SAGA

Asa di Tepi Lore Lindu (bagian 2)

"KBR, Palu - Mengelola hutan desa, tidak serta merta langsung membuat warga Desa Namo kaya raya. Penghasilan mereka dari mengelola hutan desa nyatanya belum seberapa. Saban tahun puluhan ton rotan hutan dijual murah karena tak ada alat produksi untuk menam"

Asa di Tepi Lore Lindu (bagian 2)
hutan, namo, lore lindu, sulteng, portalkbr

KBR, Palu - Mengelola hutan desa, tidak serta merta langsung membuat warga Desa Namo kaya raya. Penghasilan mereka dari mengelola hutan desa nyatanya belum seberapa. Saban tahun puluhan ton rotan hutan dijual murah karena tak ada alat produksi untuk menambah nilai jualnya, juga kerajinan kursi bambu. Tanpa peralatan produksi yang memadai, seterusnya warga menjual rotan mentah dengan harga murah. Asa para pengelola hutan Desa Namo sepertinya menggantung, ditepi Taman Nasional Lore Lindu.

#
Udara siang di Desa Namo, Kecamatan Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah terasa sejuk. Di sebuah rumah berbahan bambu, Anwar sibuk merakit kursi bambu pesanan pembeli asal Palu. Anwar sendiri sudah menggeluti usaha kerajinan bambu sejak 2005. Selama itu, 160 kursi bambu sudah dia buat.

Semua bambu dibuat berdasarkan pesanan dan tenggat kontrak yang disepakati dengan pembeli. Anwar berkeyakinan, kursi bambu yang dibuat tahan lama dan anti rayap. Itu sebab, dia menjual kursi buatannya dengan harga yang relatif mahal. Berkisar Rp. 500 ribu – Rp. 1,5 juta, tergantung panjang dan model kursi yang dibuatnya.

“Bambu nilai jualnya cukup mahal. Sampai Rp 1,5 juta. Jadi saya buat tidak setiap hari. Berdasarkan pesanan saja. Karena tenaga terbatas. Mereka kadang kontrak, berapa bulan selesai atau berapa hari. Jadi saya bukan menjual produk, bukan menjual kursi tapi menjual karya. Dan bagaimana saya bermotivasi dengan hasil-hasil hutan desa.”

Anwar, ketua kelompok perajin bambu di Desa Namo. Kelompok yang beranggotakan lima petani itu dibentuk untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan desa seluas 490 hektar. Dengan menggeluti kerajinan kursi bambu, Anwar biasa mengantongi uang sebanyak Rp. 3 juta lebih. Keuntungan yang didapat relatif besar karena dirinya tak keuar modal banyak untuk mendapatkan bahan baku.

Bahan baku bambu dan rotan didapat Anwar dan kelompoknya gratis dari pohon-pohon bambu yang tumbuh di sekeliling desa dan Hutan Desa. “Cuma manajemen untuk menyisipkan uang hasil jual kursi bambu belum maksimal. Sementara bambu di sini belum di beli. Karena itu usaha kelompok, buat penangkaran bambu di bantaran-bantaran sungai. Yang sekarang di tanam sudah tiga ribu pohon.”

Hasil yang lumayan ketimbang hanya mengandalkan hasil kebun cokelat, kopi dan cengkeh. Bahkan sekarang Anwar tak perlu khawatir kehabisan bahan baku bambu dan rotan sejak ada hutan desa.

Berkah atas pengelolaan Hutan Desa tak hanya dirasakan Anwar dan kelompok perajin bambu lainnya, tapi juga semua warga Desa Namo. Sekretaris Desa Namo, Baharuddin mengatakan, warga boleh mengambil apa saja dari hutan desa, kecuali kayu keras dan satwa langka.

“80 persen masayrakat dari 340 KK itu boleh akses ke sana. Tak boleh ambil kayu, rotannya saja. Damar boleh, kemudian enau dari arennya..dan juga ijuknya. Madu saat ini baru kita masukkan 25 stove ujicoba,” jelas Sekretaris Desa Namo, Baharuddin.

