Tani Muda Santan: Melawan Tambang, Menjaga Lingkungan

Tatanan lingkungan di Desa Santan berubah sejak 1997, seiring masuknya perusahaan tambang

Warga beraktifitas di sepanjang Sungai Santan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Foto: Dokumen Tani Muda Santan)

Rabu, 04 September 2019

Air adalah sumber kehidupan. Apa jadinya kalau air sungai kotor dan keruh setelah kehadiran perusahaan tambang batu bara? Kelompok Tani Muda di Desa Santan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, berupaya menghidupkan lagi kecintaan anak muda setempat akan sungai. Jurnalis KBR Sindu Dharmawan bertemu Taufik Iskandar dan memotret upaya yang ia lakukan.  

- Tani Muda Santan: Melawan Tambang, Menjaga Lingkungan
Klik di sini untuk kisah-kisah menarik lainnya

KBR, Kutai Kartanegara- Taufik Iskandar menyalakan motor bebeknya. Ketua Tani Muda di Desa Santan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini hendak menengok kebun milik warga yang mulai berproduksi. Ini lembaran baru warga Desa Santan untuk kembali bisa hidup dari bercocok tanam. Seperti ingin mengembalikan masa jaya desa ini di tahun 1980-an sebagai pemasok kelapa se-Kalimantan.

“Karena dulu di sini itu kan lahan rawa. Lahan padi...Setelah itu dikeringkan, mereka menanam tanaman keras yang berjangka panjang, yaitu kelapa. Itu ditumpang-sarikan dengan kopi, kakau,” tutur Taufik.

Salah satu petani di desa ini adalah Nur Effendi. Ia punya harapan untuk mengembalikan kondisi alam Desa Santan seperti dulu. Sebelum alam dan lingkungan mereka dirusak perusahaan tambang.

“Kalau kita bisa kembalikan lagi lah isi alam yang bagus lagi, bagaimana caranya kan,” pintanya. 

Tatanan lingkungan di Desa Santan berubah sejak 1997, seiring masuknya perusahaan tambang PT Indominco Mandiri. Tahun 2017, perusahaan divonis denda Rp2 miliar karena membuang limbah tanpa izin.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendesak supaya izin perusahaan dicabut. Sayangnya desakan itu sama sekali tak digubris. Perusahaan bertahan, sementara kondisi lingkungan kian buruk.

Tak tinggal diam, warga kembali melawan begitu beredar klaim perusahaan tambang soal potensi batu bara di bawah Sungai Santan.

“Ternyata Sungai Santan yang mau dikorbankan untuk peningkatan produksi. Jadi, warga merasa ditipu. Karena, tanda tangan yang ada di pertemuan pertama itu diklaim oleh perusahaan. Bahwa warga yang menghadiri setuju. Padahal, mereka kan tidak tahu kalau Sungai Santan akan ditambang,” kata Taufik.

Penolakan warga ini bukan tanpa sebab. Dampak pertambangan yang dibuka sejak puluhan tahun lalu tetap mengintai. Mereka harus menghadapi bencana tahunan hingga menelan kerugian akibat gagal panen.

“Kalau musim hujan di antara bulan Januari sampai bulan Maret, itu kampung ini terus tenggelam oleh banjir. Hampir tiap minggu banjir datang, sehinggadampaknya adalah ke perekonomian warga. Misalnya lahan-lahan jagung, kelapa, itu gagal panen,” jelasnya. 

Kalau musim hujan di antara bulan Januari sampai bulan Maret, itu kampung ini terus tenggelam oleh banjir.

- Taufik Iskandar - Ketua Tani Muda Santan

Kondisi inilah yang membuat Taufik beraksi. Ia menggerakkan anak muda setempat untuk jadi petani dengan beragam pelatihan. Tujuannya, membangun kemandirian desa supaya tak mudah tergiur iming-iming perusahaan tambang.

“Konsep-konsep pemberdayaannya misalnya melibatkan kelompok ibu-ibu untuk melakukan olahan-olahan yang ada di kampung. Seperti membua keripik talas, dodol talas, terus membuat sirup buah nipah, sabun, dan minyak kelapa. Jadi, semua olahan teman-teman yang ada di sini komoditasnya berasal dari kampung,jelas Taufik

Tak sampai di sana, Kelompok Tani Muda Santan juga ingin mengembalikan kejayaan Sungai Santan. Anggota Tani Muda Santan, Romiansyah mengatakan dulunya Sungai Santan adalah urat nadi kehidupan warga desa. Sebelum ada jalan darat, warga desa memanfaatkan sungai untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan untuk dijual ke kota.

Sungai Santan memiliki peranan yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat. Dulu menjadi transportasi untuk menjual hasil-hasil perkebunan ke Samarinda, Bontang, dan sebagainya,” jelas Romiansyah.


Salah satu cara yang mereka tempuh adalah menggelar Festival Sungai Santan. Akhir tahun ini adalah kali kedua festival ini digelar. Semua demi menghidupkan keterikatan warga dengan sungai yang merupakan sumber kehidupan mereka.

“Dalam konsep berpikir kami, bahwa kalau tidak ada teman-teman yang balik ke kampung untuk menjaga kampung, dan melawan apa problem yang ada di kampung, ya kalau ini tidak dijaga semua, bisa jadi ini akan tinggal cerita,” katanya.