SAGA

Alarm Bencana dari Danau Toba (3)

"Kini para pejuang lingkungan Danau Toba tak lagi menyimpan penghargaan yang diberikan negara. Meski begitu, Wilmar, Marandus, dan Hasoloan berkukuh akan tetap menjaga hutan, agar bisa dinikmati anak-cucu mereka kelak"

Evilin Falanta

Alarm Bencana dari Danau Toba (3)
Danau Toba, Bencana, Pembalakan, Kalpataru, Lingkungan

Intervensi Pemerintah

Sejumlah aparat keamanan berjaga-jaga di depan Kantor Sekretaris Kabinet, Komplek Istana Kepresidenan di Medan Merdeka Jakarta.   Wilmar Simandjorang, Marandus Sirait, dan Hasoloan Manik tengah menuju ke sana. Mereka berniat mengembalikan penghargaan lingkungan, Kalpataru. Namun aparat keamanan  tidak mengizinkan mereka masuk.

Karena kecewa mereka meletakan Piala Kalpataru dalam kotak kaca tersebut di depan pintu masuk komplek  Istana Kepresidenan. Marandus salah satu pejuang lingkungan Danau Toba. “Kalpataru ditolak di sini, ya jadi kita letakan aja di depan istana tadi. Kita kembalikan supaya mereka lebih serius (menjaga hutan) dari kita. Dan piala ini sudah enggak jadi beban kita lagi, beban moral sudah enggak ada lagi,”kata Marandus.

Usai sambangi Istana Kepresidenan, mereka berniat kembalikan dua penghargaan lingkungan Wana Lestari yang diterima Marandus Sirait dan Wilmar Simandjorang kepada perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup.

Salah satu pejabat Kementerian Lingkunga Hidup Agus Sukandar yang kebetulan berada di lokasi, langsung menerima penghargaan tersebut.   “Apa yang disampaikan kepada saya akan saya sampaikan kepada atasan saya. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ada tindak lanjut. Nanti saya pulang ke kantor saya bikin laporan supaya ini ditindak lanjuti, untuk itu kita akan akomodir dulu semua usulan dan persoalan-persoalan di sana, dan tentunya akan saya sampaikan kepada menteri,”jelasnya.

LSM lingkungan  Walhi menilai pengembalian penghargaan lingkungan ini sebagai bentuk protes pecinta lingkungan di Danau Toba. Mereka menilai pemerintah terkesan berdiam diri dengan kerusakan hutan yang terus terjadi. Aktivis Walhi, Mukhri Priatna mengatakan, “Walhi mengharapkan dalam hal ini sebetulnya intervensi pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk turun ke lapangan, agar jagan sampai masyarakat itu dianggap berdusta memberikan keterangan. Padahal mereka sudah berusaha keras, hadir secara mandiri secara swadaya. Mereka berharap sekali ada tindakan dari Mabes Polri ikut serta memeriksa. Ya kalau ternyata tindakannya pelaku pelanggaran ya ditangkap, dan diadili sesuai prosedur hukum. Nah, ini tidak ada tindakan-tindakan pemerintah, yang diupayakan masyarakat itu tidak mendapat dukungan.”

Kini para pejuang lingkungan Danau Toba tak lagi menyimpan penghargaan yang diberikan negara. Meski begitu, Wilmar, Marandus, dan Hasoloan berkukuh akan tetap menjaga hutan, agar bisa dinikmati anak-cucu mereka kelak. “Saya akan tetap menanam, merawat, dan menanam terus mengajak rakyat. Saya tidak tergantung kepada Presiden, saya tidak tergantung kepada penghargaan. Saya tergantung kepada suara hati saya, kepada perintah Tuhan yaitu olah dan rawatlah,”tegasnya.

Marandus menimpali, “Ya kita akan tetap melakukan apa yang bisa kita lakukan. Kalau saya akan tetap fokus di tempat saya. Yang bisa kulakukan ya akan kulakukan. Tergantung Tuhanlah, aku angkat tangan saja sama Tuhan. Terserah Mu-lah Hutan Mu itu.”

Editor: Taufik Wijaya

  • Danau Toba
  • Bencana
  • Pembalakan
  • Kalpataru
  • Lingkungan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!