Sejak ada hutan desa, setiap tahun warga Desa Namo bisa menjual 40 ton rotan mentah. Tapi sayang, harga rotan mentah murah hanya, Rp 3.500 per kilogram. Sementara, getah damar, dijual Rp 5.000 per kilogramnya. “Oleh masyarakat rotan diambil, kemudian dijual sama pengumpul. Baru dijual ke Palu. Itu dijual dalam bentuk mentah. Dan itu upaya kita bagaimana hasil rotan yang kita kelola biarlah setengah jadi, biar nilai ekonominya lebih tinggi sedikit, atau bahkan dalam bentuk jadi. Kita upayakan nanti melalui Bumdes.”

Hal serupa juga dialami kelompok perajin bambu. Anwar dan kawan – kawan tak bisa cepat memenuhi pesanan pembeli karena alat produksi hanya satu. Pendamping warga dari Yayasan Jambata Zarlif Ais mengatakan para perajin terpaksa menggunakan perkakas bergantian.

“Salah satu kendala kelompok perajin bambu ini itu dari perlengkapan alat yang masih minim. Ini Yayasan Jambata bantu dari tahun 2005. Itu kami beli dari Yogyakarta. Tapi sekarang kami cari sulit. Waktu pesan sama teman juga tidak dapat. Kemudian alat untuk finishingnya, furnish akan lebih bagus kalau kita menggunakan kompresornya ya,” jelas Direktur Yayasan Jambata, Zarlif Ais.

Upaya untuk meningkatkan nilai tambah hasil kerajinan Desa Namo yang bersumber dari hutan desa, sepertinya belum bisa diwujudkan cepat. Baik pemerintah desa, maupun Yayasan Jambata, masih mencari cara untuk bisa menaikkan harga jual komoditas dari Hutan Desa Namo.

Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Tompolingku Ngata Desa Namo, Basri mengatakan pengelola hutan desa bersama dengan Yayasan Jambata pun belum bisa menggelar pelatihan pembuatan kursi rotan. Sebabnya karena fasilitas dan sarana pendukung untuk pembuatan kursi belum bisa tersedia.

“Kita punya rencana dengan Yayasan Jambata untuk buat pelatihan pembuatan kursi rotan. Cuma berupaya untuk melengkapi fasilitas itu, seperti harus ada penggorengan rotan. Karena rotan harus digoreng agar tidak dimakan rayap. Jadi Ais ini lagi berusaha agar bagaimana cara ke depannya masyarakat sini, selain rotan bisa dijual,bisa juga jual kursi dari anyaman rotan.”

Ais yang disebut Basri adalah Zarlif, Direktur Yayasan Jambata yang juga mendampingi warga Namo mengelola Hutan Desa, termasuk menggagas pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Dengan Bumdes ini, warga Namo berharap ada modal yang bisa dikumpulkan untuk memajukan cikal bakal industri mebel bambu dan rotan berbasis masyarakat.

Tapi sambil menunggu modal Bumdes terkumpul, peraturan desa (Perdes) disiapkan agar seluruh kegiatan warga di desa dan hutan desa tidak merusak lingkungan. Peraturan Desa pun dibuat untuk memastikan masyarakat desa bisa hidup berdampingan dengan alam. Termasuk juga aturan yang mewajibkan setiap calon pengantin menanam 10 pohon keras di lahan miliknya. Cara ini ditujukan agar kebutuhan kayu untuk permukiman tidak lagi diambil dari hutan lindung dan hutan desa.

Saat ini, perencanaan pengelolaan Hutan Desa juga tengah dibuat oleh Basri dan warga Desa Namo. Rencananya pengelolaan hutan desa akan dibagi berdasarkan zonasi, seperti zona pemanfaatan dan juga zona lindung. Sampai semuanya beres, warga akan terus menggantung asa mereka di tepi Lore Lindu.

Kembali ke cerita sebelumnya: Asa di Tepi Lore Lindu

  • hutan
  • namo
  • lore lindu
  • sulteng
  • portalkbr

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!