Article Image

SAGA

Sanetan Desa Panutan Cegah Perkawinan Anak (Bagian 1)

"Sanetan pernah jadi desa di Rembang dengan angka perkawinan anak yang tinggi. Warga diedukasi sehingga mampu membuat peraturan cegah perkawinan anak."

Rabu 24 Agu 2022, 17.25 WIB

Suasana rapat di kantor Desa Sanetan, Rembang, Jawa Tengah. Warga terlibat aktif dalam mengatasi permasalahan desa, seperti perkawinan anak. (Foto: KBR/Ninik)

KBR, Rembang - Siti Naomi bangga menceritakan Desa Sanetan yang makin maju. Sanetan menjadi desa pertama di Rembang, Jawa Tengah yang memiliki peraturan pencegahan perkawinan anak, yang terbit pada 2016.

“Kalau sekarang ga lagi (anak bilang) ‘Bu, saya mau dinikahkan’, ga, tapi ‘Bu, ingin sekolah, harusnya bagaimana? Sudah beda, kalau sekarang tetap mau sekolah, minta dibantu biaya,” tutur Siti Naomi.

Sanetan bahkan mendahului putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas minimal usia perkawinan, yang berujung pada revisi Undang-undang Perkawinan pada 2019.

Kini, anak tidak boleh lagi dinikahkan karena batas minimal usia perkawinan ditetapkan 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.

Jejak progresif Desa Sanetan tak lepas dari dedikasi perangkat desa seperti Siti Naomi yang berjuang sejak awal. Ia mengisahkan, dulu praktik perkawinan anak di Sanetan dianggap biasa.

“Lulus MTS, SMP langsung mau dinikahkan. Orang tua itu mikirnya, kalau sudah menikah otomatis bebannya berkurang karena anak menjadi tanggungan suami. Padahal, kalau suaminya masih anak-anak juga kan ga bisa kerja. Itu justru menyumbang angka kemiskinan,” kata Siti yang menjabat Kasie Pelayanan Desa Sanetan ini.

Baca juga: Radio Nina Bayan, Inovasi Perempuan Lombok Utara di Tengah Pandemi

Kasie Pelayanan Desa Sanetan Siti Naomi terjun langsung sejak awal dalam penyusunan perdes pencegahan perkawinan anak. (Foto: KBR/Ninik).

Siti tergugah untuk mengubah kultur ini karena tak ingin generasi muda Sanetan bernasib sama sepertinya, menikah di usia anak.

Saat itu, ia belum genap 18 tahun atau masih masuk kategori anak menurut Undang-undang Perlindungan Anak.

“Usia 17 tahun saya lulus SMA, langsung nikah. Penyesalan itu yang membuat saya ingin ada perubahan. Biar anak-anak itu merasakan, kalau sudah sekolah terus bekerja itu seperti apa. Kalau habis sekolah, nikah otomatis kita ga tahu rasanya dapat uang dari hasil keringat sendiri. Pengalaman-pengalaman di luar juga ga tahu,” ujar Siti.

Sekitar 2013, Siti bergabung sebagai kader atau relawan Plan Indonesia, organisasi sipil yang bergerak di isu perlindungan anak.

Ibu dua anak ini semakin melek dan peduli tentang pentingnya tolak perkawinan anak. Namun, kampanye Siti dan belasan relawan Plan langsung mendapat ujian.

“Relawan itu rela dilawan. Dilawan masyarakat, kita sampai didemo, dikatakan, kita dapat gaji, dapat apalah. Sampai Plan vakum 5-6 bulan. Pemerintah desa beranggapan kita dapat gaji. Akhirnya dari pemdes menanyakan, apakah benar ada gaji relawan Plan. Setelah dijawab ‘tidak ada’ baru kita bisa jalan lagi,” ujar Siti.

Meski sempat vakum setengah tahun, Siti tak patah arang. Perempuan 42 tahun ini senantiasa terngiang kata-kata sang suami.

“Cuma satu pesan suami ‘jangan senang dipuji dan jangan merasa susah kalau nanti dimarahi’. Itulah bekal kalau mau jadi relawan. Kalau dipuji sudah senang, otomatis kita bisa lupa diri. Tapi kalau kita dimarahi, kita sakit hati nanti kita ga bisa maju,” ungkapnya.

Siti bersama Plan kemudian menginisasi forum musyawarah desa. Warga dibagi menjadi beberapa kelompok dan mereka aktif berdiskusi tentang permasalahan desa.

“Biasanya kalau anak digabung sama orang tua kan ga berani bicara. Jadi kita kumpulin anak-anak dulu, setelah itu ibu-ibu, bapak-bapak, itu per dusun. Baru kita pertemukan (semua). Kesimpulannya, masalah terbesar adalah pernikahan usia anak. Bagaimana kalau kita perdes-kan?,” kata Siti.

Baca juga: Bahas Kawin Anak, KBR Luncurkan Serial Podcast "Disclose"

Radio Nina Bayan di Lombok Utara, NTB membuka kanal pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkawinan anak. (Foto: dok Radio Nina Bayan).

Lewat dampingan Plan, warga menyusun peraturan desa tentang cegah perkawinan anak. Prosesnya penuh liku.

“Membuat perdes itu ga lancar, namanya membuat aturan baru. Mengubah pola pikir masyarakat, ada yang serta merta menerima, tapi yang menentang juga banyak. Dulu modin menentang,”

Modin adalah perangkat desa yang salah satu tugasnya mengurusi pernikahan. Sejak 2007, jabatan ini dipegang Tamsuri. Ia mengakui sempat menolak Perdes cegah perkawinan anak.

“Plan masuk ke sini, saya sebetulnya belum sadar. Karena saya berpegangan dengan aturan agama,” kata Tamsuri.

Perbedaan pendapat ini membuat dialog di internal perangkat desa berlangsung alot. Meski begitu, Tamsuri terbuka untuk belajar perspektif lain. Hasilnya, pria 50 tahun ini berbalik menjadi penolak utama perkawinan anak.

“Saya melihat angka kematian melahirkan nikah di bawah umur. Kemudian perceraian, itu rata-rata yang nikah di bawah umur. Saya sadar di situ. Bahkan adik saya sendiri dulu itu kurang lebih ya 15 tahunan itu ya tidak jadi (cerai) kok,” tutur Tamsuri.

Perdes kemudian diketok pada 2016. Tamsuri, Siti Naomi dan perangkat desa lain makin bersemangat mengedukasi warga tentang cegah perkawinan anak. Semangat ini makin menebal usai putusan MK dan revisi Undang-undang Perkawinan.

“Kita lebih berani, lebih yakin kalau harus berdebat, karena sudah ada aturannya. Aturannya yang buat masyarakat, bukan kita. Sebelumnya hanya imbauan saja. Kalau sekarang kan bisa ngomong 'katakan tidak untuk pernikahan usia anak',” tegas Siti.

Penulis: Ninik Yuniati