SAGA
Alarm Bencana dari Danau Toba
"Penghargaan bergengsi tersebut terpaksa dikembalikan karena kecewa dengan ketidakpeduliaan pemerintah mencegah kerusakan hutan akibat pembalakan dan perambahan di sekitar Danau Toba."
Evilin Falanta
KBR68H - Pejuang lingkungan dari Danau Toba, Sumatera Utara telah kembalikan penghargaan lingkungan kepada pemerintah. Mereka adalah Hasoloan Manik, Wilmar Simandjorang dan Marandus Sirait. Aksi tersebut dipicu kekecewaan terhadap pemerintah yang dinilai tak peduli dengan laju kerusakan hutan di Danau Toba yang terus meningkat. Kepada KBR68H Hasoloan dan kawan-kawan menceritakan praktik perambahan dan pembalakan hutan di sana.
Nyanyian tradisional ini dibawakan sekelompok orang yang tinggal di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Mereka mengenakan kain khas Batak, Ulos dan membawa tongkat adat.
Di kerumunan nampak Hasoloan Manik, Wilmar Simandjorang dan Marandus Sirait. Mereka adalah penerima penghargaan lingkungan dari pemerintah. Hasoloan adalah penerima penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 silam. Sementara Wilmar dan Marandus menerima penghargaan Wana Lestari dari Menteri Kehutanan. Pagi itu mereka berniat ke Istana Kepresidenan, menyerahkan piala Kalpataru.
Penghargaan bergengsi tersebut terpaksa dikembalikan karena kecewa dengan ketidakpeduliaan pemerintah mencegah kerusakan hutan akibat pembalakan dan perambahan di sekitar Danau Toba. Wilmar Simandjorang yang pernah menjabat Bupati pertama di Kabupaten Samosir menceritakan perjalanannya menyelamatkan hutan Tele.
“Dari setiap sudut cantik Danau Toba itu dikelilingi oleh bukit-bukit. Lalu di bukit itulah pada umumnya tumbuh kayu dari pohon hutan. Lalu di hutan itu darisitulah air mengalir ke danau itu. Hutan ini adalah tempat air. Dari sini air mengalir ke Danau Toba sampai ke Aceh. Tapi sekarang sudah rusak. Nah, pernah saya jadi Bupati di 2004-2005 waktu kabupaten itu dimekarkan. Setelah itu saya pensiun, saya putuskan untuk menanam pohon. Setalah putuskan menanam pohon lalu pihak kementerian menilai,ooh saya pantas menerima penghargaan itu karena dilihat saya menanami pohon akhirnya dikasih pada 2011 lalu,”katanya.
Melihat kondisi hutan yang gundul akibat pembalakan, Wilmar mengajak keluarga dan masyarakat setempat untuk menanam pohon. Mulai dari sengon, jabon sampai aneka pohon buah seperti jambu biji, mangga dan durian. “Saya terus menanami pohon, bahkan suka jatuh. Kadang-kadang istri saya juga saya marahi kalau tidak ikut menanam, lalu uang pensiunku juga saya habisi sampai dibilang saya orang gila. (Berapa awal bapak menanam?) pertama-tama datang 2000, lalu 3000an bersama-sama dengan rakyat. Kalau saya sendiri dilahan saya tanam 5000 pohon dan sudah tumbuh, itu juga pohon-pohon langka,”imbuhnya.
Putra sulung Wilmar, Vinsen Simandjorang masih ingat dengan cerita yang disampaikan para tetua soal kelestarian alam di sana. “Kita kan selalu diwariskan dalam bentuk kisah. Jadi, diceritakan keadaan Danau Toba yang dulu, ada banyak ikan. Orang bisa lihat banyak ikan mas dengan air yang jernih, lalu ada hutan-hutan, banyak burung-burung. Kalaupun masih bisa kita dengar suara sejenis kera, monyet dan siamang, sekarang udah enggak ada lagi. Pelan-pelan lahan sudah terdegradasi parah, dan banyak lahan yang sudah kritis, pembakaran dimana-mana. Hal itu membuat kita berpikir, wah kalau enggak ditanami bagaimana ya. Makanya, harus terjun langsung ke lapangan, kalau enggak terjun ke lapangan enggak akan bisa jadi contoh,” jelasnya.
Perjuangan Wilmar dan keluarganya menyelamatkan kawasan Hutan Tele tak mudah.
- Danau Toba
- Bencana
- Pembalakan
- Kalpataru
- Lingkungan
Komentar (0)
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!