Penulis: Ninik Yuniati
Dampak kriminalisasi terhadap aktivisme
Demonstrasi menolak RKUHP, Selasa (23/8/2022). (Foto: Rivan/Antara)
Jumat, 01 September 2023
KBR, Jakarta - Nining Elitos mengingat rangkaian kejadian pasca-aksi buruh 8 Maret 2021 silam.
Kala itu, tengah malam, ia masih di kantor Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia KASBI. Tiba-tiba ada panggilan dari rumah.
“Anak saya, menelpon, ‘ibu ada polisi menyampaikan surat, surat apa?’,” kata Nining
Nining kemudian meminta anaknya memberikan telepon ke sang tamu, agar ia bisa berbincang sendiri.
“’Mereka menyampaikan surat sebagai bawahan mengantarkan perintah, surat dari Polda Metro Jaya’,” lanjut ibu tiga anak ini.
Itu adalah surat panggilan dari polisi.
Nining bersama anggota KASBI, Partini, diduga melanggar sekitar 5 pasal terkait aksi buruh pada peringatan Hari Perempuan Sedunia yang digelar di depan Istana Kepresidenan, Jakarta.
Di antaranya, pasal 160 KUHP tentang penghasutan dan Undang-Undang tentang Karantina Kesehatan.
Nining yang kala itu menjabat Ketua Umum KASBI, diduga menghasut massa menggelar aksi di tengah pandemi.
“Di mana menghasutnya? Peran organisasi serikat buruh untuk memberikan edukasi, masukan, kritik ketika kebijakan-kebijakan itu berkaitan dengan, tidak hanya pada buruh, kehidupan masyarakat yang lebih luas,” tutur Nining.
Baca juga:
Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (Bagian 1)
Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (Bagian 2)
Aktivis buruh, Nining Elitos menyebut solidaritas antar-rakyat, antar-organisasi, mesti diperkuat pasca-pengesahan KUHP baru. Banyak pasal bermasalah yang bisa mengancam kebebasan berpendapat. (Foto: KBR/Ninik).
Nining keberatan karena merasa dikriminalisasi. Penegak hukum dinilainya diskriminatif. Sebab, di masa pandemi, banyak pejabat yang memicu kerumunan, tetapi tidak ditindak.
Termasuk Presiden Joko Widodo saat kunjungan ke NTT, pada Februari 2021, beberapa pekan sebelum aksi buruh.
“Hukum itu tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kalau memang UU Karantina digunakan, seharusnya Presiden yang melakukan pelanggaran, kerumunan di NTT, itu juga harus diberikan peringatan dong, dipanggi,” imbuhnya .
Nining tak menggubris dua kali panggilan polisi. Sampai akhirnya, ia dan beberapa perwakilan masyarakat sipil diundang oleh Kapolda Metro Jaya yang ketika itu dijabat Fadil Imran.
“Pada saat itu juga Kapolda menyatakan, ‘ya cukup di sini’. Setelah itu tidak ada tindak lanjut sampai sekarang,” ungkap Nining.
Butuh tak kurang dari 3 bulan Nining lepas dari upaya kriminalisasi. Ini adalah kasus pertama yang menjeratnya sejak menjabat Ketua Umum KASBI pada 2008.
Kriminalisasi mengganjal aktivitasnya berorganisasi.
“Waktu itu saya harus ke Sumatera. Kita punya basis-basis perkebunan di sana, dan kita harus melakukan edukasi, memberikan pelatihan. Akhirnya ditunda. Kemudian tugas di beberapa daerah, misalnya Jawa Tengah, kita pending. Harus fokus karena ada persoalan kriminalisasi, apalagi saya sebagai ketua umum,” ucap Nining yang kini menjabat Koordinator Dewan Buruh Nasional KASBI ini.
Keluarga Nining pun merasa tertekan. Dua kali, mereka didatangi polisi, di waktu yang sama: tengah malam.
“Ketika mereka datang tengah malam, dengan alasan untuk silaturahmi, saya tentu marah dong. Saya masih di kantor, saya bilang, ‘Bapak tahu jam berapa ini? Kalau Bapak ada urusan kaitannya dengan pekerjaan, silakan datang ke kantor, saya masih ada kok,”
Beberapa tetangga juga ditanyai orang tak dikenal tentang aktivitas Nining.
