SAGA

Kartini Penyelamat Mata Air Rembang (bagian 4)

Tanaman kaktus di salah satu rumah warga yang kontra dengan kehadiran pabrik dan tambang Semen Indon

KBR - Proses penyusunan AMDAL PT Semen Indonesia dipersoalkan warga. Mulai dari partisipasi warga yang terabaikan, sampai ke pelanggaran tata ruang dan wilayah Rembang dan juga Jawa Tengah. Tapi ibarat pepatah, anjing menggonggong, kafilah berlalu, kegiatan pembangunan pabrik dan kegiatan tambang tetap berlanjut. Sementara pemerintah daerah membiarkan perusahaan plat merah menerabas aturan yang mereka buat untuk menjaga lingkungan hidup di Rembang.

Meski kajian AMDAL PT Semen Indonesia untuk membangun pabrik dan kegiatan penambangan kapur di kawasan Gunung Watu Putih meragukan, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo saat itu tetap memberi lampu hijau kepada perusahaan plat merah itu pada 2012. Pembangunan pabrik lantas dimulai. Padahal kajian AMDAL bertentangan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Rembang, yakni rencana yang menyebutkan kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih adalah kawasan lindung geologi.


Tapi bukannya menentang proyek PT Semen Indonesia, Sekretaris Daerah Kabupaten Rembang, Hamzah Fanatoni malah memberi dalih lain. “Tidak. Bukan kawasan lindung geologi. Tapi kawasan budidaya. Di RTRW itu ada kawasan geologi tapi bukan termasuk kawasan geologi yang digunakan PT SI. (Yakin tidak ada kesalahan? )Yakin. (Tidak ada yang salah dalam RTRW dan Amdal?) Ya (tidak ada),” jelasnya kepada KBR.


Sebenarnya, PT Semen Indonesia tak hanya menabrak RTRW Kabupaten Rembang saja. Izin penambangan kapur di 500 hektar wilayah Gunung Watuputih juga kontra dengan Perda RTRW Jawa Tengah, Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area di sana sebagai kawasan imbuhan air.


Sementara Bekas Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono, menjelaskan masyarakat Rembang akan sulit mendapat air pada saat kemarau jika wilayah kapur sebagai imbuhan hilang. Ini akibat air hujan tak bisa lagi ditampung dalam daerah resapan, yaitu gunung kapur itu sendiri. “Haduh kenapa gak ngambil kapur yang lain. Kenapa pas imbuhannya? Artinya dia punya fungsi. Ya monggo aja mikir lah orang2 ahli lingkungannya aja mikir.”


Pria yang kerap disapa Mbah Rono ini pun mengingatkan kembali Keputusan Presiden nomor 26 tahun 2011 yang menetapkan Watu Putih sebagai Cekungan Air Tanah (CAT). Dalam Kepres itu dijelaskan bahwa untuk menjaga daya dukung daerah resapan air atau akuifer, seluruh kegiatan tambang di kawasan itu harus dikendalikan.


Ancaman mata air bakal rusak juga disadari Sukinah dan ibu-ibu penolak semen Rembang. “Bukan cuma Rembang, Tegaldowo saja yang bakal kena dampaknya. Ini nanti bisa-bisa empat kabupaten. Kalau nanti airnya hilang semua terus gimana? Soalnya kita tidak bisa beli air seperti di kota. Kalau kita beli semua, uangnya dari mana? Padahal kita sudah kaya semua, kaya hati, kaya harta. Kalau mau mandi air ada, mau makan dari pertaniannya sendiri.”


Namun Sekretaris PT Semen Indonesia, Agung Wiharto berusaha menjawab kegelisahan itu. Ia memastikan bahwa setelah penambangan kapur sedalam 70 meter, pihaknya bakal mereklamasi gunung. Caranya menimbun bekas tambang dengan tanah dan menanaminya dengan pohon jati dan mahoni. “Dan ini nanti setelah ini jadi ini bisa ditanami penduduk. Ini pasti subur karena dia ditanami jati dan mahoni. Dan daerah ini dipastikan jauh lebih subur dari sebelumnya.”


Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono menanggapi dalih PT Semen Indonesia. Dia mengatakan rencana reklamasi Semen Indonesia tak bakal bisa mengembalikan ekosistem yang sudah hancur. “Terus kalau mau direklamasi apakah reklamasinya pakai kapur lagi? Kan gitu? Apakah dia akan berperan lagi menjadi daerah resapan air? Ini bukan tanah, ini kapur.”


Salah satu mata air besar yang bakal terkena dampak adalah mata air Sumber Semen. Menurut data PDAM Rembang pada 2013, mata air ini menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air 600 ribu orang di 14 kecamatan Kabupaten Rembang. Bahkan, sebagian juga dimanfaatkan pula oleh warga di Kabupaten Blora dan Pati.


Karena itu pula Pegiat Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Siti Maemunah mengajak semua masyarakat sadar dan ikut menolak tambang dan pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia.


“Tambang itu butuh bahan dasar yang dibutuhkan untuk petani. Tambang apapun itu rakus lahan dan air, apalagi di kawasan karst. Dan dia menghasilkan limbah yang luar biasa. Sehingga saya rasa penting warga sekitar kawasan Rembang itu mendukung petani Rembang. Karena apa, air dengan semen tidak jalan, maka dia akan tetap terjaga. Siapa yang bisa menjamin pabrik semen bisa memastikan kawasan itu aman? Gak ada. Jadi kerugiannya itu berlipat. Mungkin pemerintah hanya melihat harga lahan, pekerjaan. Nggak, itu kecil. Dampaknya itu luar biasa dan akan diterima masyarakat dalam jangka panjang, ” jelas Siti Maemunah. 


Tapi pembangunan pabrik semen dan pembukaan kawasan tambang PT Semen Indonesia terus berlanjut, dengan bumbu uang pelicin. Semua demi dukungan warga dan juga aparatur pemerintah.


Baca lanjutannya: Kartini Penyelamat Mata Air Rembang (bagian 5)


Editor: Irvan Imamsyah

  • semen
  • rembang
  • kendeng
  • petani
  • petatoleransi_09Jawa Tengah_biru
  • Toleransi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!