KBR, Jakarta - Di Nusa Tenggara Timur, berbagai wisata alam lengkap sudah; Komodo, menjelajah bukit, dan menikmati keindahan biota laut dengan menyelam.
Karena perairan Taman Nasional Komodo terletak di daerah tropis, ada lebih dari 1.000 jenis ikan, 380 jenis karang, serta menjadi habitat dan jalur migrasi sekitar 25 jenis paus dan lumba-lumba.
Dengan ragam pesona, pemasukan yang masuk ke kantong negara mencapai Rp 11 miliar. Itu terhitung sejak Januai hingga Juni tahun ini. Jumlah itu hanya dari tiket masuk. Pasalnya turis lokal hanya membayar Rp5 ribu dan wisatawan asing Rp215 ribu.
Untuk membangun NTT, pihak taman nasional memberdayakan masyarakat menjadi pemandu (naturalist guide).
“Mekanisme dengan masyarakat begini, begitu dia masuk ke pulau nanti bayar lagi untuk pemanduan. Kalau tidak (dipandu bisa) digigit Komodo. Di situ bisnisnya. Bayar Rp 80 ribu per lima orang. Lima orang dipandu oleh satu guide. Jadi bapak-bapak ibu-ibu masih bisa melihat orang kampung yang sehari-hari berhubungan dengan orang asing,” kata Kepala Taman Nasional Komodo Helmi.
Hingga kini ada sekitar 60 naturalist guide di dua pulau yang ditujukan untuk wisata komodo. Syaratnya, ia warga setempat dan bisa berbahasa Inggris.
Ketua Koperasi Serba Usaha Taman Nasional, Vincencius Latif mengungkapkan alasan mengapa masyarakat Pulau Komodo sekitarnya lebih diutamakan.
"Karena dalam pertimbangan kita, mempekerjakan orang dari luar banyak yang tidak bertahan di sini. Yang kedua mereka mengambil keuntungan saja mungkin di sini. Tapi kalau kita buat lokal yang ada di kawasan ini mereka tidak akan kemana-mana. Kebijakan kita prioritas masyarakat yang ada dalam kawasan," kata Vincen di Pulau Rinca, Senin (1/9/2015).
Meski begitu, dari tarif Rp 80 ribu hasil pemanduan lima turis, tak semuanya masuk ke kantong pemandu. Naturalist guide hanya akan mendapat separuhnya, Rp 40 ribu. Separuh lainnya masuk ke kantong pemda dan biaya kesejahteraan pengelolaan kebutuhan pemandu.
Aldo, warga asli Pulau Komodo yang kini menjalankan bisnis sewa perahu untuk wisata.
Meski pihak taman nasional sudah memberdayakan sebagian masyarakat jadi pemandu, tak demikian dengan Aldo. Ia dan sejumlah masyarakat Pulau Komodo malah merasakan mata pencahariannya dipangkas dengan penertiban pengelolaan taman nasional.
“Ini sudah banyak orang bawa kapal. Di Komodo sekarang sepi banget, seakan-akan tidak ada orang di sana di Kampung Komodo. (Kenapa?) Orang Pulau Komodo keluar semua, pada datang ke Labuan Bajo, pergi kerja. Karena di sana mata pencariannya ketat banget. Mereka akhirnya pergi ke Bali, Makassar, Jakarta,” kata Aldo di dermaga kayu, Senin (1/9/2015).
Awal dibukanya wisata Komodo, Aldo sempat berjualan baju, patung dan mutiara. Namun kebijakan taman nasional melarang masyarakat berjualan. Alasannya sudah ada toko souvenir di setiap pulau.
“Pernah juga saya orang penjual (jadi penjual) sampai 2 tahun. Itu sesudah dilarang. Saya jualan sudah dapat speedboat ini. Tapi mereka larang, jangan jual di sini. Tapi kami jawab, kami tidak pergi curi, kami datang jual. Kalau ada sampah, kami bersih-bersih,” kata Aldo.
Walhasil, meski omzet penjualan souvenir jauh lebih besar, kini Aldo memilih menarik perahu.
Sekali jalan perahu dengan kapasitas 10 orang disewakan seharga Rp 6 jutaan. Namun itu lebih baik baginya, dibanding harus kucing-kucingan dari kejaran polisi hutan saat berjualan di pulau sendiri.
“Kalau kita penjual, pusing, dikejar-kejar orang. Kalau polhut tangkap, barangnya disita, dibawa ke kantor. Dia bilang sampai di kantor barangnya kalian ambil kembali. Tapi kami datang ke kantor, barangnya enggak diambil semua,” kata Aldo bercerita.
Kepala Taman Nasional Komodo Helmi menyadari masih ada banyak PR yang harus dilakukan demi menjadikan NTT menjadi wisata dunia dengan fasilitas bertaraf internasional.
Editor: Quinawaty Pasaribu
Menduniakan Taman Nasional Komodo di Mata Internasional (Bagian 2)
Kepala Taman Nasional Komodo Helmi menyadari masih ada banyak PR yang harus dilakukan demi menjadikan NTT menjadi wisata dunia dengan fasilitas bertaraf internasional.

Gerombolan Komodo di Taman Nasional. Foto: KBR
Kirim pesan ke kami
WhatsappBERITA LAINNYA - SAGA
Solusi Palsu Penanganan Sampah Perkotaan
Penanganan sampah dengan teknologi RDF berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan
Dilema Perajin Tahu di Sidoarjo Tinggalkan Sampah Plastik
Pembakaran sampah plastik membahayakan kesehatan dan lingkungan
Jalan Terjal Desa di Bali Kelola Sampah Berbasis Sumber
Tantangan pengelolaan sampah berkelanjutan
Kerugian Nyata Polusi Udara: yang Kentara dan yang Tak Kasat Mata (Bagian 2)
Kerugian sosial ekonomi akibat polusi udara kerap luput dari perhatian
Kerugian Nyata Polusi Udara: yang Kentara dan yang Tak Kasat Mata (Bagian 1)
Biaya pengobatan adalah kerugian minimal akibat polusi udara
Pembuktian Penyandang Down Syndrome di Panggung Profesional
Orang dengan down syndrome berkarya dan berdaya
Nelayan Lombok Timur Adopsi Perikanan Berkelanjutan
Nelayan jaga laut lestari dengan praktik ramah lingkungan
Komunitas Biboki Lestarikan Tenun Ikat Tradisional
Semangat anak muda NTT lestarikan kain tradisional
Upaya Nelayan Lombok Timur Sejahtera dengan Berkoperasi
Ungkit ekonomi nelayan lewat koperasi
Resiliensi Komunitas Difabel Semarang untuk Berdikari
Daya hidup penyandang disabilitas agar berdaya dan mandiri
Recent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Kabar Baru Jam 8
Kabar Baru Jam 10
Kabar Baru Jam 11
Kabar Baru Jam 12
Most Popular / Trending