanese. My parents were moslems but they don't do selametan. They always put songs from Mus Mulyadi, Waljinah, Broery, that's why I sing Mimpi Sedih, because I remember my parents. But we never spoke the language. Yes, aku belajar Jawa karo konco-koncoku.”
(Saya lahir di Suriname. Nenek saya dari Jawa. Tapi saya tumbuh tanpa budaya Jawa. Kedua orangtua saya muslim tapi mereka tidak melakukan tradisi selametan. Mereka selalu memainkan lagu Mus Mulyadi, Waljinah, Broery, itulah kenapa saya menyanyikan Mimpi Sedih, karena saya ingat orangtua saya. Tapi kami tidak pernah ngobrol bahasa Jawa. Saya belajar Jawa dari teman-temanku di Indonesia.)
Kakek – nenek moyang Aida diboyong ke Suriname, sebuah negara jajahan Belanda di Amerika Selatan sekitar 1890 – 1939. Selain nenek dan kakeknya, pemerintah kolonial Belanda juga membawa 33.000 orang Jawa untuk menjadi buruh kontrak di perkebunan Suriname. Warga Jawa waktu itu dibawa ke Suriname karena kekurangan buruh setelah era perbudakan orang Afrika dihapuskan.
“Kakek dan nenek saya, mereka dari sini ke Suriname, untuk bekerja seperti dalam imigrasi. Lalu orangtua saya hadir, dan saya lahir. Tapi sekarang saya tinggal di Belanda bersama suami ke-dua saya. Ini suami saya. Kami menikah dua minggu lalu,” jelas Aida dengan sungging senyum.
Aida kini berusia 46 tahun dengan empat anak. Sejak usia 22, dia dikenal sebagai penyanyi rock di Suriname. Naik daun, dia beralih menyanyikan lagu karibia atau reggae. Tiga tahun terakhir, dia menyanyikan lagu berbahasa Jawa: Kowe Pancen Jodoku, Opo Karepanmu. Sedang tahun lalu, dia bersama penyanyi Indonesia Waljinah dan Ira Herlina tampil di Suriname.
“Kok kebangetan tresnaku nggo kowe. Seseorang sudah menuliskan ini untuk saya. Saya penulisnya juga tapi saya hanya menulis dalam bahasa Inggris, Suriname, dan Belanda. Saya mengerti lagu yang saya nyanyikan. Tapi saya tidak fasih berbahasa Jawa,” ungkap Aida.
Aida mulai menyanyi Jawa sejak kedua orang tuanya, Suratman Amatstam dan Parminah Amatstam, meninggal. Bernyanyi baginya adalah cara melepas rindu.
Ini kali pertama dia ke Indonesia. Dia terkejut karena bisa bertemu saudara jauhnya yang tinggal di sini. ”Ya, saya kewalahan. Dua anak dari saudara ayah saya, mereka datang untuk menyaksikan saya. Mereka tinggal di Jakarta. Saya sangat terkejut. Karena saat saya kecil saya mendengar ada keluarga di sini. Dan mereka datang menyaksikan saya.”
Semula dia ingin tampil berkebaya di Java Suriname Festival. Sayang gaun tradisional khas Jawa yang dibawa rusak karena suatu hal. “Saya bawa klambi, kebaya, tapi rusak. Jadi saya memakai pakaian lain. Padahal saya mau berdandan dengan klambi jawa.”
Seumur hidup tinggal di seberang benua, dia masih ingat makanan Jawa yang kerap dimasak ibunya dulu. Bahkan jadi makanan favoritnya sampai sekarang. “Soto, bakmi goreng, nasi goreng, tempe, tahu, tahu lontong. Sampai sekarang, iya, saya senang tahu dengan sambal ulek. Orang jawa di Suriname juga membuat sambal.”
Aida kini tinggal bersama suaminya di Belanda. Tetap pula bernyanyi. Tapi meski kakinya di Suriname atau di Belanda, di dalam hatinya ia tetaplah Jawa. “Ya, tentu saya nyaman disebut Jawa. Semakin tua, saya semakin sadar inilah asal muasal saya. Inilah asal saya. Saya merasakannya dengan hati saya.”
