SAGA

Mimi Institute, Juang Memasyarakatkan Para Difabel (2)

Mimi Institute. (Ais/KBR)

KBR - Kementerian Tenaga Kerja mengakui banyak perusahaan yang alergi untuk merekrut tenaga kerja difabel. Padahal para pekerja berkebutuhan khusus ini berani bersaing dengan 8 juta pengangguran untuk mendapatkan pekerjaan. Di tengah kondisi yang meng-anak-tirikan kaum difabel ini, lembaga Mimi Institute membantu para anak difabel bisa bekerja selayaknya orang normal. Berikut laporan yang disusun Jurnalis KBR Aisyah Khairunnisa.

Pegiat difabel, Mimi Lusli sudah 35 tahun tak dapat melihat. Tapi mulut dan tangannya tak pernah lelah bekerja. Dia tengah mengejar gelar doktornya di sebuah univestitas di Belanda, mengajar siswa difabel, dan yang juga utama mengajak warga dan sejumlah aparatur lembaga publik untuk menghargai hak warga berkebutuhan khusus.


Sejumlah lembaga pemerintahan kerap abai, kecuali Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang memag terkait dengan urusan ini. Kementerian ini mengajak Mimi untuk mensosialisasi sejumlah perusahaan untuk mau merekrut para difabel sebagai pekerja formal. Ini pun karena jumlah difabel yang terserap di lapangan pekerjaan masih minim. Termasuk, Ranita Harahap. Ranita yang lahir tuna rungu kini bekerja di Universitas Mercubuana. Di kampus itu pula dia lulus strata satu untuk jurusan arsitektur. Cumlaude! Dia juga sukses lulus strata dua di ITB dengan biaya dari almamaternya. Terakhir Ranita meraih gelar doktor desain di Universitas Trisakti.


Ranita yakin betul bahwa seorang tuna rungu juga bisa belajar di sekolah dan kampus ternama. Mengenyam ilmu pengetahuan dengan modal beasiswa, bahkan bisa sukses di dunia kerja. Namun nasib baik seperti yang dialami Ranita, jarang dialami difabel lain di negeri ini. Deicy Iriyanti misalnya. Selepas menjadi sarjana dari Institut Kesenian Jakarta, Deicy tak lantas dapat kerja. Ia beberapa kali ikut wawancara, salah satunya di bursa tenaga kerja khusus difabel.

 

Data Badan Pusat Statistik, menyebutkan pada 2012 ada 3,84 juta. Hampir separuhnya adalah angkatan kerja. Direktur Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Wisnu Pramono mengatakan para difabel harus bersaing dengan 7,4 juta pengangguran untuk bisa mendapatkan pekerjaan. “Iya sementara ini. Karena hambatan perusahaan. Kondisi masalah pengangguran yang normal saja sulit. Justru yang bagi pengangguran sudah berat, bagi penyandang disabilitas menjadi lebih berat lagi. Nah itu harus kita prioritaskan. Kalau yang formal kita masih dalam taraf penyadaran saja.”


Berapa persisnya pekerja cacat terserap di sektor formal dan informal, Kemenakertrans juga tak punya angka pasti. Situasi semacam itu pula yang djadikan alasan pemerintah tak juga menggelar program pelatihan khusus untuk difabel. Padahal semua program itu sudah diatur dalam Undang-Undang mengenai Penyandang Cacat (UU No. 4 tahun 1997), termasuk juga acuan yang mewajibkan perusahaan swasta dan asing untuk memberikan hak kerja bagi warga difabel. “Bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 100 orang pekerja, harus mempekerjakan satu 1 persen kuotanya. Tapi kenyataannya kita belum optimal dalam pelaksanaannya. Masih minim.”


Dengan persentase yang segitu pula, perusahaan tetap abai. Padahal di negara lain, setiap perusahaan harus mengalokasikan lima persen jatah rekrutmen tenaga kerjanya untuk para difabel, seperti Jepang dan Korea Selatan.


Tahu Sejumlah perusahaan melanggar aturan, pemerintah tetap tak memberikan sanksi dan teguran. Alasannya tak lain karena kekurangan tenaga pengawas. Semestinya perusahaan yang tak memperkerjakan difabel diantara 100 pegawainya bisa diganjar denda Rp 200 juta dan kurungan 6 bulan penjara.


Kembali ke Mimi Lusli. Perempuan yang rindu bisa melihat wajah orang tuanya ini mengatakan pemerintah mestinya menyisipkan materi mengenai pengetahuan tentang disabilitas dalam berbagai kurikulum pendidikan di sekolah. Menurutnya, jika materi disabilitas bisa disisipkan dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi, masyarakat tentunya bisa lebih menghargai kehadiran difabel sama dengan warga lainnya.


Kembali ke cerita awal: Mimi Institute, Juang Memasyarakatkan Para Difabel (1)


Editor: Irvan Imamsyah



  • mimi
  • institute
  • difabel
  • diskriminasi
  • Toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!