“Tiba-tiba ada orang yang ngopi di warkop , nanya-nanya identitas saya, keluarga saya, nanya aktivitas, kan aneh. Kalau saya sih nggak terlalu ambil pusing, tapi pasti akan mengganggu keluarga. Anak-anak was-was untuk keluar, kurang nyaman bermain, karena rumahku kan terbuka. Tiap orang lalu lalang, ada rasa curiga. Artinya, bentuk teror secara nonfisik orang-orang yang dikriminalisasi” kata Nining yang tinggal di Bekasi ini.
Meski begitu, keluarga tetap mendukung penuh Nining berorganisasi. Aktivis buruh kelahiran Bengkulu, 1978 ini bakal terus lantang bersuara mengritik penguasa.
Ia tak gentar meski pasal penghasutan kembali masuk di KUHP baru, yakni pasal 246.
“Kalau memang saya harus diakhiri dengan dibui, ya konsekuensi. Saya bukan korupsi, saya bukan pembunuh, saya bukan maling, saya bukan berkelahi, tapi saya berjuang terhormat. Saya menjadi bagian orang yang masih bersemangat, mari kita tetap mengkritik, mari tetap kita kontrol, siapapun pelaksana negara ini, ketika tidak patuh terhadap mandat konstitusi, nggak boleh kita biarkan,” tegas Nining.
Baca juga:
Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 2)
Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 1)
Pakar hukum pidana Agustinus Pohan. (Foto: dokumen Universitas Parahyangan)
Multitafsir
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan menyebut, ada perbaikan di pasal penghasutan di KUHP baru. Salah satunya soal ancaman hukuman.
“Kalau di 160 kalau nggka salah 6 tahun, sekarang 4 tahun. Tapi jangan dilihat 6 jadi 4-nya, tapi ada konsekuensinya, kalau 4 tahun kan menjadi tidak bisa ditahan. Oke bisa diproses tapi tidak bisa dilakukan penahanan,” ujar Agustinus.
Di sisi lain, Agustinus menyoroti pasal penghasutan di KUHP baru yang berpotensi multitafsir. Khususnya di ayat kedua, tentang ancaman hukuman bagi yang menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan.
“Apa makna kata dengan kekerasan? apakah itu harus menjadi bagian dari penghasutan itu atau bukan? Atau penghasutan untuk perlawanan kemudian orangnya itu bukan sekedar melawan tapi melakukannya dengan kekerasan? Saya mengajak orang untuk melakukan perlawanan tidak dengan kekerasan, tapi orangnya melakukannya dengan kekerasan. Apakah kemudian saya bisa dipidana, menurut saya tidak. Seharusnya (pasal) 246 itu ketika saya menghasut orang untuk melakukan perlawanan dengan kekerasan, ga boleh dipotong. Harus ditafsir begitu,” jelas Agustinus.
Agustinus juga menyoroti masih rendahnya kapasitas penegak hukum, terutama kepolisian.
“Memang kadang-kadang kepolisian suka berinisiatif juga, untuk apa? saya tidak tahu, saya tidak yakin bahwa itu semua diperintahkan oleh kekuasaan, mungkin untuk memperlihatkan prestasi atau apa, sehingga inisiatif-inisiatifnya menjadi berlebihan. Menurut saya, salah satu yang barangkali dari pemerintahan sekarang belum berhasil ya, mengubah budaya di penegak hukum, terutama kepolisian,” terang dia.
Peradilan pun, kata Agustinus, belum sepenuhnya bebas dari tekanan. Namun, kini, tekanan itu bisa dari siapa saja, tak melulu dari penguasa.
“Karena orang-orang pro-pemerintah juga bisa dikriminaliasi, berapa banyak orang pro-pemerintah dipenjara karena tekanann dari masyarakat? Ini yang kita belum berhasil membebaskan sistem peradilan pidana dari tekanan siapapun, dalam hal apapun. Tekanan bisa terjadi karena kepandaian dari sosmed, bagaimana menggerakkan, membangun opini,” imbuh Agustinus.
Agustinus berujar, masyarakat sipil tak perlu khawatir dengan pasal penghasutan maupun pasal-pasal lain yang rentan memberangus kebebasan berpendapat.
Kata dia, meski masih jauh dari sempurna, demokrasi dan sistem hukum Indonesia semakin terbuka.
“Masyarakat sipil juga harus punya batas, batasnya apa? kita tidak melakukan kekerasan, tidak merugikan hak orang lain, hak masyarakat dalam menjalankan kritik, demokrasi. Jadi lakukan saja seperti biasa, jangan takut, normal-normal aja, percayalah bahwa media ada di belakang masyarakat sepanjang kita semua berada di koridor yang benar,” pungkas Agustinus.