Menurutnya, ada banyak kisah menarik saat penduduk Jawa pindah ke Suriname dua abad lalu. (bersambung)
Baca lanjutannya: Kisah Jawa di Seberang Benua (bagian 2)
Editor: Irvan Imamsyah
Kisah Jawa di Seberang Benua
KBR - Jauh di akhir era 1800-an, pemerintah Belanda memboyong 30 ribuan penduduk Jawa ke Suriname, negara jajahan Belanda di Amerika Selatan. Mereka bekerja sebagai buruh kontrak, setelah perbudakan warga asal Afrika dihapuskan. Sabtu, pekan lalu, pemerin

Selasa, 14 Okt 2014 12:46 WIB


suriname, festival, aida, erasmus, portalkbr
BERITA LAINNYA - SAGA
Kampung Liu Mulang Teladan Hidup Selaras dengan Alam
Tradisi menjaga lingkungan dilakoni dan diwariskan antargenerasi
Sampah Makanan Penyumbang Emisi
Badan Pangan Dunia FAO bahkan menyebut sistem pangan global sebagai pendorong terbesar kerusakan lingkungan
Menangkal Asap Rokok dan Covid-19 dengan Kampung Bebas Asap Rokok
Momentum pandemi jadi sarana efektif untuk edukasi bahaya asap rokok
Kesehatan Bumi dan Mental
Organisasi psikiater di Amerika Serikat, the American Psychiatric Association, menjelaskan bagaimana krisis iklim ini mengganggu kesehatan mental
Bendrong Menuju Dusun Mandiri Energi dan Pangan
Program rintisan biogas dikembangkan menjadi sistem pertanian terpadu. Ekonomi meningkat dan lingkungan terjaga.
Make Up Baik Untuk Iklim
Tren pemakaian make-up alias dandanan tak pernah mati. Tengok saja YouTube dan media sosial, di sana bertabur aneka konten tutorial berdandan.
Kulon Progo Terus Melawan Asap Rokok
Kebijakan antirokok tetap berlanjut meski ganti pemimpin
Bahaya E-Waste untuk Iklim
Sampah elektronik atau e-waste juga menjadi sumber emisi, sehingga bumi makin panas
Jernang Emas Rimba yang Terancam Punah
Jernang bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga bagian dari tradisi Orang Rimba menjaga lingkungan
Berhitung Plastik Pada Kopi Senja
Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi kopi terbesar di dunia. Secara perekonomian, ini tentu baik. Tapi seperti pedang bermata dua, sisi lain industri kopi kekinian mulai mengintai.
Ketika Burgermu Memanaskan Bumi
Tahukah kamu kalau daging lezat yang kamu makan itu berkontribusi pada perubahan iklim?
Adaptasi Petani Kendal Atasi Kekeringan
Kekeringan menjadi langganan petani selama puluhan tahun. Krisis air makin parah akibat perubahan iklim. Strategi adaptasi mulai dirintis kelompok pemuda.
Membangun Rumah Ramah Lingkungan
Ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak cara pula orang menunjukkan kepeduliannya pada lingkungan. Kali ini, Podcast Climate Tales mengajak kita ‘bedah rumah’ Minisponsible House yuk.
Menjaga Mangrove Pantai Bengkak
Konservasi mangrove untuk cegah abrasi akibat perubahan iklim. Perpaduan dengan wisata edukasi memberi nilai tambah ekonomi bagi warga
Nasib Petani Tembakau di Pulau Lombok
Petani mitra maupun swadaya sulit mendapat penghidupan layak karena ketidakpastian harga tembakau. Pandemi Covid-19 makin membuat nasib mereka terpuruk.
Melambat Bersama Slow Fashion
Industri Fashion adalah polutan terbesar kedua di dunia, setelah minyak dan gas. Tak heran karena dalam prosesnya prosesnya Industri ini banyak mengesampingkan kelestarian lingkungan.
Most Popular / Trending
Recent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Menyoal Program Restrukturisasi Jiwasraya
Kabar Baru Jam 8
Kapan Kekebalan Terbentuk Usai Vaksinasi Covid-19?
Kabar Baru Jam 10