SAGA

Amelia Perawat di Perbatasan Indonesia-PNG (3)

"perawat, kesehatan, amelia, papua, malaria"

Amelia Perawat di Perbatasan Indonesia-PNG (3)
perawat, kesehatan, papua, malaria

Tuntut Kesejahteraan


Puskesmas Skouw tiap hari rata-rata menerima 30 pasien. Mereka yang datang biasanya terserang  aneka penyakit  seperti batuk , malaria sampai kontrol kehamilan. Sore itu, jam operasi puskesmas yang berlokasi di perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini sudah habis. Perawat Amelia, Dokter Krisna dan Kepala Puskesmas, Martha Retto tengah berbincang. “Itu dulu waktu saya belum di sini. Jadi 2004 itu, ada ibu hamil yang meninggal, ada juga bayinya yang meninggal. Ada juga bayi kembar, ada satu saja yang hidup, yang satu meninggal,” cerita Amelia.

Satu persatu tenaga medis puskesmas pulang  ke rumah masing-masing. Tapi tidak Amelia. Ia tetap bertugas.Krisna mengaku kagum dengan pengabdiannya. “Tapi tetap saja perannya Kak Amel di sini. Paling banyak dikenal warga, kepercayaan juga lebih menjangkau mereka. Mungkin mereka tak berani mengungkapkan pada kita. Seperti kasus TBC,” kata Dokter Krisna.

Amelia rutin melaporkan perkembangan kekinian pelayanan kesehatan warga ke Kepala Dinas Kesehatan setempat, Dolarina de Breving. Tujuannya, supaya segala persoalan yang dihadapi bisa langsung ditangani.

DOLARINA: Hei, Bu Amel. Apa kabar?
AMEL: Baik-baik, bu
DOLARINA: Di kampung bagaimana kabarnya? Anak-anak, orang tua? Terus pelayanannya bagaimana?
AMEL: Lancar. Selama 24 jam stand by.
DOLARINA: Tapi apakah ada kendala-kendala apakah? Tak apa-apa, bu Amel bicara saja.
AMEL: Ini soal tenaga kesehatan, yang harus stand by selama 24 jam, bersama saya. Karena di sana kerjanya saat ini yang lain itu sesuai dengan jam dinas mulai dari jam 07 sampai 12. Tapi pemahaman masyarakat di sana, setelah jam 12 itu, mereka harus minta dilayani.

Dolarina ikut bangga dengan pengabdian Amelia. “Ibu Amelia itu memang luar biasa. Saya itu bangga dengan dia, apalagi pelayanan di daerah perbatasan, tapi dia tak memikirkan dirinya sendiri. Dia lebih mengutamakan masyarakat. Saya senang perawat seperti ini, terutama dia memiliki hati yang luar biasa. Dia punya hati dan kasih sayang yang luar biasa kepada masyarakat. Kadang dia harus tinggalkan keluarganya di malam hari, dan dia mengunjungi keluarga pasien, orang ini luar biasa tanpa pamrih,” ungkap Dolarina bangga.

Tapi saat bertemu Dolarina, Amelia sungkan mengungkapkan persoalan yang dialaminya sebagai perawat yang bekerja 24 jam. “Kami di sini perbandingannya dengan guru-guru. Karena guru-guru mendapat tunjangan terpencil, tiap tahun, mereka terimanya tiap tiga bulan sekali, bahkan bisa sampai dua puluh juta. Itu langsung dari pusat. Tidak seimbang. Masak guru yang hanya bekerja delapan jam, dia mengajar, tapi kami yang bekerja 24 jam, tak dapat tunjangan seperti itu. Jadi ini tidak adil,”keluhnya.

Saat ditemui secara terpisah,  Dolarina memberikan jawaban. “Kalau mereka tidak dapat tunjangan dari pusat. Tapi dari pemda Jayapura, tapi itu tidak seberapa. Jadi hanya untuk Puskesmas Skouw dan Puskesmas Koya Barat. Hanya itu saja. Jadi tiap tahun kami sisihkan hanya Rp 150-200 juta, jadi dibagi-bagi. Jadi rata-rata yang menerima hanya Rp 250 ribu/bulan. KBR68H: Jadi biar adil, itu pemerintah pusat harus memberikan tunjangan juga? Mungkin dari pusat juga perlu menambah. Karena mereka juga bekerja di perbatasan yang penuh dengan resiko.”

Sejak tahun lalu, pemerintah pusat memberikan kewenangan lebih kepada perawat untuk mengobati pasien. Hal ini mengingat minimnya jumlah tenaga medis di daerah pelosok, termasuk di perbatasan.  Dinas Kesehatan Papua mengaku membutuhkan tenaga medis sampai 5 ribu orang. Mulai dari bidan, perawat dan dokter. Tapi tak mudah menempatkan mereka di daerah terpencil.  Sejumlah kendala menghambat mulai dari keamanan, kesulitan transportasi, dan minimnya sarana dan prasarana jelas Dolarina De Breving. “Kendalanya adalah kadang mereka memikirkan resiko. Memang baru-baru ini, ada tenaga perawat yang kami tempatkan di sana, tapi karena resiko sering diganggu oleh orang mabuk, tapi akhirnya dia kami pindahkan, dan kami rotasi. Itu salah satu saja di Puskemas pembantu di Kampung Mousso.”

Persoalan minimnya fasilitas kesehatan di pelosok Papua sudah jadi rahasia umum kata salah satu tokoh Papua, Benny Giay. “Di beberapa tempat, ada banyak puskesmas yang memang ada gedungnya tapi pegawainya tak ada. Kalau ada pegawai satu orang, obatnya tidak ada. Kalau ada dua-duanya, jaraknya jauh. Orang harus pergi ke sana,” ungkapnya.

Menurut Benny, perlu ada sosok seperti Amelia yang rela bekerja menembus batas waktu.

Kembali ke Puskesmas Skouw.Amelia sudah memutuskan untuk mengabdi kepada masyarat. Tapi dia berharap pemerintah memberikan  perhatian atau kesejahteraan yang lebih baik kepada perawat  yang bekerja di pelosok seperti dirinya.

Editor: Taufik Wijaya

  • perawat
  • kesehatan
  • papua
  • malaria

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!