BERITA

Berkenalan dengan Hutan Gambut

Pemadaman kebakaran hutan gambut

Ini adalah Gambut Bakisah. Podcast yang mengajak pendengar memahami pentingnya ekosistem gambut di Indonesia. Indonesia memiliki luasan lahan gambut tersebesar kedua di dunia. Capaian luasannya, 22,5 hektar dan menyimpan 30 persen karbon dunia. Podcast ini akan mengajak kamu melihat seluruh sisi ekosistem gambut, yang tidak hanya soal alam, tapi juga soal manusianya.

Asrul: Saya Asrul Dwi

Aika: Saya Aika Renata, apa yang kita ketahui soal gambut? Mungkin nih ya, kita yang kebetulan tinggal di Jawa atau kota-kota besar seperti Jakarta, cuman kenal sekadar nama saja. Atau ya, baru paham kalau ada lahan yang bernama gambut, ya pas terbakar dan asapnya sampai ke Jakarta.

Asrul: Ini Gambut Bakisah, podcast yang dibikin dengan nawaitu ngajak kita-kita buat lebh paham dan peduli dengan pentingnya menjaga lahan gambut yang dipunya Indonesia. Luasan lahan gambut di Indonesia, merupakan kedua terbesar di dunia. Capaian luasannya, 22,5 hektar. Dan, gambut itu menyimpan 30 persen karbon dunia. Kebayangkan kan kalau itu terbekar dan karbon itu terlepas ke udara.

Aika: Bener, nggak cuma berdampak secara langsung..semisal asap itu, kan waktu itu, yang saya ingat pas tahun 2015, semua orang mendadak atau kudu pakai masker seperti saat pandemi corona.

Asrul: Tahun lalu itu, dalam sebuah pameran di Taman Ismail Marzuki, Siklus Buana judulnya. Itu bagian dari Proyek Seni Perempuan Perupa 2019. Ada sebuah karya yang dikasih judul Anthropocentric Annual Ritual, itu karya Tita Salina.

Aika: Terus hubungannya sama masker dan kebakaran lahan atau hutan gambut?

Asrul: Waktu itu, saya sempat kasi suvenir kan..

Aika: … yang adalah….eh masker hitam itu ya? Yang ada tulisannya lipstik..eh atau maskara ya?

Asrul: Bener, yang itu. Jadi ya, karyanya itu semacam simulasi pas kebakaran itu. Susahnya kita napas. Pengunjung bisa nyobain rasanya menghirup asap pas kebakaran itu terjadi. Sebelum masuk, pengunjung memang diberi masker yang ada tulisan-tulisan produk make up sih kebanyakan, seingat saya. Itu ada artinya sih.

Tita Salina

Aku juga menuliskan 20 produk yang pakai bahan sawit yang sudah diproses sedemikian rupa seperti lipstik, maskara, bedak, paling banyak ya kosmetik ya. Kita tanpa sadar nggak pernah pengen tahu lebih jauh produk yang kita konsumsi. Proses dari sawit menjadi minyak atau kosmetik, bagaimana menanamnya dari hulu ke hilir itu nggak pernah ada pengetahuan ke sana. Setelah riset panjang ini, makin tahu juga ternyata ada banyak hal. Juga ketika ada itu asap, kebakaran hutan itulah yang mulai menteriger dan itu cukup shocking sih

Asrul: Itu tadi Tita Salina.

Tita Salina

Kita yang di Jakarta nggak pernah ngalamin asap itu kan, hanya selalu dengar berita aja. Sebenarnya sih peduli dengan isu sawit ini juga dari 2 tahun lalu itu juga kita betulan ada kesempatan untuk riset di Pekanbaru Riau itu hangat soal asap yang sampai ke Malaysia Singapura Thailand.

Semakin paham sih gimana kulitnya terus gimana khususnya gitu nanganin kebakaran ini soalnya lokasinya itu memang dipelosok. Nggak bisa pakai motor pun gak bisa waktu saya ke sana itu ada kebakaran kita berhitung kecil nggak ada apa-apa perjuangan banget. Padahal untuk madamin asap yang kecil itu menurut mereka.

Aika: Kita yang tinggak di Jakarta, kan cuman dapat kiriman yang nggak seberapa dibanding mereka yang tinggal di dekat lahan atau hutan yang kebakaran itu, entah itu di Kalimantan atau Sumatera.

Frenny

2015 gw di Jakarta dan sempat pulang ke Pekanbaru. Pesawatnya juga delay itu.

Asrul: Kita mungkin cuma ingat, 2015 lantara sosial media sudah ada. Jauh sebelumnya, kebakaran hebat juga terjadi pada tahun 1997. Frenny waktu itu masih tinggal di Pekanbaru, Riau.

Frenny

Tahun 2015 saya sempat kena kendala dimana bandara tutup karena asapnya parah banget. Setiap tahun terjadi dan berpengaruh pada kesehatan. Kalau orang tua saya selalu membandingkan dengan tahun 1997 yang menurut mereka sangat parah. Belum ada sosmed jadi tidak bisa didokumentasikan. Dulu sisa kebakaran sampai kemana-mana termasuk sekolah. Tahun 1997 itu langit udah gak oren, warnanya sudah abu-abu.

