SAGA

[SAGA] Istri Anggota Kelompok Santoso: Saya Tahunya Suami Bekerja di Kebun

[SAGA] Istri Anggota Kelompok Santoso: Saya Tahunya Suami Bekerja di Kebun

KBR, Jakarta - Menyebut Poso, tak bisa lepas dari Santoso. Namanya masuk dalam daftar teroris global lantaran disebut sebagai pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT) –yang bertanggungjawab atas sejumlah pembunuhan dan penculikan di Indonesia. Itu mengapa Santoso menjadi buruan kakap Kepolisian Indonesia juga Amerika Serikat.

Perburuan terhadap pria kelahiran Tentena ini, sudah dimulai sejak lama. Tapi selalu lolos dari sergapan aparat. Lokasi persembunyiannya, Gunung Biru, dianggap cukup menguntungkan.


Sebab secara geografis, Santoso dan kelompoknya –yang merupakan orang lokal, lebih menguasai medan dibanding aparat. Tapi pelarian Santoso alias Abu Wardah, akhirnya tamat sudah. Dalam baku tembak 18 Juli 2016, Santoso tewas.


Setahun setelah peristiwa itu, KBR diajak menyusuri Dusun Taman Jeka di Desa Masani, Poso Pesisir. Lokasi itu adalah titik awal pelarian kelompok Santoso. Untuk sampai ke sini, saya harus melewati lembah, hutan, dan jalan berbatu.


Kalau dulu, tempat itu dipakai Santoso dan kelompoknya berlatih fisik dan merancang strategi penyerangan, kini disulap menjadi lapangan kegiatan warga dusun. Tak jauh dari lapangan –sekitar 300 meter, ada sebuah rumah dari kayu yang dikelilingi ilalang dan pohon Mahoni. Bangunan itu masih tampak baru.


Saya yang ditemani seorang anggota polisi dari Polres Parigi, Bogiek Sugiyarto, mendekat ke sana dan berbincang dengan pemilik rumah. Dari dalam, keluar seorang perempuan berpakaian gamis panjang dengan cadar hitam menutupi separuh wajahnya.


Namanya Umi Azam. Dia lantas mempersilakan kami masuk dan duduk. Dari Bogiek, saya tahu dia istri Ambu Intang –salah satu anggota kelompok Santoso yang kini mendekam di Lapas Kota Makasar.


Di rumah itu, Umi Azam tak sendiri. Ada dua bocah laki-laki, seorang perempuan muda, dan dua orang tua.


Saya pun ngobrol dengan Umi Azam, meski dia terlihat malu-malu. Kadang menunduk, memalingkan muka, atau membenahi posisi duduk anaknya Arsyam yang mengalami keterbelakangan mental.


Dari obrolan kami, suaminya –Ambu Intang, telah dipenjara selama 4 tahun sejak 2014. Sejak itu, mereka harus mencari penghidupan sendiri. Dan, itu tidak mudah dengan cap istri teroris. Kadang, dia diejek tetangga.  


“Masih ada orang usil dan mengejek. Tapi ya sabar saja, tak usah dihiraukan. Kalau dihiraukan bisa stres,” ujar Umi Azam.  


Umi Azam punya sepupu, Umi Syifa. Suami sepupunya, Abu Tasam, juga anggota kelompok Santoso. Tapi Abu Tasam tak seberuntung Ambu Intang. Sebab dia mati diterjang timah panas aparat saat disergap polisi.


Umi Syifa, juga bercerita, dia tak pernah tahu jika suaminya bagian dari kelompok buruan polisi. Pasalnya, sehari-hari aktivitas suaminya hanya berkebun. Tak ada yang mencurigakan. Meski, beberapa kali sang suami pernah tak pulang dengan dalih berkebun di hutan.


“Tidak tahu. Saya tahunya bekerja di kebun. Dari pagi sampai siang. Lalu pulang untuk makan dan shalat. Kalau seminggu tidak pulang tidak mencurigakan,” ujar Umi Syifa.


Dua perempuan itu, tak menyangka apa yang dilakoni suami mereka bakal menyusahkan kehidupannya kini.


Tak ada uang, sementara kebutuhan hidup harus terpenuhi. Umi Azam berharap bisa berjualan, sehingga tak lagi bergantung pada bantuan polisi. Sebab dia sadar, anak-anaknya bakal membutuhkan biaya lebih besar kelak.


“Inginnya jualan di rumah saja, agar bisa sekalian menjaga anak,” sambung Umi Azam.


Bukan persoalan gampang juga, memulihkan hubungan para istri kelompok Santoso dengan masyarakat, terutama polisi. Bagi Umi Azam dan Umi Syifa, polisi adalah musuh karena telah memenjarakan suami bahkan membunuh suami sepupunya. Perasaan marah, sempat menyergapnya.


“Ada rasa marah. Tapi ya mau gimana, mau marah sudah terjadi,” tutur Umi Syifa.


Anggota Polres Parigi, Bogiek Sugiyarto, juga bercerita butuh waktu lama untuk meraih kepercayaan mereka. “Dulu di sini polisi tidak diterima, karena polisi dianggap thogut. Polisi ke sini juga takut sama mereka karena menganggap keluarga teroris. Jadi kalau ketemu hanya pandang-pandangan, saling curiga,” jelas Bogiek.


Bertahun, polisi dan keluarga kelompok Santoso, mulai saling percaya. Kalau bertemu, tak lagi rikuh. Kini, Umi Azam berusaha menyembuhkan anaknya yang mengalami keterbelakangan mental hingga suaminya keluar dari penjara. Tapi, tiap kali anaknya bertanya tentang sang ayah, dia terpaksa berbohong.


Keakraban antara Umi Syifa dan Bogiek Sugiyarto, begitu terasa. Bogiek mengatakan, bungsu Umi Syifa bercita-cita menjadi polisi. Katanya, supaya bisa menembaknya. Tapi itu hanya kelakar di antara mereka. Bogiek sendiri sudah menganggap Umi Azam dan Umi Syifa, sebagai adik.


Dusun Taman Jeka, tak lagi menegangkan. Warga pun tak segan berbaur dan berolahraga bersama di sana. Meski, masih ada penjagaan di perbatasan Dusun Taman Jeka-Gunung Biru.


Obrolan kami, harus berakhir. Saya berpamitan pada dua perempuan itu beserta keluarganya. Dengan kawalan polisi, saya menuruni bukit. Gelap. Satu-satunya penerangan berasal dari cahaya mobil polisi.

 

Perjalanan saya pun berlanjut dengan membawa kisah para perempuan yang berusaha bangkit dari stigma teroris.






Editor: Quinawaty


 

  • Santoso
  • gunung biru
  • dusun taman jeka
  • poso

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!