SAGA

Membangun Asa di Tepi Hutan Sarongge (2)

Membangun Asa di Tepi Hutan Sarongge (2)

KBR - Program reforestasi hutan bagi masyarakat Sarongge sudah berhasil. Sebagian besar petani beralih profesi menjadi peternak kelinci dan domba. Sebagian lagi ikut menjaga hutan dan membantu pariwisata desanya. Jurnalis KBR, Aisyah Khairunnisa mendatangi Desa Sarongge untuk melihat kiprah para petani mengerakkan usaha peternakan dan pariwisata di desanya.

#
Hutan di kawasan Sarongge Cianjur Jawa Barat makin rimbun. Di lahan yang semula kawasan hutan produksi Perum Perhutani, kini sudah ditumbuhi, pohon-pohon keras seperti Puspa, Rasalama dan lainnya. Ketinggian pohon yang ditanam melalui program adopsi itu pun sudah melampaui pinggang orang dewasa, bahkan di kawasan program adopsi kali pertama berlangsung, ada pohon yang ketinggiannya mencapai lima meter lebih. Dulunya kawasan bekas milik perhutani itu dijadikan ladang sayur dan mayur, untuk kebutuhan warga Jakarta dan sekitarnya.

Hampir 40-an hektar lahan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) kian menghijau. “Jadi sudah tidak ada tanaman sayuran lagi. Sekarang sudah menjadi hutan kembali. Yang tanaman dulu 2008 sudah sampai tujuh meter. Sebelah sana nanti,” jelas Syarif Karim, Juru Bicara Green Initiatives Foundation, lembaga yang mendampingi warga Sarongge.

Melalui program Adopsi Pohon Green Radio, lahan bekas kebun sayur itu ditanami tumbuhan endemik taman nasional. Misalnya Pohon Saninten, Ki Hujan, dan Puspa. Syarif Karim mengaku dirinya sempat buntu langkah saat mengingatkan petani untuk berhenti merambah hutan.

“Perjalanan kita ini sangat unik sekali bagaiman untuk menghutankan 38 hektar ini dengan 155 penggarap yang ada. Dana yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Dan tidak sedikit juga yang kontra. Kenapa karena urusannya masyarakat yang memang menggantungkan urusannya di hutan. Dan kalau sudah urusan perut ya beranilah ngotot.  Kami yang di lapangan ini kadang saya dicaci maki sama petani, ada yang mau berontak, berantem juga. Karena urusan perut urusan makan mereka mau kemana.”

Selain karena urusan perut, sebab lainnya makin sempitnya lahan perkebunan di bawah gunung karena dikuasai warga dari luar desa, seperti pemilik perkebunan PT Strawberindo Lestari. Namun para perambah akhirnya luluh setelah diberikan tanah desa atau tanah negara sebagai pengganti lahan di taman nasional. Beberapa lainnya bahkan menerima modal untuk budidaya lebah, domba, dan kelinci dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kini ada 23 ribuan pohon hasil adopsi yang tumbuh semakin tinggi di hutan Sarongge. Program adopsi yang  bergulir sejak 2008 ini akan selesai September nanti. Selanjutnya kata Syarif, warga yang bergabung dalam Koperasi Sugih Makmur yang akan meneruskan usaha pariwisata di hutan dan desa Sarongge.

Mereka membangun Saung, untuk wisatawan yang ingin menginap. Masyarakat juga menggeluti bisnis oleh-oleh dan jamuan, masayarakat membentuk kelompok kerajinan khas Sarongge. Mereka memproduksi sabun sereh dan kopi, jamur renyah, serta teh sereh wangi. “Kita juga punya homestay sampai sekarang ada delapan rumah homestay untuk wisatwawan yang datang kalau di Saung ini tidak cukup. Jadi sudah ada delapan rumah yang statusnya sudah menjadi homestay yang dikelola oleh masyarakat atau warga di sini.”

Semua agar petani punya penghasilan tambahan di luar urusan perkebunan dan hutan. Untuk itu mereka berpedoman pada istilah berbahasa sunda, “leuweung hejo, resep anu nenjo, petani bisa ngejo”. Arti begini; ini (hutan) menjadi hutan, kelihatan bagus, tapi petani harus makan, dapur harus ngebul.

Setelah program Green Radio usai September ini, warga berniat melanjutkan program adopsi pohon. Kata Syarif, warga Sarongge bisa mengajak wisatawan untuk menyulam dan mengayakan hutan Sarongge dengan pohon-pohon endemik. “Ketika ada tamu yang datang ke sini pohon bisa disulam. Maksudnya kalau ada pohon yang mati diganti dengan bibit pohon baru. Atau pengkayaan misalnya jarak antar pohon lima meter, bisa ditanam di tengah-tengahnya.”

Setelah sebagian hutan kembali hijau, msayrakat pun mulai merasakan manfaatnya. Seperti pasokan air melimpah, sehingga mamad dan warga lain tak perlu cemas berebut air bersih. “Biasanya kalau musim kemarau baru satu bulan saja air sudah berebut. Tapi sekarang mungkin berlebihan, kita bisa kasih ke daerah lain. Kampung bawah ambil dari sini.”

Termasuk pemahaman masyarakat akan manfaat pelestarian hutan, jelas Mamad seraya menjelaskan definisi sederhana mengenai perubahan iklim. “Masyarakat yang gak ngerti kayaknya kok kita berkebun gak boleh. Tapi setelah kita ikut pelatihan cagar biosfer segala macem kok manfaatnya hutan itu sangat besar sekali karena mengeluarkan oksigen. Sekarang aja kalau kita beli oksigen di rumah sakit harganya berapa?”

Juru Bicara Kepala Resort Sarongge, Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Dadi Haryadi berharap lahan adopsi pohon nantinya bisa menjelma menjadi hutan primer yang lebat. Dadi juga tak ambil pusing tak ambil pusing dengan warga yang masih berniat menggarap kebun di kawasan hutan. Sesuai Undang-undang tentang kehutanan, warga yang nekat masih merambah bisa dipenjara hingga 15 tahun dan denda mencapai lima miliar rupiah.

“Penggarapan lahan di kami (TNGP) tidak dimungkinkan. Salah satunya tadi, fungsi kawasan. Dalam penggarapan masyarakat juga sudah menggunakan pupuk kimia. Selain itu proses restorasi hutan sedikit terhambat karena ditanami. Kalau ditanami tidak ada ruang untuk pohon dan tumbuhan yang kita tanam untuk berkembang.”

Hutan Sarongge di sisi timur Taman Nasional Gunung Gede Pangrango kini mulai rimbun. Tapi pekerjaan rumah pengelola taman nasional masih panjang. Di wilayah seluas 22 ribu hektar itu, ada lebih dari 100 hektar hutan yang dirambah. Para perambah tersebar di sejumlah desa di kaki Gunung Gede Pangrango.

Baca kembali: Membangun Asa di Tepi Hutan Sarongge

Editor: Irvan Imamsyah


  • sarongge
  • festival
  • ekowisata
  • cianjur
  • portalkbr

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!