Aika: Eh, hutan gambut itu wujudnya kayak gimana sih? Sempat masuk hutan gambut kan ya?

Asrul: Beruntung banget rasanya, bisa dapat kesempatan masuk hutan gambut.

SFX Fast forward audio perjalanan ke gambut hingga suara hutannya

Asrul: Waktu itu saya nggak sendiri sih, Saya dan reporter KBR, Heru Haetami dapat kesempatan buat masuk ke dalam hutan gambut yang ada di Desa Sei Bakau, Kec. Sebangau Kuala, Kab. Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah

SFX phone line masuk

Aika: Sebelum masuk hutan, apa sih yang kalian bayangkan tentang hutan gambut, rupanya mungkin?

Heru

Sebelum aku menceritakan soal hutan gambut itu kayak gimana, sebelumnya, nggak ada di benak saya, gambut itu kayak apa. Walaupun sudah riset, tapi ketika kita sampai sana, bentukannya beda-beda..

Asrul

Kita mungkin punya bayangan gitu ya… soal hutan gambut itu nggak kayak hutan hujan kayak di film Anaconda.. Di bayangan saya, hutan gambut itu pohonnya at least tinggi-tinggi. Ternata yang kita kunjungi nggak gitu ya.

Heru

Ada yang cuma hamparan, cuma rumput-rumput. Sebelumnya kita expect, ya hutan. Ternyata pas sampai lokasi, tidak seperti bayangan kita.

Asrul

Setelah kita denger cerita dari warga di sana, atau dari yang menemani kita, meski kesannya landai, tapi yang namanya kubah gambut itu dalamnya bisa puluhan kilometer. Karena itu karbon yang disimpan dan air yang disimpan itu banyak banget.

Aika: Realitanya sesuai dengan bayangan?

Heru

Aku juga orang yang harus banget diberi wawasan soal hutan gambut itu seperti apa. Yang kita lihat di internet, seperti yang saya katakan, ketika kita ada di lokasi, sangat berbeda. Kalau di internet, ada visual hutan belantara tinggi-tinggi, sungai-sungai. Di lokasi, kita belum tau tuh ini tanah itu tanah keras yang bisa diinjak atau tanah yang diinjak itu punya kedalaman yang tidak kita ketahui.

Aika: Kayak lumpur hisap gitu…

Asrul

Itu yang kita pikirin pas turun dari kapal kelotok … Di kelotok pun kita harus merunduk karena masuknya juga harus penuh perjuangan ya saudara-saudara…

Aika: Eh kalau orang-orang yang tinggal di sekitar gambut, ada cerita menarik yang bisa dibagi?

Heru

Menurutku orang-orang yang tinggal di area gambut itu orang-orang yang luar biasa. Di daerah tertentu, mereka punya ciri khas masing-masing soal apa yang mereka kerjakan. Kita ke lima daerah, nah tidak bisa tuh kelima daerah itu bekerja atau memanfaatkan area gambut dengan hal yang sama. DI desa A ada yang gambutnya cuma bisa buat kolam ikan. Ada juga desa yang gambutnya bisa buat perkebunan. Mereka harus bisa benar-benar mengenali kawasan gambut itu.

Asrul

Kita ke lima desa yang punya lahan gambut, dan mereka punya cara memanfaatkan gambut dengan cara tidak membakar atau tidak menebang. Mereka sudah meninggalkan cara yang lama gitu ya, karena kalau membakar itu dampaknya ke mereka juga nggak sedikit. Mulai dari asap, ISPA, sampai ke penghidupan mereka, sampai sumber air terpengaruh.

Aika: Bagaimana cara mereka melindungi gambut? Biasanya kan, berita yang sampai di Jakarta, mereka yang biasanya membakar lahan gambut?

Heru

Ketika kita sampai sana.. informasi yang sampai di Jakarta, nggak setuju kalau itu warga yang melakukan. Yang saya dapatkan justru warga yang melindungi. Mereka lebih tahu caranya mengolah tanpa membakar, karena mereka tahu konsekuensinya. Karena mereka juga yang tahu dampaknya. Kita ketemu kelompok warga yang jadi garda terdepan untuk memadamkan api.

Aika: apa sih yang paling kalian ingat dari lahan gambut?

