NASIONAL

[SAGA] Yuli Wulandari: Karir Saya Terhambat Karena Jilbab, Bukan Sportifitas

[SAGA] Yuli Wulandari: Karir Saya Terhambat Karena Jilbab, Bukan Sportifitas


KBR, Jakarta - Dunia basket, adalah segalanya bagi Yuli Wulandari. Bagaimana tidak, sejak berusia 13 tahun, ia sudah bermain basket di tanah kelahirannya Jambi. 


Puluhan pertandingan pernah ia cicip. Tapi kemudian, Yuli –begitu ia disapa, memilih menjadi wasit pada 2005. Dan pada 2014 lalu, ia resmi mengantongi lisensi dari Federasi Bola Basket Dunia (FIBA).


Maka jadilah Yuli satu-satunya wasit perempuan dari Indonesia berlisensi internasional. Tapi, karirnya terancam pupus.


“Juni kemarin, saya ditugaskan di salah satu SEABA Championship for Women di Malaysia. Mereka belum tahu saya berjilbab, kemudian saya kasih tahu itu. Karena jilbab belum diperbolehkan, ya saya tidak bisa menjadi wasit,” ucap Yuli.


Yuli memutuskan mengenakan jilbab, Maret lalu. Ia pun tahu, aturan internasional yang melarang pemain, wasit hingga para penyelenggara memakai perlengkapan atau benda-benda yang dapat menyebabkan pemain lain cedera. Semisal penutup kepala, asesoris rambut, dan perhiasan.


"Saya tahu larangan itu sudah tidak diperbolehkan. Saya tahu ada peraturan tidak boleh memakai tutup kepala. Waktu memikirkan konsekuensinya,” katanya.


Tapi bagi Yuli, tak semestinya jilbab dilarang. Sebab, jilbab tak membahayakan orang lain pun dirinya sendiri.


Karena itulah, dia melayangkan petisi di situs change.org; meminta Presiden FIBA mencabut peraturan yang baginya diskriminatif. Hingga kemarin, sudah ada 91 ribu lebih tandatangan.


Tak hanya Yuli yang karirnya terancam kandas. Raisa Aribatul Hamidah –pebasket profesional dari Surabaya Fever juga dilarang bermain karena berjilbab.


Saat itu tahun 2014, namanya dicoret dari Tim Nasional Indonesia Muda. “Saat itu saya ikut SEA GAMES. Waktu itu sempat ikut satu bulan, saat itu saya harus pulang karena manajer dan pelatih was-was ketika saya masuk timnas, masuk tim inti karena percuma tidak bisa main. Akhirnya saya dipulangkan,” kenang Raisa.

 

Meski kecewa, perempuan kelahiran Ponorogo tersebut tak mau berdiam diri. Pada September 2014, dia dibantu aktivis perempuan internasional Indira Kaljo menggagas petisi yang tujuannya mendesak FIBA mencabut larangan mengenakan penutup kepala.


“Pulang dari sana, saya cari teman dan berkenalan dengan pembasket internasional. Saya kenalan dengan Indira Kaljo. Petisi pertama kali sama Indira. FIBA lantas menerima dengan syarat butuh dua tahun untuk uji coba, dan diputuskan nanti setelah uji coba,” terang perempuan muda ini.


Uji coba yang dimaksud Raisa adalah dibolehkannya pemain memakai jilbab di event tertentu. Salah satunya pertandingan dalam negari dan pertandingan three on three.


Keputusan FIBA pun akan diumumkan dalam waktu dekat. “Making desicionnya Agustus ini. Kenapa Agustus ini, karena FIBA memperoleh saran atau pengaduan pencabutan larangan itu dari tahun lalu, September 2014,” jelasnya.


Agar permintaannya dikabulkan FIBA, tahun lalu Raisa sampai membuat kaos bertuliskan “Hooping With Hijab” yang artinya perempuan bisa terus bermain basket dengan tetap memakai jilbab.


Sebab, jilbab bukanlah halangan dan tak membahayakan sama sekali. Jilbab, bukan pula simbol religi.


Dan sama seperti Yuli, Raisa dan 12 pebasket dunia juga membuat petisi yang menguatkan petisi serupa gagasan Indira Kaljo. “Saya merasakan sakit hati. Itu mimpi saya untuk bisa memakai kostum Indonesia di kancah internasional. Itu terhambat karena non-teknis, bukan sportifitas," kata Yuli.


Aktivis perempuan, Ika Vantiani menyebut, setiap orang punya kebebasan berpakaian. Sehingga tak semestinya dihubung-hubungan dengan profesinya.


“Saya melihatnya lebih kepada kebebasan seseorang dalam berpakaian dalam profesinya. Harusnya kalau memang mereka menjamin pakaian mereka tidak mempengaruhi penampilan mereka, ini malah jadi diskriminatif. Padahal kan perempuan muslim di dunia memakain jilbab,” pungkas Ika.


Kembali ke Yuli dan Raisa. Keduanya berkukuh tak akan menyerah pada larangan berjilbab FIBA.


“Setiap perempuan punya mimpi ke depannya untuk apa. Saya tidak akan berhenti. Walaupun saya hanya wasit di nasional. Yang terhenti adalah saya tidak bisa menjadi wasit di internasional, yang mimpi saya dulu kan menjadi wasit FIBA di Asia,” ucap Yuli.


“Basket adalah untuk semua. Aktivitas olahraga, ajang pertandingan untuk semua. Saya berharap hal semacam ini jangan menjadi penghambat,” tutup Raisa.


Petisi Yuli Wulandari di change.org:

Biarkan Wanita Berjilbab Berprestasi dan Melanjutkan Mimpi





Editor: Quinawaty

 

  • larangan jilbab
  • fiba
  • Federasi Bola Basket Dunia (FIBA)
  • Yuli Wulandari
  • Raisa Aribatul Hamidah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!