Asrul

Yang menarik dari salah satu desa, mereka itu punya upacara adat dan hukum adat. Jika ada warganya yang kedapatan membakar atau masih menebang sembarang, mereka akan kena hukuman adat. Mereka diharuskan menyembelih kambing. Kita masuk lahan gambut yang butuh perjalanan panjang untuk sampai ke lokasi. Tapi kita juga bertemu dan melihat sisa-sisa kebakaran. Kebayang nggak sih… gimana cara mereka mencoba atau berusaha memadamkan kebakaran itu. Perjuangannya seperti apa. Kalau kemudian ada upaya kesengajaan… di sekelilingnya adalah kebun, yang menghasilkan produk turunannya salah satunya lipstik itu…

Heru

Perjalanannya. Untuk masuk ke area gambut, kita harus melewati perkebunan yang entah itu luasnya seberapa… sampai rasanya lho kok ini nggak sampai-sampai… Di kiri kanan.. belum lagi di depan itu ketemu jalan yang buntu atau jembatan yang putus. Wah.. ini nggak ada di kota… nggak ada di kehidupan biasanya. Setelah itu selain jalur darat, jalur air itu benar-benar menjadi moda transportasi yang sangat digunakan di sana. Mungkin memang akses darat belum ada di sana. Mereka lebih memilih menggunakan air. Bahkan kali kecil yang kita tidak tahu dipakai atau enggak, ternyata dipakai untuk perjalanan ke kota. Seperti mengirim hasil tani, hasil warga dll. Saya salut banget sama orang-orang yang tinggal di daerah gambut yang betul-betul mengerti cara mengolahnya. Karena karakter tanah gambut dan tanah mineral itu sangat beda.

Asrul:Kelima desa ini tidak membuka lahan gambut… gak lantas diubah jadi lahan padi, atau kebun sawit. Meski mereka dikepung kebun sawit dan pertanian kan rencananya..

Asrul: Ada banyak hal yang bisa dimanfaatkan dari Gambut. Ini maksudnya tanpa menebang lho ya. Dari perjalanan kemarin itu, saya jadi tahu, tanpa dibakar. Lahan gambut juga bisa dimanfaatkan, dari perkebunan…ini tidak sama dengan sawit lho ya..hahaha. Dari kopi sampai semangka, bisa dibudi dayakan di atas gambut. Masyarakat lokal yang saya temui, juga ada yang berburu madu.

Aika: Dan sebenarnya, kalau gambut itu didiamkan saja alias nggak dirambah atau dibakar tadi. Penyimpan karbon itu kan juga manfaat, membantu mencegah perubahan iklim alias bikin bumi lebih lama ditinggali manusia, nggak repot-repot cari planet lain untuk dihuni…yaaa Elon Musk.

Asrul: Selain itu, gambut memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang relatif tinggi.Semisal di kawasan Taman Nasional Berbak di Jambi, ada lebih dari 160 jenis tumbuhan telah tercatat, tapi beberapa jenis di antaranya sudah sangat jarang ditemukan.

Aika: Bahkan,beberapa jenis tumbuhan di hutan gambut punya nilai komersial tinggi, di antaranya Ramin Gonystylus bancanus, Jelutung Dyera costulata dan Meranti Shorea spp.Meranti ini salah satu jenis kayu yang populer digunakan sebagai bahan baku pembuatan konstruksi bangunan maupun bahan dasar furnitur. Itu lantaran tahan rayap.

Asrul: Sementara rayapnya gambut di Indonesia ini ya kita-kita ini, manusia. Faktanya, keberadaan beberapa jenis kayu itu terancam punah lantaran kegiatan penebangan yang tidak terkendali. Ini pasti masih ada yang bertanya atau menyanggah, lha kita kan tinggalnya jauh dari gambut, lagian kan kekayaan alam Indonesia itu kudunya dimanfaatkan untuk masyarakatnya.

Aika: Fakta-fakta itu sih kudunya bikin kita peduli, karena kalau semua itu punah atau hilang, yang merugi ya kita sendiri, anak-cucu kita kan?

Asrul: Persis. Tapi ya, manusia ini masih ada yang merasa berhak untuk mengeksploitasi alam, termasuk gambut. Makanya, karya Tita Salina, Anthropocentric Annual Ritual tadi, pas sekali penggambarannya.

Tita Salina

Jadi kita kan menuju jaman antroposen, gimana sih manusia menganggap kalau kita satu-satunya makhluk hidup paling mulia di muka bumi, berhak untuk mengeksploitasi semua demi kemaslahatan manusia. Dalam agama juga dipromote gitu. Aku melihatnya, wah super power banget sebagai manusia. Kebablasan. Aku kan juga hidup dan besar di kota, dan orang kota ini sangat sentralistik. Tolok ukurnya itu selalu orang kota, yang di kota selalu lebih baik dibandingkan yang ada di kota kecil atau desa. Akhirnya kita underestimate yang ada di wilayah lain, apalagi yang ada di seberang pulau.

Asrul: Itu tadi Tita Salina

Aika: Termasuk ya itu, ketidakpedulian kita akan gambut itu. Makanya, rasa-rasanya kita perlu ngobrol dengan Gambut sekalian kenalan biar berasa lebih dekat ya.

Asrul: Sepakat!

Aika: Simak di episode berikutnya ya, kita bakal ngobrol barengn Gambut.

Asrul: Buat masukan atau saran, silakan email ke [email protected]

Sampai ketemu lagi.


Host: Asrul Dwi & Aika Renata

Produser: Friska Kalia, Siti Sadida

  • hutan gambut
  • kebakaran hutan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!